Gerimis Daun-Daun

Rafael Yanuar
Chapter #2

Selumbari (2)

Di samping lelapnya, Dita selalu memajang jam meja berbentuk penguin yang sudah dimilikinya sejak lulus sekolah dasar. Kecuali bagian ungu pada sayap lengannya, seluruh tubuh jam itu putih. Ketika merindu desa yang merangkum segenap masa kanaknya, Dita senantiasa memandang penguin kecilnya dengan sepenuh rindu. Untuk melengkapi sifat melankolisnya, dia juga mempunyai toples selai berisi tanah dari halaman belakang rumah ibunya. Meskipun usianya sudah cukup tua, sebagai benda elektronik, jam penguinnya tidak pernah sekali pun rusak. Memang, warna putihnya sudah menguning, tapi justru menambah kesan klasik yang disukai Dita. Seingatnya, dia hanya membutuhkan satu baterai AA untuk menyalakannya selama tiga tahun. Detiknya pertama kali berhenti ketika Dita lulus SMP, lalu berhenti lagi ketika dia menerima ijazah SMA. Entah sudah berapa pagi Dita terjaga ditemani suara statisnya yang tidak nyaman didengar, tapi begitu diakrabinya. Dita selalu menyetel alarmnya tepat pukul lima-lima belas, kecuali saat libur dan akhir pekan. Di hari senggang, dia berharap dapat tidur lebih lama, meski yang terjadi justru sebaliknya. 

Ketika membuka mata dan menjenguk jendela, Dita mendesah malas saat menyadari langit masih membentangkan kelam. Di balik tirai, cahaya muram menyinari ufuk dengan warna nila yang samar. Dita meraih jam penguin di samping kasur, lalu melihat jarumnya dengan penerangan seadanya. Ternyata belum pukul lima. Dia mencoba tidur lagi, tapi karena rasa kantuk enggan hinggap di matanya, dia menarik selimut, lalu menarikembuskan napas tiga kali. Dita menutup erat-erat tubuhnya untuk menikmati sensasi nyaman meringkuk dalam ‘rahim’, lantas duduk dan menajamkan pandangan. Dia meregangkan tubuh dengan menarik dua tangannya tinggi-tinggi. Dalam pantulan samar matahari subuh, terlihat lembut tapi tegas rambut panjangnya yang berwarna tembaga. Semalam dia mengikatnya dengan karet, tapi sepertinya mengendur ketika terlelap. Sebelah gaun tidurnya melandai turun mengungkap bahu kecilnya. Dita meraih gawai di meja, menyalakan data seluler, lalu memandangi layarnya. Cahaya yang memancar tajam membuatnya mengernyit. Namun, ketika tidak menemukan satu pun notifikasi di layar Whatsapp-nya, dia tersenyum puas. Setiap pagi, dia beradu cepat dengan ibunya untuk menyampaikan salam selamat pagi, tapi jarang sekali dia memenangkannya. Dia mengetikkan sebaris kalimat yang, karena tak berubah saban subuh, seperti ditulis operator. Selamat pagi, Bun. Tuhan memberkati. Tak butuh waktu lama, balasan datang dengan kalimat yang persis sama, seolah diketik dengan menggunakan kontrol copy-paste, hanya saja kata ‘Bun’ diganti dengan ‘Adistya’, yang entah bagaimana bisa menjadi ‘Dita’ di kemudian hari. Karena sudah telanjur terjaga, Dita menepuk lututnya dua kali, merapikan gaun tidurnya, lalu berjalan menuju dapur. Dia mengambil gelas mug berukuran sedang, menuangkan air suam-suam, lalu meminumnya pelan-pelan. Dia mengambil pasta gigi di gelas samping wastafel, lalu mulai menyikat gigi. Karena hari masih gelap, dia sempat ingin lari pagi, tapi rasa malas mengalahkannya. Di dapur, dia menyalakan lampu tiga kali—membuat ruangan menjadi berpendar kuning redup. Teduh bagai halaman buku book-paper. Lampu LED di dapurmya mempunyai fitur yang unik. Ia mampu memendarkan warna putih terang, putih redup, dan kuning redup, tergantung berapa kali Dita menekan sakelarnya. Dia menyanyikan Usagi-Usagi—lagu rakyat Jepang tentang kelinci di bulan—sambil mengambil loyang kecil. Setelah memanaskan dua sendok minyak, dia memilih telur di kulkas. Mata sapi atau dadar, ya? Dia memutuskan menceploknya saja karena lebih praktis. Seraya menikmati suara renyah minyak di penggorengan, dia menyanyikan Mikan no Hanasaku Oka—lagi-lagi lagu rakyat Jepang—meski karena lupa, dia hanya menggumamkan sebagian besar liriknya. Ketika sisi putih telur sudah sedikit keemasan, dia mematikan kompor, lantas menuangkan isinya di atas piring. Karena masih ada sisa minyak di wajan, dia menaburkan daun bawang yang sudah dicacah, menaburkan setengah suwir garam, lalu menumisnya sebentar. Dia meninggalkan isi piring yang belum disuapnya dan mengambil setoples kopi dan cangkir. Dua kopi dan dua gula. Tak butuh waktu lama, aroma hangat terhidu di seantero ruang. Setelah mematikan lampu, dia berjalan membawa sarapannya hanya mengandalkan seberkas cahaya di celah tirai. Di sofabed, dia melendutkan tubuhnya, lalu meletakkan sarapannya di meja. Tanpa terjaga, dia membuka sedikit hordin yang menutupi balkon dan mematikan lampu beranda. Dibiarkannya matahari lamat-lamat menyinari ufuk. Setelah menghabiskan sarapannya, Dita berdiri di beranda. Meski tidak sesejuk di kampung, dia selalu menyukai pagi ketika cahaya perlahan tumbuh di timur. Dia menaruh cangkir di permukaan kipas AC yang jarang digunakan. Semoga hari ini cerah, doanyaKarena tak ada tanda-tanda hujan, Dita menyeret ember besar pakaian kotor, lalu memasukkan isinya satu per satu dalam mesin cuci. Setelah tombol start menyala dan baling-baling mulai berputar, dia meninggalkannya dan mandi.

Di beranda, angin berembus samar memainkan hiasan bambu di langit-langit. Gelap meranggas dengan gegas. Pagi merambat naik dan bayang-bayang menegas. Langit menggulung malam seperti karpet Turki, lalu menjualnya kepada penawar tertinggi, Dita meniru sebuah sajak yang pernah dibacanya. Seraya bersandar di dinding, dia mendengar getar mesin cuci tanpa memutar musik apa pun. Dia membuka sekotak salad yang semalam didinginkannya di kulkas. Meski ingin sekali merasakan daging buah yang segar, pikirannya tak mau diam. Lidahnya lalai merasakan legit melon, asam stroberi, maupun manis-samar buah naga. Karena terlalu banyak melamun, tanpa disadari, satu kotak salad pun habis. Dia memegang perutnya, rasanya masih ada ruang hampa yang cukup luas. Meski begitu, dia tahu tubuh tak langsung bereaksi terhadap makanan. Dia harus bersabar sebelum merasakan kenyang. Setelah melihat tombol mesin cuci padam, dia merapikan baju-baju, lalu menyalakan fungsi pengering. Diambilnya buku yang semalam ditaruhnya di meja. Seribu Bangau, dia menggumamkan judul di sampul merahnya. Dia belum pernah menuntaskan satu pun karya Yasunari Kawabata meski mengoleksi hampir semua terjemahannya. Namun, dia juga ingin tahu apa yang membuat Kawabata begitu istimewa sehingga layak diganjar hadiah Nobel Sastra. Dia menyandarkan tubuhnya di dinding pagar dengan posisi menghadap luar. Tanpa sengaja, ketika jarinya mencari halaman yang diselipkan pembatas, angin berembus. Buku yang digenggamnya jatuh dan dia berusaha meraihnya. Tidak terdengar suara apa pun, tapi dia tahu Seribu Bangau sudah melandai dan hanya menyisakan titik merah di pelataran apartemen. Ketika sadar, Dita menatapnya dengan perasaan limbung. Hampir separuh tubuhnya melewati batas pagar. Dia buru-buru memperbaiki posisi berdiri, berusaha seimbang. Kakinya meronta-ronta mencari pijakan. Rasanya seperti tenggelam. Begitu berhasil mencapai lantai, dia duduk di balik dinding dengan napas hampir pupus.

N-nyaris sekali.

Andai aku jatuh, seperti apa rasanya? Sakitkah?

Dita menekan jantungnya dengan perasaan getir. Beberapa hari lalu, dia berdiri di depan cermin dan menemukan seraut wajah yang tak dikenalnya—wajah yang berjuang setengah mati untuk tidak memikirkan sesuatu yang lenyap dalam hidupnya.

Apakah dengan kematian aku dapat menemuinya lagi? Apakah memutus hidup dengan paksa berarti jua mencurangi takdir?

Jika takdir ibarat tangga, menghindari satu undakan saja membuatku mustahil sampai di puncak. Tapi setidaknya, jika aku mati—

Dita terperenyak menyadari pikirannya sendiri. Dia buru-buru menjauhi dinding dengan setengah merangkak, lalu melindungi kepalanya di balik pintu geser, seolah ribuan panah hujan menghunjamnya. Dia menyembunyikan tubuhnya di antara kakinya, lalu menangis. Dia merasa hancur berkeping-keping.

Maaf. Maafkan aku.

Sementara air mata berguguran, dia berbaring telentang di ruang tamu. Dengung mesin dan embus angin perlahan-lahan menenteramkan hatinya. Dia membiarkan air mata mengalir di pipi, seolah dengannya dia mampu membersihkan hati. Mesin cuci sudah hampir selesai bekerja, tapi dia mengabaikannya.

Ketika kau kehilangan, kenangan yang tertinggal di hatimu belum menjadi kenangan. Ia masih menyisakan kenyataan yang terlampau tajam warnanya. Mungkinkah ada hari ketika kenangan benar-benar telah, dan hanya, menjadi kenangan, sehingga aku dapat menyadari keindahaannya? Bukan hanya pilu.

Sekawanan burung terbang melintas di langit biru. Suara paraunya menandai pagi sudah beranjak lalu. Dita memandangnya dengan langut, membayangkan sayap tumbuh di punggungnya. Seperti apa rasanya terbang? Seindah apa langit di mata burung-burung? Apakah awan memang selembut yang dikatakan dongeng-dongeng tua? Masih dalam posisi telentang, dia merentangkan tangan. Air mata yang sudah menipis, menetes membasahi ubin.

Konon, Dita mendengar kenangan di hatinya berbisik dengan suara yang sudah dikenalnya akrab, salah satu akar pohon dunia berujung di Asgard, di suatu sumber air yang berkumpul dalam sumur Urd. Ada tiga puan bijak bersaudara, para norn, yang menjaganya agar tidak kering. Mereka—para Norn itu—adalah Urd, pemilik sumur dan penentu nasib, masa lalu kita. Bersamanya ada Verdandi, masa sekarang kita. Lalu ada Skuld yang menguasai masa depan. Kemudian ada norn-norn lain yang tugasnya lebih spesifik. Entah membuat hidup kita sejahtera atau menderita; menyenangkan atau sengsara; pendek atau panjang umur; bahagia atau tidak. Singkatnya, nasib kita ditentukan di sana, di sumur Urd, sejak sebelum bermula ingatan sampai kita melupakannya lagi. Jujur, sebelumnya aku tidak percaya para norm benar-benar bijak, sebab, lihat saja dunia dengan segala kesemrawutannya, mana mungkin diatur dengan kebijaksanaan, bukan? Namun, Dita, semua berubah saat aku bertemu kamu.

Dita menunggu elusan lembut di rambutnya, tapi tak merasakan apa pun.

Gombal, bisik Dita ketika kenangan itu berhenti bicara.

Dita menghapus air matanya dengan lengan baju. Karena ingin mengambil buku yang tadi dijatuhkannya, dia berjalan pelan melewati pintu, lalu menyusuri lorong apartemen. Dia tinggal di lantai lima. Seraya berjalan, dia mencoba menenangkan pikiran—dan melangkah dengan sangat hati-hati, seolah setiap undakan adalah takdir.

Andai dalam hidup, aku juga mampu menuruni takdir, bukan hanya mendakinya.

Satu undakan menjelma kenangan yang menyata.

Satu undakan mengembalikan yang hilang.

Di pelataran, dia melihat bukunya masih utuh, hanya sedikit kotor karena sisa-sisa tanah yang melekat di ujungnya. Di sudutnya ada lekukan lebam akibat menghantam aspal. Dia memungutnya dan mendekapnya, seolah ingin merasakan bobotnya. Ketika hendak menaiki undakan, Dita melihat, di depan pagar, tukang bubur menambatkan dagangannya. Setelah menimbang-nimbang, dia pun berjalan menghampirinya.

Pengalaman hampir mati yang baru saja kaualami harus dirayakan dengan makanan enak. Dan bubur bukan pilihan yang buruk. Dia memeriksa saku celananya, ada dompet kecil berisi uang receh dan rasanya jumlahnya cukup untuk membeli semangkuk. Dia memesan seporsi bubur kepada bapak yang duduk di samping gerobak—menunggu pelanggan seraya mengisi buku TTS. Dita mengempaskan tubuhnnya di kursi plastik di samping gerbang apartemen, lalu membuka Seribu Bangau—mengingat-ingat halaman terakhir yang dia baca sebelum menjatuhkannya.

Neng pelanggan pertama saya, kata tukang bubur itu seraya mengaduk isi kuali. Kalau jadi pedagang kecil seperti saya, mendapat pelanggan pertama rasanya melegakan—sangat melegakan, karena setidaknya ada yang membeli. Kalau ada yang pertama, besar kemungkinan ada yang kedua.

Dita mendesah dalam hatinya dan berusaha menyusun kalimat yang baik. Dia tidak tahu harus menjawab apa.

I-iya, Pak, semoga hari ini laris dagangannya.

Amin.

Oh ya, Pak, hampir lupa, jangan pakai suwiran ayam, ya.

Si bapak tertawa. Bagaimana, toh, Neng, bubur ayam kok ndak pakai ayam. Tapi terima kasih sudah beli.

Dita tesenyum samar. Dia bukan vegetarian, tapi menghindari daging jika memungkinkan. Sepertinya, pengaruh buku-buku Zen yang dulu digandrunginya masih sangat kuat.

Beberapa saat kemudian, semangkuk bubur sudah berada di pangkuannya. Dia menaruh novel Yasunari Kawabata di kursi lain, lantas menyantap seporsi bubur tanpa diaduk. Meski jalan raya sudah lumayan ramai, dia hanya merasakan senyap. Tak diperhatikannya mobil dan motor yang saling berkejaran seolah tiada hari esok. Tak di-indahkannya beberapa pelari yang melambatkan laju saat melewati beberapa gerobak kakilima di pematang jalan—termasuk yang kini disinggahinya. Hatinya begitu sunyi bagai sisi lain bulan. Dia membuka pendengarannya lebar-lebar, berusaha menangkup segenap bunyi. Namun, suara-suara di telinganya terasa jauh meski jaraknya hanya selemparan batu. Ya—sudahlah. Seraya menyuap sesendok bubur, dia melamun.

Sepertinya jarang sekali aku memakan sesuatu yang hangat. Mungkin hanya kopi dan telur mata sapi saat pagi menjelang. Selebihnya, hanya buah-buahan dingin, puding, dan salad.

Minumnya mau apa, Neng?

Ada apa saja, Pak?

Hanya air putih, teh manis, dan teh tawar. Tapi kalau Neng mau yang lain, Bapak bisa membelinya di warung.

Dita menggeleng. Teh tawar saja, Pak. Kalau bisa yang panas.

Seusai menghabiskan buburnya, dia menyesap minumnya pelan-pelan dan membayar harga yang sudah disepakati. Seraya berjalan menyurusi undakan, dia menghapus keringat di kening dengan lengan bajunya. Di lorong apartemen, dia mendengar beberapa pintu mendengungkan mesin penyedot debu. Nada-nada hari Sabtu.

Sesampainya di ruang tamu, Dita duduk di sofabed, lalu membersihkan noda-noda tanah pada buku Seribu Bangau dengan tisu basah dan meletakkannya begitu saja di meja. Karena lampu pengering pada mesin cuci sudah padam, dia membuka pintunya, dan membaui wangi detergen di dalamnya. Dengan telaten, setelah mengambil satu per satu pakaian di ceruk mesin, dia menyusunnya di penyangga cuci. Syukurlah, matahari menyorot tajam. Dia berharap hujan tidak turun, setidaknya hingga pakaiannya kering.

Selesai.

Dita duduk di sofabed. Dia ingin menghabiskan sisa hari dengan membaca buku Seribu Bangau, tapi perhatiannya teralih saat melihat lampu notifikasi di gawainya menyala. Dia membukanya. Ternyata ada yang menyebut namanya di grup pertemanan Whatsapp, bersama nama-nama lain. Rencana reuni. Bertemu saat Natal. Merayakan Tahun Baru. Bagaimana pekerjaan sehari-hari. Bertukar kabar. Bercanda. Dita membaca dan mencoba mengikuti jalannya percakapan, tapi bingung harus membalas apa. Dia berjerih merasakan emosi yang teman-temannya alami. Persahabatan. Rindu. Ingin bertemu. Terhubung.

Nihil.

Saat bersekolah, dia selalu bersemangat ketika diajak berkumpul, tapi sekarang—sekarang—rasanya energinya sudah habis untuk bekerja dan dia hanya ingin menikmati hari liburnya sendiri saja—bersantai dan membaca buku dalam kesunyian.

—Maaf, ada yang harus aku kerjakan saat Natal dan Tahun Baru.

—Sayang sekali. Sudah lama, lo, kita tidak kumpul-kumpul.

Hontou-ni gomen. Maaf, ya.

—Dita tetap Dita, ya.

—Iya. Kejepang-jepangan.

—Enggak berubah.

—Memangnya ada apa, Dit?

—Kamu mau pulang?

Dita terdiam ketika mendengar temannya menyapa dengan sebutan 'Dit'. Benar juga, kami dipanggil dengan nama yang sama—hanya beda letak huruf a. Dita mengangkat satu kaki dan meletakkan dagunya di atas lutut. Biar bagaimanapun, aku masih merindukannya.

Dia tidak berencana mudik, tapi juga enggan berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Tidak sekarang. Tidak dalam waktu dekat. Dia hanya ingin sendiri, tanpa melakukan apa-apa.

Lihat selengkapnya