Pagi masih belia ketika Dita terjaga. Di seberang jendela, matahari menyemburat pucat dengan sedikit gurat nila di ujung ufuk. Matanya menerawang kosong, hampir menyerupai lamunan. Karena tidak mempunyai rencana apa pun pada hari Minggu, dia ingin mengunjungi permakaman di ujung kota. Segera dia bersiap. Mengambil pakaian dan mandi. Lalu menyeduh secangkir kopi dan menangkup dua buah roti. Dengan aplikasi ojek daring, dia memesan taksi yang datang tepat setelah panganannya habis.
Sesuai aplikasi, Mbak?
Dita mengiyakan, lalu membuka pintu belakang dan duduk di bangku penumpang. Setelah menaruh tas selempang di pangkuan, dia menyebutkan tujuannya, meski sudah menjelaskan secara rinci di chat.
Jarak permakaman di desa Kalijaga cukup jauh dari apartemennya. Pengemudi yang ternyata tidak tahu arah mengaktifkan navigasi satelit di gawainya. Suara lantang dan statisnya terdengar di setiap kelokan. Dita sebenarnya tahu rute yang lebih cepat, tapi memutuskan diam dan hanya memandang jendela. Seraya menyangga pipi dengan tangan kanan, dia memperhatikan panorama pada seberang kaca yang berubah seiring laju roda. Seperti perdesaan berkembang di mana pun, sangat mudah menemukan toko bahan bangunan di hampir setiap jalan, lengkap dengan nama-nama khasnya. Cahaya Makmur Abadi, Berlian Jaya, Mutiara Alam, Inti Jaya, Rubi. Di dekat kompleks permakaman, pemandangan rumah-rumah, warung, dan toko material yang sejak tadi mendominasi berganti dengan lahan kosong yang ditumbuhi ilalang setinggi tubuh anak-anak. Kepala Dita terantuk-antuk ketika taksi melaju di jalan tak rata yang, beberapa di antaranya, masih diperbaiki. Terkadang ketinggian aspalnya tidak sama sehingga mobil harus sedikit menjorok saat melewatinya. Setelah habis permukiman, sampailah dia di daerah sepi—seolah terjebak di dunia terisolasi. Dinding besar di seputar permakaman menawarkan suasana tenang yang rawan. Dita melihat sekeliling. Tak ada kendaraan lain kecuali yang dia tumpangi. Bagai dihunjam ribuan jarum, jantungnya mencelus saat mobil memasuki gerbang tak berpintu yang terhubung dengan barisan makam kelabu. Taksi berhenti di pelataran, di samping rumah penjaga yang sudah sangat tua, tapi entah bagaimana masih berdiri. Kusennya bahkan sudah bolong karena digerogoti rayap—seperti keju Swiss. Unsur hara pada tanah meresap di dinding dan membuat warna catnya, yang tadinya putih, menjadi kecokelatan. Dita bahkan tak yakin pondasinya teguh menghadapi embus angin. Setelah menyerahkan biaya yang sudah disetujui, Dita menawarkan harga yang sama untuk kembali, tentu dengan sedikit tambahan. Pengemudi taksi mengiyakan tanpa banyak bicara. Meski berawan, cuaca lumayan terik. Setelah melangkah sejenak, Dita melihat beberapa kendaraan lain diparkir di belakang rumah penjaga. Dia pun berdiri membelakangi matahari dan menemukan iring-iringan nun jauh di dekat belukar ilalang. Makam baru. Dita tak bermaksud menajamkan telinga ketika mendengar nyanyian rohani menebas sunyi. Karena ditujukan sebagai lagu pengantar jenazah sekaligus menghibur yang hidup, nadanya seolah memadukan muram dan harapan. Tapi, pikirnya samar, tapi dia tak mampu melanjutkannya. Dia hanya ingin menutup telinga dan berlari sejauh mungkin. Namun, karena sudah sampai di sini, dengan lengan bajunya, Dita menghapus air mata yang mulai menetes. Dia melangkah melewati barisan pohon dologan di sepanjang laluan, lalu berbelok di tikungan ketiga seraya mencoba mengingat rutenya, tapi tak kunjung berhasil. Meski sudah beberapa kali datang melayat, tak jua dia mampu menghapal letak makamnya. Sesudah berputar-putar beberapa jenak seraya membaca nama-nama di batu nisan, akhirnya Dita berhenti di dekat pohon kenanga yang dahan-dahannya menari dipermainkan angin. Aroma redupnya mengisi udara—seolah menangkap getir dan sedih di dada peziarah, lalu melahirkannya lagi sebagai bunga-bunga kuning. Di sebelahnya, ada tiga kubur yang beberapa bulan lalu belum ada. Di belakangnya bahkan sudah terisi tiga baris penuh—menggenapi jumlah kuburan di petak ini, sebelum berlanjut ke petak lain. Kematian adalah hal paling wajar di dunia. Dita melipat kaki di hadapan sebuah pusara, lalu meletakkan dagunya di atas lutut. Dibacanya nama di batu nisan. Aditya. Adit. Hujan yang kemarin turun di apartemennya, sepertinya tidak menggugurkan derasnya di sini. Tanahnya kering, nyaris kerontang. Telapak tangannya menyisir rerumputan yang tumbuh di pinggir pusara. Berusaha tak menjatuhkan sedenting pun suara, Dita menyiram gundukan merah di depannya dengan air—menciptakan pulau-pulau kelam yang terus melebar sebelum menyatu membentuk benua raksasa. Ditaburkannya kelopak mawar dan melati. Dibisikkannya kenangan.
Hai.
Hening.
Tidak terdengar satu pun jawaban.
Sebenarnya, apa yang aku harapkan?
Bagaimanapun, rasanya aneh menanyakan kabar karena kau sudah tak ada—di sini dan di mana pun. Hanya tubuhmu yang tersisa dalam kubur—barangkali juga tidak, barangkali seluruhmu sudah menyatu dengan Bumi. Namun, mungkin saja kau tak benar-benar jauh. Mungkin saja rindu yang aku rasakan bukanlah sesuatu yang sia-sia.
Dita bergeming seolah menanti sepatah tanda, seuntai kata yang barangkali dititipkan Adit kepada alam, tapi dia tak merasakan apa pun. Dia memerhatikan sekitar dan berusaha menangkap sasmita. Hatinya tersentak ketika angin yang lembut melepaskan sehelai daun di ujung ranting, memutar perlahan, sebelum melandai lemah di tanah. Warnanya masih hijau, belum tua.
Beberapa kematian adalah anomali.
Kemudian hening.
Aku berharap akhirat benar-benar ada dan kamu bahagia di sana.
Aku berharap kita dapat bertemu lagi.
Aku benar-benar mencintaimu.
Dita merenung. Dia benar-benar tak pandai berdoa.
Namun, sekuat apa pun aku ingin, aku tak mampu memutar waktu, kau yang pandai tertawa, yang selalu melupakan letak barang-barang, yang berharap hidup lama, tak lagi ada di mana pun. Tak lagi. Dan, dengan ironis, aku berusaha mengingat rasa kehilangan itu—menjaganya sepenuh hati.
Dita begitu mudah menangis, tapi justru di makam kekasihnya, air mata yang dia harapkan mengalir tak gugur setetes pun. Pandangan matanya kosong belaka, senyumnya hampir tawar. Tapi aku tak boleh begini terus. Setelah kembang ziarah habis, dia memutuskan beranjak. Dibelainya dingin nisan dengan jari gemetar, lalu melangkah pergi.
Sampai jumpa, Dit.
Bagai jawaban, hujan turun tanpa pertanda. Seakan tak ingin siapa pun berteduh, renyainya melewati tahap gerimis dan langsung menderas. Dita segera berdiri, lalu melindungi kepalanya dengan tas selempang. Hampir saja kakinya terperosok, tapi dia berhasil menjaga keseimbangan—atau tidak? Ada tangan yang memegang lengannya. Seketika dia mendengar suara hujan yang empuk seolah jatuh serentak, tapi dia heran karena tak satu tetes pun menyentuh rambutnya.