Gerbang Kenang

Panji Yogasara
Chapter #3

Awal tatap retina berkacamata

“Tak pernah tertebak hadirnya, membuat debar yang begitu aneh di dada. Tak pernah bisa kujabarkan tentang rasa itu. Aku Bingung, ini ambigu. Dan tentunya, senang.”

Gibran G.Biru, Juli 2010

Dengan napas yang masih terbata-bata, telunjuknya meraba kertas pemberitahuan yang ada di mading sekolah. Mencari nama dan ruangan kelas yang telah ditentukan dari pihak sekolah.

Kinan Dwingga, ruangan 01 bangku 18.

Tulisan yang ia dapati dalam kertas pemberitahuan dan segera berlari ke ruangan yang telah ditujukan. Saat sudah memasuki ruangan, suasana kelas hening seketika. Seluruh pandangan mengarah kepadanya. Kinan dengan pipinya yang merona seketika ikut terdiam dan mematung.

“Maaf.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Seketika semuanya tertawa melihat Kinan dengan ekspresi kebingungannya.

“Masuk, masuk,” ujar salah satu senior yang tengah berdiri di depan para calon peserta didik baru.

Setelah menemukan bangku dengan nomor yang sesuai, Kinan pun duduk. Bangku barisan tengah, kedua dari depan. Tak lupa juga ia menyapa beberapa siswa yang duduk di sampingnya.

“Halo, Kinan.”

“Oh, iya. Alika,” balas seorang gadis yang baru saja di sapanya.

“Salam kenal, Alika.” Kinan dengan ramahnya.

###

“Bran, ayo ikut denganku.”

Gibran tengah asik memetik gitarnya. Ia tidak pandai bermain gitar, hanya saja ia suka memetiknya tanpa nada, untuk membunuh sepi, katanya.

“Kemana?”

“Ada, mau saja dulu.” Bara memberikan isyarat dengan gelengan kepalanya seperti menunjukkan tempat.

Sudah tertebak oleh Gibran, Bara pasti ingin mengajaknya berkeliling melihat-lihat siswa baru. Mengingat bahwa sahabatnya ini juga mengambil bagian dari kegiatan itu. Tentunya Gibran menolak, menggerakkan bahunya yang seperti enggan untuk ikut. Tapi bukan Bara namanya kalau ia tidak pandai mencari cara agar Gibran bisa ikut dalam rencananya, walau terpaksa.

“Kita ke kantin, kutraktir makan nasi kuning tapi harus di kantin bi Icem. Cuma di situ yang enak.”

Siapa yang akan menolak jika mendengar kata akan kutraktir makan, Gibran manusia biasa yang sangat suka dengan kata itu.

“Kenapa tidak yang di situ saja, Bar? lebih dekat, lebih murah.” Gibran menunjuk kantin yang tidak jauh dari rumah pohonnya. Kantin yang penuh asap karena banyak siswa yang merokok di dalamnya.

“Tapi tidak lebih enak dari buatan bi Icem, Bran.”

“yang penting kan sama-sama kuning," jawab Gibran singkat.

“Iya kuning, tapi yang di dalam telurnya dua, Bran.”

“Oh, iya ya, kerupuknya juga gratis.”

Lagi-lagi candaan mereka membuahkan pecahan tawa. Setelahnya, mereka pun bergegas pergi dari rumah pohon kesayanganya menuju kantin bi Icem. Kantin yang berada tepat di tengah belahan ruangan kelas satu dan kelas dua. Sebenarnya nama ibu penjaga kantin itu adalah bu Retno, tapi entah kenapa namanya beralih ke bi Icem. Mungkin panggilan itu warisan dari angkatan sebelum-sebelumnya.

  Gibran tidak menyadari bahwa itu adalah cara Bara agar bisa membawanya ke rencana awal yang dilontarkan dan Gibran tolak tadi. Kantin itu berada di dalam sekolah yang harus melewati ruangan demi ruangan ospek untuk sampai ke kantin itu.

“Bu, dua, ya. Satu banyakin cabenya.” Bara memesan sedang Gibran duduk di kursi plastik sambil memukul-mukul layaknya bermain drum.

Tidak hanya mereka berdua, ada siswa lain juga di sana. Ramai, ada yang sendiri, berdua, bahkan berkerumunan. Ada yang ceritanya biasa saja, berbisik seperti agen yang ingin menyergap dan ada juga seperti kesetanan.

“Bukannya, kamu harus ada di ruangan ospek dengan teman panitiamu yang lain, Bar?”

Belum sempat dijawab, ibu penjaga kantin memotong pembicaraan dengan membawa dan menyajikan nasi kuning andalannya.

“Silahkan, nak Bara, nak Gibran.”

“Iya, bi, terima kasih.” Bersamaan keduanya sembari tersenyum tipis menghargai senyum yang diberikan bi Icem sebelum itu.

“Iya, seharusnya aku di sana dengan mereka tapi sewajibnya aku menemani monyet yang ada di pohon seharian dan mengajaknya makan.”

Tanpa memperdulikan perkataan Bara, Gibran menyantap makanannya dengan lahap. Benar kata Bara nasi kuning di sini lebih nikmat, soalnya gratis.

  Gibran memang jarang sekali membeli makanan yang ada di kantin karena setiap hari ia selalu membawa bekal yang disiapkan ibunya tercinta dengan penuh racikan kasih sayang. Setelah memakannya dengan penuh hati-hati karena ibunya juga membuatnya sampai cantik dengan hati-hati, Gibran memilih untuk tidak memakan makanan lain selain buatan ibunya. Gibran membuat cemburu makanan lain karena tidak pernah masuk ke lambungnya. Sebab makanan itu tidak akan pernah bisa mengenal dalamnya Gibran. hehehe, berlebihan.

Sehabis menyantap nasi kuning itu, Gibran menundukkan kepalanya sejenak.

“Mau meminta maaf lagi dengan masakan ibumu?” tebak Bara.

“Iya, brengsek, nasi kuning ini selalu menjadi makanan yang enak.”

“Oke, aku juga akan meminta maaf pada ibumu.” Bara ikut menundukkan kepalanya.

Selepas mengajukan permintaan maaf lewat batin, Gibran berdiri dan ingin lekas pergi. Bara tidak tinggal diam, ia langsung ikut berdiri dan merangkul pundak sahabatnya itu.

“Mau kemana? ke rumah pohon lagi? betah sekali kamu, yah.”

Lihat selengkapnya