Gerbang Rindu Hara

Christina evelina
Chapter #3

BAB 3 LOGIKA VERSUS RINDU

♪♪ Bossa Nova & Rain ♪♪

Pagi ini hujan turun cukup intens, aku menyeruput secangkir latte sambil memandang ke arah jendela, ini meja di mana Hara kemarin duduk, aku di kursi yang menghadap kursinya. Mencoba mencari tahu apa yang dilihatnya di luar jendela. Hanya terlihat pohon Filicium Decipiens atau yang biasa disebut Kiara Payung. Aku suka pohon itu, dia penyelamat kafe di saat panas matahari sedang teriknya, dan di saat musim hujan, daunnya semakin rindang, membuat suasana semakin teduh, aku menikmatinya sembari menyesap latte-ku dan mendengarkan alunan “Bossa Nova & Rain” dari pemutar musik di kafe.

Aku selalu menanti musim hujan, selain suasana yang teduh, membuat kafe terasa semakin romantis dan hangat, tentu saja jumlah pengunjung pun lebih banyak dari biasanya. Aku memejamkan mata sekejap, kuhirup dalam-dalam aroma kopi di café dan merdunya rintik hujan di luar.

“Kamu masih suka hujan?”

Sebuah suara mengejutkanku, suara berat yang baru kudengar lagi kemarin. Jantungku berdebar cukup kencang, entah karena terkejut atau karena mendengar suaranya. Kuputar badanku menghadap ke arahnya, Hara berdiri di sampingku sambil tersenyum. Gaya berpakaiannya masih sama, santai. Tapi kali ini ia menggunakan kemeja denim dan celana warna khaki, sepertinya ia habis mencukur rambutnya, kemarin terlihat sudah mulai “gondrong”, tapi kali ini dipotong rapi, tidak dengan gaya macam-macam, hanya mengikuti bentuk kepalanya.

“Hai, kamu udah dateng? pagi banget? kafe belum buka lho” jawabku sedikit canggung.

“Saya tadi nunggu di luar, tapi staff kamu malah suruh saya masuk” ucapnya sembari duduk di kursinya kemarin.

Aku menoleh ke arah Hara menunjuk, Poppy terlihat tersipu sambil pura-pura sibuk mengelap meja. Aku paham sekarang, kemarin sehabis aku berbincang dengan Hara, Poppy menghampiriku sekedar bertanya, Hara itu siapa. Sepertinya Poppy tertarik pada Hara.

“Jangan diomelin, dia tahu kalau saya ada urusan sama kamu tentang project Book Corner” pinta Hara.

“Siapa yang mau ngomel, saya cuma penasaran, tumben ada customer yang dibolehin masuk padahal kafe belum buka” jawabku dengan nada biasa saja lalu menyeruput latte- ku lagi agar terlihat santai, sebenarnya aku menutupi suara jantungku yang mulai tak karuan, sepertinya mulai hari ini aku harus membiasakan diri dengan suara Hara lagi. Kulihat Hara tersenyum kecil.

“Kamu kehujanan? Baju kamu agak basah”

“Sedikit, gak apa-apa kok”

Lalu kami terdiam, Hara Kembali menatap ke luar jendela, kali ini dengan senyum tipis di wajahnya. Senyum yang membuat aku dulu jatuh hati padanya. Ia sudah berubah jadi pria dewasa, tubuhnya kini sudah berbentuk dengan dada yang bidang, terlihat dari balik kaosnya.

“Mau saya buatin espresso?” tanyaku mencairkan suasana.

“Boleh kalau gak ngerepotin”

“Gak ko, kebetulan saya lagi lowong sampe kafe buka, tunggu sebentar ya”

Aku beranjak dari kursi dan masuk ke area barista. Setelah mencuci tangan, aku membuatkan Hara secangkir espresso special, aku mempelajarinya saat berkunjung ke cabang Kalimantan. Aku sekilas menoleh ke arah Hara, ia masih memandang ke luar jendela. Lalu aku melihatnya mengeluarkan kertas dan sebuah pensil, dan mulai mencorat-coret, entah apa yang ditulisnya. Espresso Hara sudah jadi, aku membawanya ke hadapan Hara dan juga menambahkan sepotong croissant sebagai menu sarapannya.

This is it, espresso by Rindu Kirana

Hara menghentikan aktivitasnya, ia tersenyum saat melihat espresso buatanku. Ia menghirup aromanya terlebih dahulu sambil menutup mata.

“Arabika Papua” tebaknya.

“Kamu bisa bedain kopi juga?” aku terperangah.

“Saya udah pernah keliling Indonesia sembari nyobain kopi aslinya”

Aku tersenyum kagum, kuakui Hara memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak dariku selama 12 tahun ini. Setelah 5 menit, barulah ia mulai menyesap espressonya. Aku menunggu reaksinya, ia terlihat berhenti sejenak.

“Keren, rasanya pas, saya suka, ini lebih tinggi nilainya dari espresso barista kamu, kamu sendiri yang buat?” ia tersenyum puas, barusan ia memuji espresso buatanku, aku lega Hara menyukainya.

“Orisinil, ada hak patennya” candaku menjawabnya.

Ia tertawa, mengangguk-anggukan kepalanya seperti masih takjub dengan rasa kopi buatanku.

“Enggak tau ya, ini karena emang resepnya pas, atau karena kamu yang buatin” Hara balas menggodaku.

Kami berbincang santai tentang kopi, pengalamannya menikmati espresso dari berbagai macam coffee shop, sampai akhirnya jam buka kafe tiba. Aku berpamitan pada Hara untuk briefing pagi.

“Rindu, masukin ke bill saya ya” ucapnya menunjuk espresso tadi.

Free, aku traktir untuk customer penglaris” Hara tertwa mendengarnya, aku jadi ikut tertawa. Sepertinya ia punya tawa yang menular.

           Usai membuka kafe, tak berapa lama pak Darma datang, aku langsung mengantarnya ke meja Hara dan langsung bergabung bersama mereka melanjutkan diskusi kemarin. Aku cukup terhipnotis dengan penjelasan Hara, ia cukup detail, setelah mendapatkan ukuran aktual ruangan yang akan menjadi “Book Corner”, Hara sudah bisa memberi gambaran master plan- nya.

           Lalu kami mulai sibuk dengan diskusi, setelah melihat langsung ruangan, kami kembali ke meja lagi dan me-review beberapa hal dari master plan Hara. Baru kali ini aku bekerja sama dengan Hara dalam hal pekerjaan. Hara sangat professional dan cukup perfeksionis sebagai seorang arsitek. Tapi aku suka dengan semua kreativitas dan penjelasan Hara, semuanya cukup masuk akal dan terlihat menarik untuk sebuah sudut baca. Ia pasti cukup terkenal di kalangan arsitek.

           Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 siang, pak Darma mengajak kami makan siang di luar, di sebuah restoran seafood dekat kafe. Aku dan Hara mengikutinya, pak Darma memesankan beberapa menu andalan resto tersebut, jujur aku bahkan baru tahu bahwa ada restoran seafood dekat sini. Mungkin karena aku terlalu sibuk di kafe, dan lebih sering memesan menu catering rumahan dari usaha keluarga salah satu pegawaiku.

           Satu per satu makanan dihantarkan ke meja kami, ada kepiting saos padang, cumi cabe garam, cumi saus lada hitam, udang asam manis, ikan bakar dan juga sayur tumis. Sepertinya semua makanan di sini enak, karena semua meja terisi penuh. Kami mulai makan, aku mengambil kepiting saus padang sebagai menu utama dan juga kangkung balacan.

“Mbak Rindu, harus cobain udangnya, ini enak banget, favorit di sini” pak Darma menawarkan padaku.

“Ehm, Rindu alergi udang Pak” aku menoleh kaget ke arah Hara yang dengan cepat menjawab ucapan pak Darma.

“Oh ya? Wah kalian cukup dekat ya sampai tahu mbak Rindu alergi makanan apa, atau jangan-jangan kalian dulu mantan pacar?” balas pak Darma lalu tertawa. Aku tahu dia hanya bercanda, tapi aku bingung menanggapinya.

“Bisa dibilang begitu” Hara menjawab lagi tanpa ragu-ragu. Aku tak mengerti dengan jalan pikiran Hara, kupikir dia akan menyembunyikan fakta bahwa kami adalah mantan kekasih di hadapan pak Darma, tapi sekarang ia malah mengakuinya tanpa ragu. Bahkan pak Darma sendiri jadi terlihat canggung.

“Wah, jadi bener nih? pantas saja agak canggung pas kemarin ketemu, maaf ya saya gak maksud sebelumnya, cuma asal celetuk” jawab pak Darma merasa tidak enak.

“Gak apa-apa kok pak, kita professional aja, urusan kerjaan gak boleh dicampur dengan urusan pribadi, ya kan Hara?” jawabku cepat dan mencoba mencairkan suasana, pak Darma menganggukkan kepalanya, setuju dengan pernyataanku.

“Ayo makan, nanti keburu dingin” sahut pak Darma sebagai pengalihan topik.

---

Aku menghentikan langkah seketika saat melihat Hara berdiri di samping pintu kafe, aku baru saja hendak pulang, shiftku hari ini hanya sampai pukul 17.00 sore.

“Kamu masih di sini?” tanyaku penasaran.

“Saya anter kamu pulang ya, hujan” jawabnya singkat.

Memang sore itu hujan kembali turun dan cukup deras, jika aku memaksa berjalan ke arah shelter busway walaupun dengan menggunakan payung, pasti akan tetap saja basah. Aku berpikir sejenak, mungkin tidak ada salahnya menerima tawaran Hara lagi.

“Oke, asal gak ngerepotin” jawabku membuat Hara tersenyum.

Lihat selengkapnya