Sehabis mandi, Aya menggulung handuknya di kepala seperti turban. Dia meraih remot di ujung meja. Namun, setelah berpikir lagi, dia tidak jadi menyalakan televisi. Seraya duduk di sofabed, dipandangnya balkon yang pintunya dibiarkan terbuka dan didengarnya suara hujan. Namun, karena hawa dingin begitu cepat masuk, dia menutup pintu rapat-rapat. Jam masih menunjukkan pukul setengah lima sore, tapi mendung membuat pemandangan di seberang jendela seolah sudah lewat magrib. Langit gelap. Aya menyalakan lampu teras dan memandangi bunga-bunga dalam pot—hanya empat, masing-masing sudah berbunga, tapi dia tak tahu namanya. Dita pun tidak.
Ada satu tanaman yang kemarin membuatnya khawatir. Daun-daunnya bolong, mungkin terkena hama ulat, tapi tidak ada satu pun ulat di mana pun. Dita bilang tak apa, memang begitu.
"Memang bolong?"
"Memang bolong. Namanya janda bolong."
Karena di luar dingin sekali, Aya merasa perlu memasukkan pot-pot itu ke dalam rumah. Mungkin di pojok sofabed. Tapi dia tak berani melakukannya sebelum mendapat persetujuan Dita. Aya mengambil gawainya dan mengetik sebaris pesan. Di luar hujan, Kak, pot-pot mau dimasukkan, tidak? Namun, dia menghapusnya dan mengetik pesan lain.
—Halo, Kak. Lagi apa?
Segera setelah tombol kirim ditekan, balasan datang. Cepat sekali.
—Menunggu hujan reda. Kamu?
—Kak Dita enggak bawa payung, ya? (Lagi.)
—Enggak.
Aya tertawa melihat emot cemberut di ujung pesan kakaknya.
—Aku jemput, ya!
—Jangan, jangan repot-repot.
—Sayang sekali, aku enggak bertanya.
Aya membuka pintu, menuntupnya lagi, dan menguncinya dua kali. Dengan perlahan, dia berjalan menyusuri lorong. Meski hujan turun dengan lebat dan dingin mengendap di udara, ternyata hawa di koridor cukup hangat. Mungkin pengaruh lampu neon yang menyala silau di langit-langit sepanjang lorong. Aya menuruni tangga di ujung jalan, lalu mengembangkan payung sesampainya di lantai dasar. Berangkat sekolah di malam hari ternyata mendebarkan. Suasananya berbeda.
Karena sudah lewat pukul lima, sebelum memasuki sekolah, satpam menghadangnya di pos depan. Setelah dia mengutarakan keperluannya, Pak Satpam mengizinkannya masuk. Taman Kanak-Kanak berada di bagian belakang sekolah dan menjadi satu dengan full day school. Di depan salah satu kelas, Dita duduk di sebelah teman gurunya. Sepertinya Aya mengenalnya. Dia Ibu Guru yang dulu mengajarnya saat kelas enam SD. Begitu melihat Aya, Dita langsung berdiri dan pamit. Aya mengangguk sopan, menyapa gurunya—baginya, tidak ada mantan guru—lalu menyerahkan payung lain pada Dita. Alih-alih mengenakannya, Dita menyerahkannya pada temannya.
“Tak apa, ‘kan?” tanya Dita. “Kita sepayung saja,” katanya lagi, seraya berdiri di samping Aya.
“Boleh,” jawab Aya, diiringi senyuman cerah seolah hendak mengalahkan mendung cuaca. Semingrah.
Sebelum berjalan, Aya melepaskan earphone di telinganya. Sejak tadi, dia mendengarkan melodi di aplikasi streaming gawainya—suatu kumpulan yang dilabelinya dengan nama Musik Hujan. Musik berhenti di pertengahan lagu Jikustik – Setia. Saat melewati pintu SMA, dia menengok sebentar, tapi segera mengalihkan pandangan.
Entah kenapa, Aya menyukai sensasi sepi pada tempat-tempat yang biasanya ramai. Daun-daun dan dahan berguguran di sepanjang jalan dan membuat seluruh sekolah hampir tertutup warna jingga. Aya meminta Dita menepi sejenak. Dia mengeluarkan gawai dan mengatifkan kameranya. Ditangkapnya berbagai gambar, bahkan sesekali menyalakan blitz karena langit sudah gelap. Setelah melewati pos jaga di gerbang depan, hujan yang semula rapat, mulai renggang, lalu hanya menyisakan gerimis tipis-tipis. Di dekat sekolah, ada warung nasi goreng yang baru buka. Bahkan peralatan masaknya masih belum disiapkan. Hanya ada satu meja panjang dan bangku kayu di dalam tenda.
“Mau makan? Kakak lapar,” kata Dita.
“Tumben makan berat?”
Dita menunjuk langit dan tersenyum, “Pengaruh cuaca, mungkin. Tapi kamu tidak masak apa-apa, 'kan? Kalau masak, kita makan di rumah saja.”
Aya menggeleng dengan nada sedikit menyesal. “Sayangnya tidak, Kak.”
Tapi Dita hanya tersenyum mendengarnya, “Kenapa pakai ‘sayangnya’?” tanyanya. Dia mengelus rambut Aya dengan usapan lembut. Aya menyambut tangannya dan menggenggamnya erat.
Dita memasuki tenda nasi goreng, disusul Aya, lalu mencari bangku yang tidak basah. Aya melipat payung dan meletakkannya di samping tempat duduknya. Saat mendengar Dita memesan dua porsi nasi goreng, lengkap dengan tambahan telur dadar, Aya teringat ibunya yang juga tak pernah lupa menambahkan telur dadar setiap kali memasak nasi goreng untuk putri semata wayangnya. Hatinya menghangat. Bapak penjual nasi goreng yang berdiri di samping istrinya mengatakan, butuh waktu sekitar lima belas menit untuk menyiapkan dagangan.
“Tak apa?” tanya Dita.
Aya mengangkat jempolnya.
Setelah duduk, Dita menurunkan risleting jaketnya, lalu melipat ujung lengan jaket hingga pergelangan tangannya. Dia memandang Aya yang sibuk memotret dengan gawai. Dengan izin Aya, Dita melihat apa yang dipotretnya—gerobak sarat sayur dan mi instan, serta sebakul nasi. Karena masih ada waktu beberapa menit sebelum menu disajikan, Dita mengambil buku di tasnya dan mencari halaman yang ditandai. Dia sudah selesai membaca Seribu Bangau dan mulai membaca buku lain yang ternyata cukup mudah dinikmati. Sekarang giliran Aya yang memperhatikan Dita. Aya tersenyum. Dita membaca buku miliknya. Heidi, karya Johanna Spyri. Mungkin karena mengingatkannya pada hidupnya sendiri, Aya menyukai buku anak klasik yang tokoh utamanya yatim piatu. Dia bahkan menyukai ketigabelas seri A Series of Unfortunate Events yang luar biasa sedih itu.
Sesudah menangkap beberapa gambar dan memilih yang terbagus, dia membuka WA, lalu mencari sederet nomor yang sudah tak aktif lagi. Nomor Adit. Dia mengetikkan kabar seolah pesannya mampu tersampaikan. Abang, lagi apa? Aya lagi makan di warung nasgor langganan kita—ditraktir Kak Dita. Ketika memandang Dita, Aya diam-diam mengarahkan fokus dan memotretnya, lalu segera mengirimkannya dengan tambahan pesan.
Benar. Kak Dita. Pacar Abang. Dia kangen.
Kemudian, Aya memandang ponselnya. Dia mulai ingin menarik turun jarinya untuk menelusuri pesan-pesan yang sekarang hanya menyisakan masa lalu. Namun, karena matanya memanas, dia menaruh gawainya di saku, kemudian menopang dagunya. Dita menutup buku yang dibacanya.
“Aya tidak memakai jaket yang biasanya?” kata Dita, seraya menopang dagu.
“Basah, Kak. Tadi aku hujan-hujanan.”
Dita kaget. Dia mengambil sebungkus minuman jamu, lalu menyerahkannya sesaset. Aya heran.