“Ha?” Lagi-lagi teriakan Cici membuatku harus menjauhkan ponsel dari telingaku.
“Sudah tiga bulan berlalu, dan kalian bahkan belum bertukar nomor? Terus selama ini kalian cuma mengandalkan kebetulan untuk bertemu? Emang kalian pikir kalian lagi syuting drama apa?” semprot Cici bertubi-tubi ketika aku curhat mengenai pertemuan-pertemuan singkatku yang hanya berlangsung dari Stasiun Pondok Cina-Sudirman selama tiga bulanan ini.
“Habis dia nggak nanya,” kilahku.
“Kenapa nggak lo yang nanya duluan? Lo udah bukan anak SMA lagi, masa minta nomor hape aja nggak berani?”
Aku menghela napas panjang. Cici benar, aku sudah bukan gadis remaja lagi, tetapi entah kenapa setiap kali Sena berada di hadapanku aku serasa kembali ke diriku 15 tahun lalu yang tak sanggup membuat langkah nyata. Kami lagi-lagi terjebak dalam hubungan ambigu yang sama.
Cici membuang napas berat. “ Jo, lo nggak pernah mikir apa, mungkin Sena udah punya bini atau anak? Mungkin itu yang bikin dia pun nggak ada pergerakan.”
Pertanyaan Cici menghentak kesadaranku. Aku benar-benar kelewat sibuk mengatur ekspresi wajah dan semu merahku hingga luput memikirkan kemungkinan bahwa Sena bisa saja adalah suami orang. Apalagi dengan wajah dan usianya sekarang, rasanya hampir pasti dia adalah seorang pria yang sudah menikah. Kalau begitu, semuanya pun masuk akal, kenapa selama tiga bulanan ini, Sena bahkan tampak lebih menjaga jarak ketimbang dulu.
“Tapi di jarinya nggak ada cincin kawin, Ci,” tepisku.
“Jo, jangan naif, ada berapa persen sih pria yang rajin pake cincin kawin mereka?”
Aku terdiam tak bisa menjawab pertanyaan Cici. Terdengar kembali dengusan kesal Cici.
“Jo, udah 15 tahun berlalu, jangan terjebak dan stuck kayak 15 tahun lalu. Bergeraklah sebelum dia kembali hilang dari pandangan lo. Dan kalau ini semua hanya mimpi yang nggak bisa lo raih, segeralah bangun sebelum kesadaran lo semakin pudar.”
Sambungan telepon ditutup Cici dan meninggalkan getir di tenggorokanku yang tak mampu membalas kata-kata Cici.
***
Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan kata-kata Cici. Ditambah lagi ada bug production yang membuatku tidak bisa pulang lebih awal. Rasanya letih sekali ketika aku tiba di Stasiun Sudirman yang tidak juga sepi meski sudah lewat jam pulang kerja biasa. Ah, mungkin karena ini hari Jumat. Kelelahan membuat kesadaranku hilang sejenak dan aku terlelap selama beberapa menit. Aku terbangun ketika mendengar pengumuman kereta terakhir akan segera masuk ke stasiun.
Dengan mata yang berat aku mengangkat kepalaku yang ternyata dengan tidak tahu malunya bersandar di bahu orang yang duduk di sebelahku.
“Ah, maaf, maaf, saya ketiduran,” kataku seraya sontak berdiri dan menunduk merasa bersalah.
“Pffft…,” tawa kecil si empunya bahu.
Aku mengangkat wajahku dan mendapati Sena dengan wajah yang geli.
“Kak Sena!”