Gerimis Daun-Daun

Rafael Yanuar
Chapter #4

Kemarin (1)

Seingat Dita, sejak hari pertama mengenalnya di bangku SMA, dia sudah sering mendengar Adit menerjemahkan lagu-lagu berbahasa Inggris—terutama The Beatles dan Queen—lalu melantunkannya dengan nada jenaka dalam bahasa Indonesia. Kadang, terjemahannya selaras dengan makna aslinya, tapi, saat Dita mencoba membandingkannya, lebih sering tidak, bahkan semaunya sendiri, hanya mengikuti irama tanpa memperhatikan yang lain. Benar-benar mejengkelkan, pikir Dita yang perfektionis, pada mulanya. Namun, dia memaafkan Adit setelah mendengar alasannya.

"Aku tidak mampu menghapal lirik aslinya," jawab Adit enteng seraya mengangkat bahu, ketika Dita bertanya dengan nada kesal karena larik gubahan Adit aneh sekali—terutama ketika Adit, dengan seenaknya, menyanyikan Bohemian Rhapsody dengan gaya komedi yang baitnya digarap sendiri. "Repot juga kalau harus membaca salinan syairnya saat ingin bernyanyi, jadi aku membuat versi Indonesianya."

Dita mendesah berat.

"Bayangkan juga kerepotanku yang harus mendengarkannya," tukas Dita, berusaha terdengar seketus mungkin, meski sebenarnya dia mulai menyukai bait buatan Adit, meski tak mungkin mengakuinya. Adit sering menyelipkan kata-kata yang biasanya tidak ditemukan dalam lagu berbahasa Indonesia. Dia juga sering membeberkan tip-tip random tentang strategi penulisan lirik.

“Nada tinggi lebih mudah ditembak kalau liriknya mengandung dua huruf vokal bersebelahan.”

“Maksudnya?”

“Aku ambil contoh ‘Kerinduan’. Akan lebih mudah jika nada tingginya ada di antara huruf u dan a.”

Dita berdehem. Namun, sebelum dia berhasil mengingat lagu yang nada tingginya ada pada kata kerinDUAN, Adit sudah mengambil gitarnya, lalu memetik intro yang Dita kenal akrab.

"Kadang, aku mendapatkan gagasan di kamar mandi. Aku menyenandungkan nadanya asal saja sambil sabunan—"

Dita memasang muka enggan yang membuat Adit terbahak-bahak.

"—dan tahu-tahu sudah terbentuk satu lirik utuh. Contohnya," Adit menahan napas, bersiap melakukan satu lagi hal konyol.

Kemarin, 

hidup rasanya lebih simpel 

tak seperti zaman kiwari

oh, aku rindu kemarin.

"Begitulah bait pertama Yesterday hasil kerja keras Adit," potong pemilik saduran. "Terjemahannya tidak terlalu bagus. Hanya menyelaraskan irama dan kata, tapi tetap saja, mampu membuat Dita memejamkan mata dan tersenyum menahan tawa."

"Siapa yang tertawa?"

"Dasar tsundere."

"Siapa yang tsundere?" Dita muntab. "A-aku hanya tidak tahan membayangkan air muka Paul McCartney ketika mendengarnya," kata Dita seraya memeluk ranselnya, tapi Adit tetap meneruskan nyanyiannya dan membuat Dita mati-matian membendung gelak. Ketika Adit menyelesaikan liriknya, dia sudah memegangi perutnya yang kram.

Dan segera saja Adit menyanyikan lagu lain—Hei Jude, jangan ngeyel, lagu sedih, nyanyikan saja—dengan gitar tuanya, yang senarnya sudah patah dua dan berbulan-bulan tidak diganti, lalu membuat sebagian kordnya jadi dim dan aug.

"Kasihan Paul."

"Paul? Dia pasti bangga," tukas Adit, sembari mendengus mantap. "Tapi tidak ada salahnya menerjemahkan lagu Londo, kan? Siapa tahu jadi bisa dinikmati lebih banyak orang."

"Tapi kenapa harus ‘zaman kiwari’?" Dita mengabaikan protes temannya dengan melancarkan protes lain. Protes di atas protes. "Belagu amat. Padahal bisa pakai ‘zaman sekarang’."

Adit tertawa. "Tentu untuk menyelaraskan rima. Biar kekinian juga, kayak majalah musik indie."

Dita yang duduk bersila di depan Adit hanya terdiam ketika dia bernyanyi lagi—seraya sesekali berhenti karena belum menghapal seluruh baitnya.

Kalau masih menghapal, kenapa tidak menghapal lirik aslinya saja?

"Jadi begini, aku sebenarnya enggan terlalu banyak bicara—"

"Bicaralah saja. Aku senang mendengar suaramu."

Dita menarik poninya. "V-vokalmu terlalu medok, Dit, persis suara Bang Rhoma. Terjemahan liriknya juga kurang profesional. Setiap kata dan maknanya mekso."

"Aku gampang tersinggung, lo," kata Adit—diselingi senyum yang mudah menular. Pembohong. "Lalu, kamu punya versi yang lebih baik?"

Dita belum jatuh hati kepada Adit ketika menyanggupi tantangannya. Dia membutuhkan waktu kurang lebih sebulan untuk menyelesaikan setumpuk catatan yang ditulis di berlembar-lembar kertas. Isinya puluhan lirik yang kelak dinyanyikan Adit setiap ada kesempatan, beserta terjemahan Dita yang menurut Adit lebih bagus. Dia juga memberikan sepaket senar dan kertas bertuliskan ucapan “Otanjoubi Omodetou, Adit-san”—Selamat Ulang Tahun, Tuan Adit—di depannya, tanpa kertas kado, tanpa pita, tapi tetap mampu membuat Adit tersenyum. Dia menjilid koleksi terjemahan Dita di binder dan menganggapnya harta berharga. 

Sesudahnya, dia jadi sering meminta Dita mengalihbahasakan lagu-lagu yang disukainya. Dan tahu-tahu telah terkumpul puluhan judul dan seharusnya masih ada puluhan lagi—andai saja waktu mengizinkannya. Di akhir masa SMA, Adit menyatakan perasaannya dan Dita menjawabnya dengan anggukan malu-malu yang di mata Adit indah sekali.

Mustahil ada yang lebih indah.

"Andai kita sudah pacaran sejak kelas sepuluh, pasti menyenangkan, ya?" keluh Adit, ketika pergi dengan Dita. "Tapi tidak ada yang berubah."

"Sejak dulu, kita sudah dekat. Setelah pacaran pun, rasanya begini-begini saja."

"Memangnya harus apa kalau pacaran?"

Dita mengangkat bahu. Enggan menjawab.

"Tapi jujur, semenjak jadi pacarku, kamu tambah cantik saja."

"Gombal."

"Aku memuji kamu cantik, dan kamu menyebutku gombal? I like it. Aku suka sisi tsundere-mu."

"Siapa yang—sudahlah!"

Adit terbahak-bahak.

Namun, mau tidak mau, Dita sedikit memikirkan pernyataan Adit. Andai sudah pacaran sejak masuk SMA, mungkin saat retret, kami bisa mesr—Dita menarik poninya. Pipinya memanas. Dia menggandeng lengan Adit dan tersenyum, "Tidak apa, Dit, kita masih muda, masih mempunyai banyak waktu," katanya.

"Mungkin tidak juga. Aku tak mungkin bertahan hidup kalau terlalu sering melihat senyummu. Aku bisa kena serangan jantung karena deg-degan—atau diabetes," Adit mencubit pipi Dita, tapi justru dilerai dengan tatapan marah. Benar-benar marah.

Lihat selengkapnya