Saat berjalan di pelataran sekolah, Dita memperhatikan daun-daun yang berserakan di tanah berbatu. Ada yang sudah kecokelatan, ada pula yang kekuningan, dan sedikit sekali yang hijau. Namun, yang hijau itu menjadi tanda, hujan sore tadi ternyata lebih deras dari perkiraannya semula. Suara sepatu menggema saat dia berjalan. Sekalipun dalam redup lampu, melompati daun-daun basah dan genangan bukan perkara sulit, tapi mustahil dia mampu menghindari sisa embun yang layu dari pangkal daun, yang gugur sebagai gerimis kecil-kecil. Gerimis daun-daun. Begitulah dia menamainya. Dia menggosok dua tangannya—Desember sudah sedingin ini, ya?—lalu mengecek derajat suhu di gawai. Dia mendapati angka 16°C di pojok kanan layar. Pantas saja. Semenjak memasuki musim penghujan, ketapang-ketapang di kiri jalan bertambah lebat daunnya, beberapa dahannya bergelantung rendah seolah terjangkau jemari. Samar terdengar dekut burung yang lelah, bersiap lelap saat langit menggelap. Di gerbang sekolah, Dita menengadah, mencari bintang di celah dahan yang sudah berhenti tumbuh, tapi belum jua ditebang. Dia mengambil kacamata di dalam tas, dan mengenakannya.
Terlihat bintangnya? Satpam di pos jaga bertanya. Dia sudah hapal kebiasaan si Ibu yang gemar memandang langit, tak peduli pukul berapa, dengan binar mata yang tak kalah cerlang dengan mata anak-anak asuhannya di TK.
Dita mengangguk dan tersenyum.
Ada, Pak. Di sana, ada satu. Terang sekali. Apa namanya, ya? Bapak tahu? Dita menunjuk arah barat dengan matanya.
Pak Satpam tertawa. Enggak tahu, Bu. Tanya Pak Riko saja kalau soal bintang-gemintang.
Pak Riko adalah guru fisika di SMA.
Dita tertawa.
Ternyata langit tak sepenuhnya gelap.
Setelah matanya terbiasa, dia sanggup memisahkan pendar merkuri dari cahaya yang lain, yang lebih murni.
Nun jauh di utara, ada sepercik kilap yang kedipnya berkedip teratur, seolah mengikuti ketukan walsa. Polaris? Dita berbisik samar. Sepercik lelatu di luas semesta. Kemudian terlihat lagi satu kilap—lindap. Dan satu lagi—lebih terang. Dan satu lagi—sangat terang. Tahu-tahu, mengilaulah puluhan bintang membentuk titik-titik permata bagai lagu anak tradisional. Twinkle-twinkle little star.
Ada lebih banyak bintang dibandingkan dengan pasir-pasir di lautan. Bahkan semua kata yang diucapkan sejak permulaan waktu tak mampu menandingi jumlahnya. Tetapi kau hanya mampu memandang sedikit—mungkin sepertakhingga dari jumlah yang sebenarnya. Sudah berkali-kali kau mencoba menghapal rasi yang berkelindan mengikat langit dalam misteri dongeng-dongeng purba. Akan tetapi, meski mampu merangkainya pada permukaan kertas, lalu membayangkan gambar tiga dimensi yang membentuk dewa-dewi Yunani, ketika menyusuri kilaunya dengan ujung jemari, kau bagai berhadapan dengan peta yang tak kunjung berhasil dibaca sekuat apa pun upaya.
Memandang langit membuat Dita, mau tak mau, teringat kata-kata Carl Sagan. Di area Kosmis yang begitu luas, Bumi hanyalah titik biru pucat yang mungkin tidak berarti. Tetapi, tidak demikian adanya bagi kita. Bumi adalah satu-satunya rumah yang kita punya.
Dita tersenyum, lirih.
Cerlang bintang meredup dikalahkan kilau tajam merkuri. Kabel-kabel listrik malang melintang mengiris cembung rembulan. Dilampirkannya tas selempang yang cukup untuk menampung dunia, tapi isinya nyaris kosong, kecuali satu jilid novel yang baru setengah dibaca. Dita mengembuskan napas, lalu menggosok telapak tangannya. Suhu mencapai titik lima belas derajat celsius. Angin tidak bertiup, tapi mengendap—berhenti di udara bagai dibekukan waktu. Direndahkannya pandang untuk melihat rumah-rumah yang berbaris di sisi jalan.
Dita tersentak ketika telinganya mendengar seruan.
Jarang sekali kita pulang jam segini, ya. Perempuan yang berjalan beberapa langkah di belakang Dita, berlari kecil mendahuluinya, lalu memutar tubuhnya seraya melambaikan tangan—bukan dengan mengangkatnya tinggi-tinggi, melainkan hanya sebatas dagu. Dia teman sejawat Dita. Sampai jumpa!
Setelah mengangguk kecil, dengan suara pelan Dita pun membalasnya. Sampai bertemu lagi, katanya, lembut. Hampir tak terdengar. Dia benar, pikirnya. Biasanya kami pulang sebelum magrib, sekitar pukul tiga sore, bahkan lebih cepat. Setelah mengendurkan lambaian, Dita berpaling dan meneruskan langkah, tapi terhenti beberapa jenak kemudian.
Omong-omong, bukan bintang yang Bu Dita tunjuk tadi, tapi planet. Itu Venus.
Oh, Venus, ya.
Iya. Biasa disebut Lintang Panjer Sore. Indah, ya?
Dita mengangguk. Sangat.
Ya sudah, Bu Dita, saya duluan, ya? Saya mau ke sana.
Dita membalas lambaian tangan temannya, lalu kembali meneruskan langkah.
Jam di pergelangan tangan kanannya hampir menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Dia menekan perut yang sejak pukul dua belas siang belum diisi apa pun, kecuali air mineral dan segelas teh hijau. Dia mengingat-ingat, di apartemennya adakah makanan? Dia yakin ada dan sepertinya belum basi. Tapi sebaiknya aku berjaga-jaga.
Setelah melewati gudang tepung yang sisa-sisa tepungnya memutihkan jalan, Dita mendorong pelan pintu minimarket yang setiap hari dilewatinya. Ruangan di dalamnya sejuk, tapi tak sesejuk di luar. Semenjak memasuki bulan Desember, udara menjadi dingin. Padahal pada bulan-bulan sebelumnya, tak ada tanda-tanda kemarau mungkin berakhir. Hujan pertama turun pada ujung November. Setelahnya, hampir setiap hari mendung menghampiri. Terkadang menjadi deras, terkadang gerimis semata, terkadang memberat, terkadang gugur pada dini hari yang senyap, terkadang merasuki mimpi tanpa satu pun menyadari. Cuaca yang semula muram seketika merimbun menjadi hujan. Tetapi, sekarang cerah. Cukup cerah.
Selamat datang! Selamat berbelanja di Indoapril!
Dita tersentak. Dia memandang perempuan di belakang meja kasir, menganggukkan kepalanya sekali, tersenyum samar—jangan lupa tersenyum, lalu berjalan dengan sedikit menunduk. Dia memikirkan benda-benda yang hendak dibelinya, lalu menyapukan pandang dan menghitung tanpa suara, ada berapa pengunjung yang tersebar di berbagai titik. Dia mendengar akhir refrain lagu populer yang tak kunjung berhasil merebut hatinya.
Akhirnya, dia memutuskan memilih salad karena enggan bersantap berat, tapi keramaian di bagian makanan dingin—ada beberapa remaja yang mengobrol dengan suara lumayan keras—membuatnya tak ingin mendekat. Tanpa disadari, dia sudah bersembunyi di antara rak camilan. Kata sembunyi sebenarnya berlebihan, sebab dia hanya berusaha menghindar. Toh, dia juga ingin membeli makanan ringan. Dia hanya tidak menyukai keramaian.
Seraya memilih berbagai kudapan di rak pojokan, dia menunggu para remaja pergi. Ada susunan puding mangga yang didiskon hampir separuh harga, mungkin sudah mendekati tanggal kedaluwarsa. Lima ribu rupiah semangkuk. Biasanya delapan ribu. Dia mengambil dua dan memasukkannya dalam keranjang, lalu melihat-lihat rasa lain, tapi karena tidak tahu harus mengambil yang mana, dia meraih lagi tiga puding dengan rasa yang sama. Biar genap lima.
Dita mengintip bagian berpendingin. Karena sudah sepi, dia menghampirinya, lantas mengambil lima botol yogurt dan beberapa porsi buah yang sudah dipotong. Harganya murah, meski tidak segar lagi. Di bagian depan toko, dia memilih setengah lusin telur ayam.
Segera setelah selesai berbelanja, dia membanjar di kasir.