"Tunggu, Sum! Tahan sebentar lagi!" bentar seorang lelaki tua di dekat putrinya yang sedang merintih kesakitan.
Peluh membasahi tubuh Pak Atmojo, berulang kali ia melihat ke luar pintu untuk memastikan apakah gerhana sudah berlalu. Tapi waktu seperti berhenti, gerhana masih menutupi bulan dan perkiraan masih terlalu lama untuk berlalu. Ia menghela napas berat, tidak ada yang bisa mencegah, ia tahu itu. Tapi, berharap Sumirah bisa bertahan adalah satu-satunya harapan untuk kelangsungan hidup bayi itu.
Ia masuk kembali ke dalam kamar yang diselimuti suasana kelam. Bu Rinten dan suami Sumirah-Faisal Wijaya- tampak sedang mengusap-usap punggung dengan sesekali membisikkan kata 'tunggu' dan 'sabar'. Sumirah tidak menjawab, hanya mengangguk menahan sakit.
Wanita malang itu kadang mengejan, tidak bisa menahan perutnya yang berulang kali kontraksi, pertanda si jabang bayi sedang mencari jalan untuk keluar dari rahim ibunya. Peluh membasahi tubuh wanita itu. Air mata pun tak bisa dia tahan ketika di saat dirinya sedang berjuang untuk melahirkan, tapi harus menghadapi hal seperti ini.
"Sum, sabar, Nduk. Sebentar lagi, Nduk."
Ibu Sumirah mengusap perut anak perempuannya. Ia tahu bagaimana sakitnya proses melahirkan, hal itu yang membuat Bu Rinten sabar menghadapi putrinya yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan cucunya.
Sumirah sekali lagi mengangguk sambil menangis. Kesakitan yang dirasakannya sungguh luar biasa. Ia kembali mengejan sambil mengatur napas. Faisal menggenggam tangan Sumirah dengan penuh rasa sayang.
"Mas ...." Suminten menangis menatap suaminya. Ketakutan terpancar jelas dari wajah perempuan itu.
Faisal mengerti, ia memeluk istrinya.
"Tenang, Sum. Kamu bisa bertahan, nanti setelah anak kita lahir, bukankah kamu ingin memberinya nama yang bagus? Maka dari itu, kamu harus bisa bertahan, Sum, sebentar lagi bulan akan kembali terang. Anak kita akan lahir dengan tampan atau cantik." Faisal berusaha menghibur Sumirah.
Air mata Sumirah mengalir deras. Anaknya harus lahir dengan selamat. Ia bertekad lebih baik ia yang kehilangan nyawa daripada anaknya.
Sumirah menoleh pada ibunya yang juga berlinang air mata, lalu menggenggam tangan ibunya.
"Maafkan Sumirah, Buk. Sumirah ndak kuat lagi," ucap Sumirah tersengal-sengal.
Setiap kali melihat wajah muram bapaknya, wajah sedih ibu dan suaminya, membuat Sumirah kehilangan tenaga.
"Bunuh saja Sumirah, Pak, Buk, setelah anakku lahir. Katakan itu sebagai penebusan untuk anakku," isakknya kesakitan. Wajahnya berkerut-kerut menahan jeritan.
Rambut wanita itu digerai dan berantakan karena terlalu sering bergerak.