Gerimis Daun-Daun

Rafael Yanuar
Chapter #5

Kemarin (2)

Saat melewati tikungan yang merenggut nyawa Adit, tiang listriknya bahkan masih melengkung, Dita memejamkan mata karena mustahil membukanya tanpa menangis. Saat Maut menjemput, inikah pemandangan terakhir yang kaulihat? 

Seiring laju roda, Dita membiarkan rasa dingin pada pelipisnya makin menyengat. Dia menyentuh jendela dengan telapak tangannya, lalu membuka mata, tapi panorama di depan kaca sudah berubah. Taksi menggelinding di deretan toko yang sebagian besar masih tutup. Saat dia tak mampu lagi membendung air mata, Aya memeluknya. Dita merasa terlindung di pundak yang seharusnya dia lindungi. Hangat dan beraroma jeruk. Hujan sudah reda ketika taksi sampai di apartemen, tapi masih menyisakan sejuk. Dita memperhatikan daun-daun yang gugur di pelataran, beberapa kelopak bergelung nyaman di genangan, beberapa tergeletak sepi di aspal. Namun, tidak ada yang hijau, semuanya menguning, bahkan cokelat. Seperti waktu ketika saatnya gugur. Setelah menuruni taksi, Aya menjulurkan tangan untuk memastikan hujan sudah sepenuhnya reda. Meski sejauh mata memandang langit masih membentangkan kelam, tidak ada setetes pun gerimis yang gugur, hanya angin kelambu berembus tenang, nyaris tanpa suara. Dahan pepohonan bergemerisik dipermainkan cuaca. Burung-burung berkicau entah di mana. Pelan tapi pasti, seumpama kerang yang membuka cangkangnya perlahan, langit yang semula rapat dipenuhi gemawan mulai memancarkan seri matahari. Tidak terik, tapi hangatnya merasuk. Dita tidak langsung berjalan menuju apartemennya, tetapi memeluk lengan Aya, lalu mengajaknya menghampiri tukang bubur di depan gerbang. Dia memesan dua porsi tanpa menunggu persetujuan Aya. Karena belum menyantap apa pun sejak pagi, Aya tidak menolaknya. Bangku kayu yang memanjang di dalam tenda, lembap karena terkena renjisan, tapi masih tersisa sisi kering yang bisa diduduki. 

“Padahal aku kangen masakan Kakak,” keluh Aya.

“Nanti, setelah pindah, kamu pasti bosan memakannya,” jawab Dita dengan seuntai senyum sehangat pagi.

Aya hanya menggeleng. Tidak. Tidak akan. Aku yakin.

Seraya menunggu bubur disajikan, Aya mengenang saat-saat pertama berjumpa dengan Dita. Dia tidak langsung menyukainya. Dulu, saat Aya masih kecil, Adit sering mengajak Dita mengunjungi rumahnya, tapi karena merasa posisinya sebagai adik terancam, Aya kerap menghindar dan bersembunyi di kamar. Dita sering memanggil namanya, berusaha mengajaknya main, tapi usahanya seringkali tak membuahkan hasil. Meski demikian, Dita ternyata pantang menyerah. Jika pendekatan biasa tidak berhasil, dia mengubah strategi dengan masakan. Dia meminjam dapur Adit yang jarang dipakai, mengeluarkan bahan-bahan, lalu mulai memasak sesuatu. Masakannya selalu sederhana dan didominasi sayur-sayuran, tapi rasanya enak. Dan Aya yang semula anti dengan sayur, perlahan mulai menyukainya. Tradisi makan sore pun terbentuk. Adit sendiri tidak pandai memasak, tapi nasi gorengnya sangat enak—dan Dita mengakui tak mampu menandinginya, padahal bumbunya hanya garam, bawang, dan cabai, serta nasi sisa. Aku benar-benar merindukan masakan Kakak—dan Abang. Tanpa mengaduk, bahkan tanpa menyelesaikan lamunannya, Aya mengutip bubur di hadapannya. Ternyata lezat. Dia melihat Dita sudah memandangnya dengan senyum bangga—seolah berkata, benar 'kan? Aya mengambil kerupuk yang diletakkan di piring berbeda, lalu membiarkannya layu bersama kuah bubur. Dia memakannya sesendok demi sesendok, kemudian menyesap teh yang sama panasnya dengan bubur. Perutnya menghangat dengan cepat. Sehabis bersantap, Dita mengajak Aya memasuki apartemen. Karena cahaya di beranda sudah cukup menyinari seluruh seluk, dia tidak menyalakan lampu

“A-aku benar-benar boleh tinggal di sini, Kak? Tidak perlu membayar?”

Dita menggeleng, “Aku juga tidak membayar, kok.”

Aya memeriksa kamar yang kelak menjadi kamarnya, meskipun enggan. Dia tidak mau terkesan penuh pertimbangan setelah menerima tawaran baik Dita, tapi Dita memaksa. Dia membuka pintu kamar yang kelak ditempati Aya, lalu memintanya melihat-lihat—seperti agen properti saja. Meskipun kecil, ruangan di dalamnya begitu nyaman—lengkap dengan ventilasi dan jendela. Aya, masih dengan perasaan enggan, berjalan dengan tangan diletakkannya di belakang—menyapu meja belajar dengan telapak tangannya, menduduki ranjang, merasakan keempukannya, lalu membuka tutup lemari dengan kikuk. Segala yang aku butuhkan sudah ada di sini, bahkan lebih, Aya melihat Dita, lalu tertawa. 

"Aku bingung harus melakukan apa," katanya. "Terima kasih, Kak. Terima banyak kasih."

Pupil mata Aya membesar justru ketika melihat rak buku di ruang tamu. Tanpa disuruh, dia langsung menilik judul-judul yang menarik hatinya. Hampir semuanya literatur Jepang—yang tidak terlalu ditekuninya, tapi mampu menumbuhkan rasa penasaran di benaknya. Selama berhubungan dengan buku, tidak masalah mencoba hal baru. Dita, seperti lazimnya pecinta buku, senang melihat Aya antusias memeriksa koleksi buku-bukunya. Dia menjerang air di dapur, lalu menyeduhkan minuman.

“Kopi atau teh?”

“J-jangan repot-repot, Kak.”

“Oke, teh saja, ya. Aku ingat kamu penggemar teh.”

Jawaban ‘iya’ Aya terlalu pelan untuk didengar siapa pun, tapi Dita menyadarinya. Dia menyeduh secangkir teh dengan air yang sepenuhnya panas. Dia juga memutuskan membuat satu cangkir lagi, lalu menghampiri Aya yang sudah lebih dulu duduk di karpet seraya menjulurkan kaki. Layar televisi dibiarkan padam. 

Seperti selubung, selama beberapa jenak, tak ada yang menyebut nama Adit. Namun, perlahan-laham, Aya mulai membuka hatinya. 

“Setelah Abang pergi, aku tinggal di rumah Kakek dan tidur di ruang belakang, di samping tangga. Setiap hari, aku berangkat pagi-pagi benar sebab jarak sekolah lumayan jauh. Karena sudah sangat tua, Paman memutuskan untuk merenovasi rumah Kakek. Rumah Paman berada di kota sebelah, jadi aku tidak mungkin ikut. Aku diminta mencari indekos sampai rumah selesai diperbaiki.” 

Percakapan yang semula berat, mulai mencair ketika membahas hal-hal lucu. Dan akhirnya, pertahanan Dita runtuh ketika tertegun melihat tawa Aya. Dia bergumam hampir tanpa suara, “Tawa kalian benar-benar mirip.”

Aya menggeleng dan tersenyum, “Tapi tawa Abang berlebihan.”

“Benar,” Dita menutup mulutnya dengan tangan. “Dia begitu.”

“Kakak sebaiknya jangan menyembunyikannya. Kakak cantik kalau tertawa.”

“Kalian sama—gombalnya.”

Percakapan masih berlanjut tapi lantas terhenti ketika Dita membuka lebar pintu beranda dan angin berembus tenang dilatari suara hiasan bambu. Aya, terlihat mengantuk, menyandarkan pipinya di meja. Seraya menyandarkan pelipisnya di lengan, dia melihat Dita yang memegang cangkir dengan cara yang sama sejak mengenalnya bertahun-tahun lalu—dengan kedua tangannya, seolah hendak merasakan suhu di dinding cangkir. Matanya menerawang memandang langit yang berawan. Tak ada mendung.

“Baiklah,” Aya menepuk lututnya dan bangkit berdiri. “Boleh aku pindah sekarang, Kak?”

Lihat selengkapnya