Konon katanya, cinta datang sesuka hatinya, dan kita tidak bisa memilih pada siapa cinta akan menawan hati kita. Tapi, meski cintalah yang memilih kita, apa yang kita lakukan dengan cinta itu sepenuhnya adalah pilihan kita. Apakah kau akan memetik bunga cantik di halaman tetangga yang menarik hatimu atau hanya memandangnya dari kejauhan sepenuhnya adalah pilihanmu, bukan cinta. Aku percaya cinta tidak membuat manusia buta, manusialah yang memilih untuk menutup mata.
***
Stasiun Tanjung Barat, Stasiun Pasar Minggu, Stasiun Pasar Minggu Baru, Stasiun Duren Kalibata, dan Stasiun Cawang. Kurang lebih 15 menit waktu yang dibutuhkan untuk melalui kelima stasiun tersebut. Lima belas menit yang lebih banyak diisi pergulatan untuk sekadar berdiri sempurna dan menikmati perjalanan ke kantor tanpa derita. Lima belas menit yang terasa begitu panjang ketika untuk napas saja kau harus berjinjit berebutan oksigen seperti sekelompok ikan mas koki di akuarium yang kepenuhan.
Tidak ada hal yang menarik dari perjalanan 15 menitku melewati kelima stasiun itu selama ini. Rutinitas yang sama, detik-detik yang sama, kepengapan yang sama. Tapi rutinitas monoton yang telah kulakoni lebih dari 3 tahun itu kini berubah menjadi sesuatu yang kunanti-nanti. Semuanya bermula sejak pertemuanku dengan wanita berambut ikal bernama Shofia itu.
Sejak Januari tahun ini, Shofia menjadi penghuni tetap gerbong 6 kereta Commuter Line rute Bogor-Jakarta Kota. Shofia akan naik dari Stasiun Tanjung Barat pada kereta pukul 7 pagi, dan turun di Stasiun Cawang. Pertemuan pertama kami sebenarnya tidak terlampau istimewa.
Pagi itu aku naik dari Stasiun Pondok Cina sedikit telat dari biasanya. Karena hari itu, Senin, kereta lebih padat dari biasanya, dan aku hanya kebagian setelapak kaki di depan pintu gerbong. Saat kereta tiba di Stasiun Tanjung Barat, tidak begitu banyak penumpang yang naik, namun beberapa saat sebelum pintu kereta menutup, seorang wanita dengan wajah panik berlari mengejar pintu yang hampir menutup.
Bersimpati pada wajah ngos-ngosannya, penghuni gerbong 6 yang kebanyakan adalah wajah-wajah familiar yang bertemu setiap pagi, spontan menyemangatinya. Tubuhku pun tergerak oleh euforia sorakan penumpang lain, dan sebelum kusadari sudah mengulurkan tanganku untuk menariknya masuk.
“Te-rima … kasih,” ujarnya sambil mengatur napas ketika berhasil masuk tepat sebelum pintu menutup.