Pukul 07.00 pagi, aku sudah berada di tengah keramaian kota Jakarta. Jarak dari rumah ke tempat kerjaku saat ini membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit menggunakan Trans Jakarta.
Aku memilih untuk tinggal di apartemen kecil di daerah Jakarta Barat. Alasannya selain harganya terjangkau, aku tak perlu repot memikirkan transportasi menuju ke kafe. Sudah 10 tahun ini aku bekerja di salah satu coffee shop ternama di Jakarta dengan cabang yang sudah menjamur di mana-mana. Dan ini tahun ke-3 ku menjabat sebagai manager.
Sebagai informasi, aku seorang Sarjana Sastra lulusan kampus ternama di Indonesia. Bukan Jakarta, tapi di Semarang. Aku sempat tinggal beberapa tahun di Semarang, dan karena alasan tertentu akhirnya memilih hijrah ke Jakarta. Mungkin kalian bingung kenapa seorang Sarjana Sastra bekerja di sebuah coffee shop, bukan di kantor media atau sebagai guru?
Alasannya klise, jaman sekarang lulusan seperti kami masih belum diberikan ruang bergerak yang luas. Bahkan aku bisa bilang, kami harus menciptakan pekerjaan itu sendiri. Dan aku belum mampu menciptakan sendiri, sedangkan hidup harus tetap berlanjut, jadilah aku memilih menjadi karyawan di sebuah coffee shop.
Awalnya hanya ingin memenuhi kebutuhan hidup, tetapi aku banyak belajar dari sini, 10 tahun bekerja di bidang ini selain membuatku mampu memahami segala sesuatu tentang kopi dan teman-temannya, juga mampu membuatku mempelajari karakter seseorang. Berbagai macam pribadi yang datang ke kafe, dengan berbagai macam karakter pula, tentu saja membuat pola tersendiri bagiku.
Dan sebagai manager, aku harus selalu datang lebih awal untuk membuka kafe, melakukan pengecekkan, ketersediaan bahan, sampai kebersihan sebelum kafe dibuka. Aku menikmatinya, setiap kali membuka pintu kafe, wangi kopi yang khas selalu membuatku bahagia, aku suka.
Aku harus turun di shelter berikutnya, dan berjalan kurang lebih 5 menit ke arah kafe. Hari ini ada sebuah organisasi yang melakukan reservasi untuk 10 orang, sepertinya mereka akan mengadakan meeting, jadi aku harus datang lebih awal dan menyiapkan meja sesuai permintaan mereka.
Terkadang ada pula pelanggan tetap yang hampir setiap hari datang hanya untuk menikmati sarapan sebelum memulai aktivitas. Ada pula pasangan muda mudi yang sekedar melakukan kencan atau perayaan ulang tahun.
Kami pernah melakukan survei kepuasan pelanggan, rata-rata dari mereka menyukai suasana kafe yang hangat dan tenang. Kami memang selalu memasang musik Jazz atau blues dengan volume sayup-sayup untuk menciptakan efek santai. Dan standar operation dari pusat untuk design kafe dengan nuansa kayu dan lampu berwarna kuning membuat suasana semakin hangat dan nyaman.
Terkadang ada juga sekelompok mahasiswa yang berkumpul mengerjakan tugas hanya untuk menggunakan internet gratis dari kafe. Aku tidak melarang ataupun menegur mereka, karena menurutku mereka merasa nyaman dengan layanan kami, sehingga mereka sering berkunjung dan menghabiskan waktu di sana. Itu penting, kepuasan pelanggan akan menentukan apa mereka akan kembali lagi atau tidak. Aku sudah di kafe, ada 2 orang karyawanku juga yang datang lebih dulu.
"Mbak Rindu, customer yang reservasi atas nama Bagus udah konfirmasi ya, jam 8.30 sampe katanya"
"Oh, ok, berarti mejanya udah bisa diatur sekarang ya Pop, tolong bilang Reza juga"
Salah satu karyawanku yang bernama Poppy baru saja melapor. Aku harus melakukan stock opname ulang, memastikan hasil closing semalam dengan hari ini masih sama. Aku suka kafe ini, diantara cabang lainnya, ini kafe terbesar ke-2 kami, tempatnya independen, tidak di dalam gedung ataupun pusat perbelanjaan. Jadi kami tak perlu bergantung pada orang gedung. Dan yang paling aku suka, kami bisa menanam tanaman sungguhan untuk bagian depan kafe. Sedangkan untuk interior dalam kafe, kami menyewa tanaman dari vendor beserta dengan jasa perawatannya. Kecuali tanamam dalam pot kecil atau vas bunga di beberapa meja, itu tambahan dari cabang kami untuk menciptakan kesan natural.
"Kami belum buka mas, kira-kira 30 menit lagi, kalau mau tunggu, di meja depan dulu karena kami harus bersih - bersih dulu"
Aku mendengar suara Poppy, sepertinya sudah ada customer yang datang. Tapi aku tidak bisa melihat mereka karena masih harus melakukan pengecekkan. Sedangkan Reza sedang sibuk mengatur meja. Reservasi untuk 10 orang pagi ini membuat kami harus mengatur posisi meja lainnya agar tidak mengganggu ruang gerak. Terkadang customer bisa menyampaikan keluhan untuk hal-hal sepele seperti itu.
Satu per satu staffku mulai berdatangan. Total ada 10 orang yang bekerja di cabang ini di luar Security. Aku memiliki 2 supervisor, satu untuk mengurusi layanan dan yang satunya lagi untuk urusan administratif. Sisanya terdiri dari kasir, waitress, barista dan juga pengurus dapur. Masih ada juga flying team 3 orang, mereka diperuntukkan jikalau ada karyawan yang sedang berhalangan hadir atau cuti. Bahkan terkadang aku memberdayakan mereka jika kafe sedang ramai-ramainya.
Sudah pukul 08.00, kami harus briefing pagi sebentar sebelum kafe benar-benar dibuka. Biasanya kami melakukan doa pagi dan sedikit briefing atau update jika ada. Aku tetap mempertahankan budaya ini juga untuk membangun komunikasi di cabang kami.
Dan seusai melakukan briefing pagi, aku meminta Reza untuk membuka kafe. Biasanya ada pelanggan tetap yang sudah tahu jam buka dan mereka menunggu di meja luar.
Aku masuk ke dalam ruanganku untuk mengambil ponsel, karena sedari tadi aku tidak membawa ponsel, dan benar saja, sudah ada 5 missed call dari Mas Dewa, tunanganku.
Aku memutuskan menghubunginya kembali, takut dia cemas karena aku belum memberinya kabar. Mas Dewa tipikal orang yang selalu membawa ponselnya kemana-mana, jadi baru dering kedua saja sudah pasti dia angkat.
"Halo Mas, kamu tadi nelpon? Maaf ya HP ku ketinggalan di tas, aku baru buka kafe, kamu udah makan?" Tanyaku memulai percakapan.
Mas Dewa merupakan Area Head Jakarta coffee shop kami. Aku bertemu dengannya saat aku masih menjadi supervisor dan dia manager di cabang ini 5 tahun lalu. Dia merupakan pria yang fokus pada tujuannya. Dulu dia sangat kaku dan cenderung "Jutek", aku sering kena omelnya jika sedang tidak fokus.
Tapi pertemuan yang hampir setiap hari membuat kami terlibat cinta lokasi, hingga akhirnya kami memutuskan berpacaran sekitar 3 tahun yang lalu. Dan tak lama kemudian dia mendapatkan promosi untuk menjadi Area Head Jakarta, sebagai gantinya, aku ditunjuk menjadi manager setelah melewati berbagai macam tes.
Dan 6 bulan yang lalu, aku baru saja menerima lamarannya. Ya, kupikir apalagi yang perlu aku pertimbangkan, usia kami sudah cukup, karir pun sudah matang, dan mas Dewa adalah pria yang diidam-idamkan seluruh wanita. Wajahnya kubilang mirip dengan Deva Mahendra, salah satu artis pria Indonesia.
“Mbak Rindu, help..” Hesti salah satu supervisorku mengetuk pintu ruanganku dan meminta bantuan, sepertinya ada hal penting yang harus aku tangani. Aku segera menyudahi pembicaraan dengan mas Dewa, lalu berjalan keluar.
“Kenapa Hes?”
“Ini, ada orang yang dateng, katanya sih dari kantor pusat, ini kartu namanya” Hesti memberikan selembar kertas berbentuk kartu nama. Kubaca seksama.
“Darma Suseno, orangnya di mana Hes?”
“Di meja 12 mbak”
“Ok, saya kesana ya”