Gerimis Daun-Daun

Rafael Yanuar
Chapter #11

Esok (1)

Masih pukul tiga pagi ketika Daniel terjaga. Dia ingin tidur lagi. Namun, karena matanya enggan memejam, dia mengintip tirai jendela. Di luar, meski langit masih segelap malam, pendar lampu jalan yang meleleh di sempadan membuat matanya menyipit. Daun-daun di halaman mulai rontok satu per satu. Beberapa helainya dihalau angin yang sunyi.

Ada tiga pohon ketapang di halaman belakang rumahnya. Satu sudah sembilan tahun usianya, dua lainnya yang berjarak sekitar satu meter di kiri dan kanan pohon tertua, masih berumur beberapa bulan. Jenisnya pun berbeda. Bukan ketapang biasa, melainkan ketapang kencana. Daun-daunnya kecil dan bentuknya sedikit mirip dengan cemara, hanya saja berdahan jarang. Rumput-rumput liar dan guguran daun menutupi rumput marram yang sudah saatnya dipangkas. Di mana-mana tumbuh pula randa tapak, putri malu, lalang, gelagah, dan entah apa lagi.

Pak Tono, tukang kebun yang saban bulan merapikan kebun, belum datang lagi. Bulan lalu, Daniel iseng menanam biji matoa di pojok kebun—di sebelah semak asoka dan rumpun dolar mini—dan sekarang benihnya sudah tumbuh. Batangnya cokelat. Daun-daunnya cokelat dan berkilauan. Namun, meski Daniel menyiramnya tiap hari, daun-daunnya tetap saja rontok, menyisakan batang kurus yang mengeris. Dia ingin membiarkannya bertahan sebelum memutuskan apa yang kelak diperbuatnya. Dia tidak tahu bentuk pucuk matoa seperti apa dan bagaimana membudidayakannya, tapi dia menyukai buahnya. Mama kadang membelinya di pasar.

Sepertinya sudah dua hari tidak ada yang menyapu kebun. Hujan baru saja reda, membuat tanah jadi sedikit berembun. Jendelanya pun merabun. Tiga gelondong batu besar di tengah taman—masing-masing batu sebesar anak domba—bergeming ditimpa pendar lampu.

Daniel mencari kacamata yang semalam ditinggalkannya di meja, tapi tangannya justru menyentuh sudut lancip yang segera disadarinya sebagai bingkai foto. Di dalamnya, terabadikan potret sepasang anak tersenyum semringrah menghadap kamera—satu gadis kecil dan satu lelaki kecil. Aya dan Daniel. Sudah sembilan tahun berlalu sejak Daniel pertama kali berjumpa dengannya, tapi perasaannya tak kunjung pudar, apalagi padam. Dia masih menyukai Aya jauh melebihi yang mampu dikatakannya. Dia melangitkan sebaris doa untuk Aya.

Ketika dia keluar kamar, di ruang tamu belum ada siapa pun. Televisi padam. Pemutar musik bergeming. Namun, matanya segera terbiasa memandang dalam gelap. Hitam yang semula menguasai ruangan, mulai mengurangi kepekatannya, lalu menjadi kelabu samar. Setiap benda mulai melahirkan warna. Dia berjalan dengan sangat hati-hati karena tak mau mengganggu Mama dan Papa yang masih tidur di kamar sebelah. Dia memutar kenop pintu di samping dapur, lantas mengambil sapu lidi. Karena kacamatanya sedikit berembun, dia melepasnya. Saat dia mengayunkan sapu, terdengar suara sapu lain di kejauhan, seolah menyelaraskan irima dengan sapunya. Rasanya tenang sekali. Setiap kali kersik daun terdengar, hatinya menjadi tenteram.

Tanpa sadar, setumpukan daun sudah berhasil dikumpulkannya. Dia puas melihat kebunnya jadi sedikit rapi. Sengaja tidak dipetiknya dandelion, lalang, dan putri malu, dan sesekali dilihatnya kumbang-kumbang kecil di antara rerumputan. Ketika dia duduk di batu, semburat ungu memancar di ufuk.

Ketika memasuki ruang tamu, Daniel mendengar suara musik. Lucy in the Sky with Diamonds. Sungguh lagu yang tidak biasa untuk mengawali hari.

Rasanya aneh mendengar album Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band saat pagi masih belia. Tetapi, Daniel tidak berkata sepatah pun.

Papa dan Mama duduk di sofa seraya meminum kopi. Mama sedikit terkejut saat melihat Daniel berdiri di pintu kebun, lalu mengutarakan pertanyaan habis dari mana? Daniel menjawabnya dengan mengangkat sapu lidi.

Rasanya sudah lama dia tidak mendengar lagu-lagu The Beatles di pagi hari. Sembilan tahun lalu, Papa meninggalkan koleksi pelat gramofonnya di rumah lama, termasuk piringan hitam The Beatles yang dikumpulkannya dengan susah payah. Lalu, tidak ada lagi The Beatles.

"Papa membeli boxset-nya kemarin. Bukan vinyl seperti koleksi lama Papa. CD. Seperti mengulang kenangan, ya?" Meski rambut Papa sudah memutih, wajahnya masih terlihat muda. Berkali-kali Mama ingin menyemir rambutnya, tapi Papa menolaknya. Papa juga tidak ingin Mama mencabuti rambut ubannya. “Nanti botak,” katanya, seraya terkekeh.

Daniel berjalan mengambil segelas air di dapur. Dia menuangkan dua sendok kecil gula jagung, lantas menyeduhnya dengan teh. Setelah airnya tak terlalu panas lagi, dia menuangkan sesendok madu.

Satu demi satu lagu berganti. Daniel duduk di samping nako dapur yang menghadap taman. Ketika Mama menyiapkan sarapan, Daniel membantunya memotong bawang. Papa menyiulkan nada She's Living Home yang sudah diputarnya tiga kali—dan yang mengingatkan Daniel pada lagu L'Arc~en~Ciel – The Silver Shining, band kesukaan Aya. Seraya menunggu sarapan dan merasa bersalah jika menganggur saat anak dan istrinya bekerja, Papa sibuk menyapu ruang tamu.

Lima belas menit kemudian, tiga piring nasi goreng sudah tersaji di meja. Daniel melahapnya perlahan, seperti biasa. Sudah berkali-kali Daniel mendapat menu sarapan yang sama, tapi dia tak jua bosan menyantapnya. Setelah suapan terakhir berhasil ditelannya, Daniel berangkat sekolah.

Pagi belum benar-benar terjaga ketika dia berjalan di trotoar. Burung-burung malas berkicau, seperti menahan dekut—atau itu hanya murai? Sesampainya di sekolah, belum ada satu pun temannya yang datang. Daniel berjalan pelan di pelataran, melewati pohon berangan di depan ruang guru, lalu memasuki kelasnya di ujung lorong. Matanya menyapu seisi ruang. Dekorasi Natal sudah selesai. Hasilnya sangat memuaskan. Kelasnya jadi bernuansa merah dan hijau.

Dia duduk di bangku tengah, di samping peta dunia. Di depan bangku Arella.


Daniel menghabiskan sebagian besar masa kanaknya di rumah dua tingkat yang masing-masing lantainya memiliki lima kamar. Jika dia menginginkan sesuatu, papa dan mamanya tak pernah ragu membelikannya. Jika ingin menekuni hobi baru, dia bisa dengan mudah mendaftar kursus. Les musik, renang, bahkan robotik pernah dilakoninya, tapi tak ada yang benar-benar dikuasainya. Hobinya selalu berubah mengikuti perasaannya. Dia juga mempunyai kamar khusus mainan yang selalu berhasil membuat teman-temannya berdecak kagum dengan sedikit rasa iri.

Namun, masa kanaknya yang berkelimpahan berakhir dalam semalam. Pada suatu subuh, Mama memaksa Daniel terjaga, lantas mengajaknya pergi. Dia bahkan tidak mengizinkan Daniel membawa banyak benda. Karena waktunya mendesak, Daniel meninggalkan mainan-mainannya, dan hanya membawa beberapa jilid komik—Conan, Dragon Ball, Kindaichi, Cardcaptor Sakura. Papa dan Mama bahkan tidak berani membanting pintu mobil. Lalu, dengan sangat hati-hati, Papa menekan pedal gas. Daniel, segera setelah kagetnya berkurang, memandang jendela dengan perasaan bingung. Dia menopangkan sikunya di pintu. Pemandangan kota pukul setengah empat pagi sangat berbeda dengan apa yang biasa dilihatnya. Akan tetapi, setelah menajamkan pandangan, perlahan-lahan dia mulai mengenal jalan.

Daniel biasa melewatinya pada akhir pekan, saat Papa dan Mama mengajaknya menghabiskan Sabtu di hotel dekat mal. Tapi sekarang berbeda. Alih-alih semringrah, dia justru gelisah. Tapi lama-lama Daniel tidak peduli dan hanya melamun. Dia tak dapat tidur, meski matanya masih menyisakan kantuk.

Mama dan Papa hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak meninggalkan rumah, tapi jelas keduanya memendam rasa benci. Bagaimanapun, akhirnya Daniel tertidur dangkal. Kepalanya terantuk-antuk jendela. Lalu suara teriakan di bangku depan membuat Daniel tersentak. Begitu banyak kata yang tak dia mengerti. Dia hanya mampu menera-nera artinya. Namun, dia paham, inti pertengkaran itu hanya satu—tuduhan yang dapat dirangkum menjadi sebuah kalimat saja—“Ini salahmu!”

Emosi menguasai Papa yang duduk di belakang kemudi, hingga mobilnya menyerempet sisi jalan, lalu menciptakan goresan yang cukup panjang di badan mobil. Dia melihat Papa menggeram dan melakukan gerakan memukul, tapi berhenti beberapa jarak sebelum mengenai dada Mama. Dia berteriak dan menghantam kepalanya sendiri dengan tinjunya. Keduanya terdiam, tapi atmosfer di mobil justru bertambah pekat. Seolah ditelan mendung.

Mama menahan isaknya di bangku depan. Daniel tidak mampu melihat pemandangan itu. Hatinya hancur. Biasanya, Papa dan Mama akur, selalu berdua ke mana pun pergi. Setiap malam, saat Daniel masih kecil dan tidur sekamar dengan orangtuanya, Papa memijat telapak kaki Mama hingga terlelap. Papa juga tak pernah lupa menyelimuti Mama jika selimutnya jatuh. Sesudah Mama terlelap, Papa mengambil buku di lemari, lalu membacanya di ruang tamu. Saat terbangun pada tengah malam karena ingin buang air kecil, Daniel selalu menemukan papanya di sofa dengan buku di tangannya.

Kelak, pertengkaran papa dan mamanya membekas di benaknya hingga membuatnya tak lagi berani tidur dalam mobil, bahkan sampai bertahun-tahun kemudian—selalu saja mimpi buruk menghampirinya—entah kecelakaan, dikejar hantu, mati, mobilnya meledak, atau, yang paling parah, papa dan mamanya saling meneriaki. Dia selalu terbangun dengan perasaan kalut, dan takut.

Pada pukul sebelas siang, Mobil berhenti di rest area. Di sana, ada sederet rumah makan dengan kondisi memprihatinkan. Papa memilih restoran yang terlihat sudah sangat tua, tapi satu-satunya yang layak dicoba. Bagian dalamnya gelap. Tidak ada tamu lain yang datang.

Setelah duduk di salah satu bangku, Daniel melihat katalog menu seraya mengusir lalat yang mendengung di sekitarnya. Dia memesan nasi dan ayam goreng, sementara papa dan mamanya rames. Meski tidak meminta, Papa tetap memesankan Daniel es jeruk. Daniel melihat mata mamanya masih basah. Sisa tangis yang mengaliri maskaranya menyebabkan jejak hitam di pipi. Mama langsung mengelapnya begitu Daniel memberitahunya. Mama berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya—dan itu terakhir kali Daniel melihat mamanya mengenakan make up.

Di luar dugaan, makanannya enak.

Selagi yang lain bahkan belum menyantap separuhnya, Papa menghabiskan ramesnya dengan cepat. Setelah itu, dia memundurkan bangkunya, lalu berjalan keluar dengan membawa gelas kopi. Dia mampir di warung untuk membeli dua batang rokok, beserta pemantiknya, lalu duduk di atas setumpukan kayu mati. Daniel yang mengejar karena takut papanya kabur, berhenti di samping pintu dengan perasaan heran. Papa tak pernah merokok—setidaknya selama yang Daniel tahu. Semenjak mempunyai anak, Papa memutuskan berhenti mengisap nikotin dan berusaha mencontohkan yang baik-baik saja, tapi sekarang dia tak tahu lagi bagaimana cara mendamaikan pikirannya. Lagipula, aku sudah bukan contoh yang baik, bahkan gagal menjadi manusia. Karena sudah bertahun-tahun sejak terakhir merokok, Papa merasakan kerongkongannya sakit. Diminumnya kopi yang sudah mendingin, kemudian dibuangnya puntung rokok yang baru terbakar ujungnya. Dia menginjak sisa baranya dengan sepatu. Papa melihat sekeliling, hanya sedikit mobil yang melaju di jalan raya.

Seorang kakek menyeberangi laluan. Kemudian menghilang di dalam gang. Setiap kali berhenti di daerah asing, Papa selalu memikirkan bagaimana kehidupan di sana, juga masalah seperti apa yang dialami para penduduknya.

Papa mengibaskan bajunya untuk menghilangkan bau rokok, lalu menjenguk keluarganya di dalam restoran. Ternyata semuanya sudah selesai bersantap. Setelah bergiliran buang air di toilet, Papa mengajak Mama dan Daniel melanjutkan perjalanan. Masih jauh, ujarnya. Mobil melaju dengan canggung setelah berhenti cukup lama. Suasana sudah sedikit mencair, sehingga Papa memasukkan kaset entah-apa di alat pemutar musik, tapi karena di dalam ada kaset lain, dia menyimpannya lagi. Intro gitar Country Road langsung menggema. Papa juga membuka sedikit jendela untuk mengeluarkan hawa panas yang mengendap saat mesin dimatikan.

“Mereka tidak akan sadar sampai Minggu depan,” ujar Papa, muram, setelah diam cukup lama. “Untuk sementara, kita aman.”

Mama hanya mengangguk pelan.

Mobil melaju stabil pada 70 kilometer per jam. Mungkin karena letih dan kenyang, Daniel tidak mampu menahan kantuk. Sekalipun sudah sekuat tenaga menolak tidur, tetap saja matanya terpejam. Dalam lelapnya, dia terjatuh di jurang tanpa dasar. Jatuh dan terus jatuh dan jatuh. Dia tak mampu melihat apa pun, hanya gelap yang semakin lama semakin pekat. Kehampaan menelannya bulat-bulat. Hampir saja dia histeris. Syukurlah, bau tajam bensin membuatnya terjaga. Ternyata mobil berhenti di SPBU. Daniel melihat jam di dashboard, sudah pukul dua siang, pantas matahari menyorot tajam. Seketika, dia merasa tubuhnya lembap. Keringat membasahi ketiaknya. Dia menekan kening yang terasa berkunang-kunang. Diambilnya botol air yang masih menyisakan dingin, lalu meneguknya hingga tandas.

“Kita di mana, Pa, Ma?”

Papanya menyebutkan nama jalan. Daniel segera melupakannya dan kembali terlelap, tanpa mimpi, tapi hatinya resah, jantungnya berdebar. Rasa bersalah seolah menekan dadanya, hingga dia menangis. Pada pukul empat sore, ketika mobil melaju di jalan yang tak rata, Daniel terjaga. Di jendela, dia melihat daerah yang tidak dikenalnya, tapi entah bagaimana dia tahu, dia sudah tiba di tujuan. Ketika melewati perempatan lampu merah, Papa memutar kemudinya ke kiri, lalu berhenti di depan sebuah rumah. Karena tidak ada garasi, mobil diparkir begitu saja di bahu jalan, seperti banyak mobil lain.

Sebenarnya rumah itu tidak terlalu kecil, bahkan cukup luas, dengan dua kamar, dua kamar mandi, ruang tamu, dan dapur yang lega. Tapi, bagi Daniel yang terbiasa hidup di istana, rumah itu bagai gubuk di ujung dunia.

“Tabungan kita masih cukup untuk setahun-dua, bahkan lebih kalau kita mengencangkan ikat pinggang. Sementara itu, aku akan mencoba memulai usaha baru,” papanya terdiam, pikirannya buntu. “Setelah uangnya terkumpul, aku akan bertanggung jawab dan membereskan utang-utang. Sekarang, kita menata ulang hidup kita lagi—dari nol.”

“Aku juga akan bekerja,” kata Mama. Bibirnya bergetar. “Bagaimanapun, Daniel harus sekolah.”

Sekolah, pikir Daniel muram. Dia bahkan belum berpamitan dengan teman-teman lamanya. Sebenarnya apa yang terjadi?

Sesudah menurunkan kopor-kopor, Papa langsung berbaring di salah satu kamar. Wajahnya terlihat letih. Daniel, sebaliknya, karena sudah tidur cukup lama dalam perjalanan, masih segar. Mama, meski capai, memutuskan mengisi waktu dengan membongkar dan menyusun kopor. Setelah mengambil sampo, sabun, dan sikat gigi, lalu menyusunnya di kamar mandi, dia menyuruh Daniel mandi. Tidak ada shower, tapi ada air yang mengisi ceruk. Daniel mengambilnya segayung. Airnya dingin, udaranya dingin, napasnya dingin. Dia menggigil, tapi tidak berani merepotkan mamanya dengan meminta air panas.

Setiap kali air membasahi badannya, ribuan jarum bagai menusuk kulitnya. Dia buru-buru menyabuni tubuhnya. Dingin—dingin sekali. Setelah mandi, giginya beradu, wajahnya memucat. Dia langsung memakai pakaian. Mama, dengan sigap, melingkarkan selimut di sekujur tubuh putranya.

Ketika gigilnya mulai berkurang, Daniel duduk di sofa. Dia menyapu ruangan dengan matanya. Di jendela, langit sudah menggelap, tidak bisa lagi disebut senja. Dia mencari sakelar yang terhubung dengan lampu depan. Ternyata ada di ruang tamu. Karena aroma cat masih menguar, seraya berjalan, Daniel menjepit hidungnya dengan jari. 

Lihat selengkapnya