Ibuku dulu pernah berkata, cinta pertama hanya untuk dikenang dan tidak tertakdir untuk menjadi kisah penutup yang akan menjadi pelabuhan cintamu. Sampai kemarin aku pun percaya hal itu seperti kebanyakan orang. Cinta pertama hanya untuk disimpan sebagai bagian manis dalam buku kenangan. Namun, hari ini ketika aku menemukan kembali kerinduan akan tatapan teduhnya di tempat yang tak pernah kukira, sebuah harapan yang pernah kukubur mencuat kembali dengan tak tahu malunya.
***
Hari itu Senin, hari di mana pertempuran para commuter harian pengguna setia KRL Commuter Line dimulai dengan brutal, sebelum ditutup dengan kebrutalan yang tak kalah hebatnya di hari Jumat. Seperti biasa, demi kelangsungan hidup yang commuter-siawi pilihannya adalah berangkat lebih awal atau lebih siang sekalian. Aku memilih berangkat lebih pagi, selain karena kebetulan aku bangun lebih pagi, memang ada interview calon programmer baru yang harus kuikuti.
Senin pagi, wajah-wajah siap tempur memenuhi peron Stasiun Pondok Cina. Aku duduk di salah satu bangku yang kosong bagian tengah peron. Berusaha tetap waspada mengalahkan rasa kantuk. Rute Bogor-Tanah Abang yang akan kuambil adalah salah satu rute yang paling sadis di antara rute-rute KRL lainnya, karena jumlah jadwalnya yang tidak sebanyak rute lain. Pahaku merapat terjepit di antara dua ibu-ibu bertubuh gempal dengan lengan besar yang semakin membuatku semakin sulit bergerak. Jilbab bermanik yang dikenakan ibu di sebelah kananku menusuk-nusuk kepalaku setiap kali kepalanya yang mengantuk oleng ke arahku. Walau begitu, aku masih bersyukur kebagian duduk pagi ini.
Kereta yang berjalan dengan kecepatan stabil bergoyang-goyang dengan suaranya yang khas. Aku yang berusaha untuk tidak tertidur, karena aku trauma terlewat stasiun, mengedarkan pandangan ke gerbong no.6 yang berisi wajah-wajah yang mayoritasnya familiar kutemui setiap hari. Namun di dekat pintu seberangku, sesosok pria bercardigan coklat yang sedang asyik mengetuk-ngetuk layar sentuh ponselnya menarik perhatianku. Entah kenapa punggung lebar dan tengkuk putih itu terasa asing sekaligus familiar.
Tiba-tiba kereta mengerem kasar di depan membuat para penumpang heboh terombang-ambing dalam peron. Gerakan berayun itu membuatku gepeng seperti panini diapit dua penumpang di kanan-kiriku. Setelah kereta stabil, aku menegakkan dudukku, dan pandangan kami pun bertemu. Wajah putihnya dan rambut ikal itu tak berubah dari 15 tahun yang lalu. Selama beberapa detik mata teduh itu membuat jantungku lupa berdetak. Tapi dia sepertinya tidak mengenaliku. Ada gelombang emosi yang menghantamku. Aku bahkan tak tahu rindu itu masih di situ.
***
Stasiun Sudirman termasuk stasiun kereta yang besar dengan lalu lintas penumpang yang tinggi. Ketika kereta berhenti, jumlah penumpang yang turun seringkali membuatmu menyeret langkahmu dalam arus manusia. Begitupun dengannya. Tanpa menyia-nyiakan waktu, langkahnya sudah jauh di depan menaiki tangga ke luar peron stasiun.
“Kak Sena!” seruku berusaha menghentikan langkahnya. Namun tampaknya suaraku tak berhasil menembus earphone yang terpasang di kedua telinganya.
Aku berlari frustasi mengejarnya yang semakin jauh dari pintu gerbang keluar. Namun kartuku entah kenapa tidak berfungsi meski aku tap berulang-ulang. Tepat ketika akhirnya palang pintu gerbang membuka, Sena sudah menghilang dari area pandangku. Napasku yang tersengal, dan jantung yang berdebar kencang karena berlari sekuat tenaga entah kenapa rasanya ingin membuatku menangis. Aarg, sial, lagi, setelah 15 tahun, dia kembali lenyap dari hadapanku.
***
“Ci, gue ketemu Kak Sena,” kataku pada Cici, sahabatku sejak SMA.
“Haaaa!” teriak Cici membuatku terpaksa menjauhkan ponsel dari telinga. Ya, Ci, aku juga mau teriak rasanya kalau tidak ingat aku masih di kantor dan ini masih jam makan siang.
“Nggak salah liat lo? Yakin? Yakin 100% itu Sena? Sena Alvaro? Kakak kelas kita dulu di Mading?” cerocos Cici.
“Iya, Sena yang itu. Yang keturunan Jepang. Guenya yakin itu dia, tapi dia kayaknya nggak ngenalin gue.”