Ketika memasuki kamarnya, alih-alih langsung berbaring, Aya duduk menghadap meja di sisi ranjangnya. Dengan penerangan lampu baca seadanya, dia membuka buku pemberian Dita. Siapa sangka, dalam waktu singkat dia sudah merasa dekat dengan tokohnya—sama sepertiku, dia juga berusaha mengobati lukanya sendiri. Aya hanya mampu membaca tiga puluhan halaman ketika kantuk menyergap. Setelah menyelipkan pembatas, dia menaruh bukunya dalam laci, lalu mencoba memejamkan mata. Tidak. Dia bahkan tidak perlu mencoba, karena langsung tertidur begitu kepalanya menyentuh bantal.
Malam belum beranjak ketika Aya terjaga. Suara hujan samar-samar, tetapi gigih, mengetuk lelapnya. Dia mengambil gawai, dan segera saja kerjap pijar menyingkap gelap. Angka 23.00 tertera di sudut layar. Karena dahaga mulai mengeringkan kerongkongannya, dia membuka pintu, lalu mengambil air di dapur. Saat memandang kulkas di pojok ruangan, Aya teringat novel Kitchen yang tadi dibacanya.
Seperti apa rasanya tidur di samping kulkas? Aya tersenyum menyadari pikiran kecilnya.
Setelah menuntaskan dahaga, dia berdiri di balik beranda dan mengintip sedikit tirainya. Hujan merinai lembut merindangi seluruh kota, cahaya perak rembulan berkilau dalam sunyi. Meskipun samar, pendarnya mampu menyibak mendung, meski selebihnya—gelap semata. Dunia bagai tak bergerak. Bagai tak ada apa pun di luar sana, selain hujan. Karena malam sudah larut, dengan langkah perlahan, Aya berjalan menuju kamar. Dia hampir tidak memikirkan apa pun ketika melendutkan tubuhnya di kasur. Namun, karena tak dapat tidur lagi secepat yang dia inginkan, dia berusaha mengundang kantuk dengan beberapa permainan pikiran. Dia memulainya dengan menghitung domba, tapi percuma. Aku membutuhkan sesuatu yang lebih rumit. Begitu matanya terbiasa, dia merenungi langit-langit gelap, lalu mulai membentuk garis-garis khayal dan memainkan teorema empat warna, tapi malah jadi bersemangat. Aku bisa melakukannya sepanjang malam tanpa merasa bosan. Saat Aya semakin cemas karena jam sudah menunjukkan pukul 00.00 lebih, dia menggunakan "senjata" lain dengan mengambil ponsel di balik bantal, bukan miliknya, melainkan abangnya. Layarnya retak sebagian, tapi masih berfungsi. Aya menyalakan pemutar musik, lalu memilih satu di antara sederet folder. Adit sering merekam lagu-lagu ciptaannya, dan Aya selalu mengantuk saat mendengarnya, meski sekarang rasanya berbeda, karena pemiliknya sudah tak lagi ada. Semasa hidupnya, Adit berharap suatu saat lagu-lagunya dapat menjadi sesuatu. Namun—sayang, bahkan hingga akhir hayat, dia tak jua mampu mewujudkannya.
Apa boleh buat, suara Abang seperti obat tidur, Aya ingat pernah mengatakannya, tapi Adit malah tersenyum dan menganggapnya pujian.
Aya sangat menyukai folder ‘Belum Jadi’ karena liriknya, seringkali, dibuat spontan. Sering pula, seluruhnya hanya gumam na-na-na bernada. Karena tempo sebagian besar lagu-lagu Adit tidak terlalu cepat, seperti lullaby, Aya begitu mudah terpejam saat mendengarnya. Dia sudah menghapal liriknya dan sering tergoda mengisi bait yang masih kosong.
Ketika dia mulai memasuki alam tidur, musik masih berputar, mengirimkan kenangan dalam mimpinya. Dia meneteskan air mata yang meresap membentuk pulau di sudut bantalnya.
Hujan turun sepanjang malam.
***
Aya terkejut ketika pagi menyapu jendela dengan cahayanya yang terik. Terang sekali. Sudah jam berapa? Namun, dia teringat, kamarnya di apartemen tidak menghadap matahari langsung. Dia mengedarkan pandangan, tapi hantaman cerah membuatnya hilang fokus. Dia memejamkan mata dan membukanya kembali, sepelan mungkin, berharap dapat beradaptasi dengan cahaya. Dan, upayanya berhasil. Saat paparannya berkurang, dia langsung mengenal perabotan serba biru dan jam Doraemon yang tergantung di pintu. Dia memandang tangannya yang mengecil dalam semalam, dan membuka-tutup lipatan jarinya. Dia menyentuh wajahnya, meraba pipi dan matanya, lalu melayangkan pandang. Kasurnya berada di samping jendela, sementara kasur lain yang lebih besar diletakkan di sebelahnya. Sudah rapi—hanya kasur miliknya yang berantakan. Kamar masa kecilku.
Aku sendiri yang memaksa tidur di samping jendela, sementara Ibu dan Ayah di sebelahku.
Abang punya kamar sendiri.
Setelah berdiri di depan lemari, di hadapan cermin besar, Aya terperangah menemukan tubuhnya menjadi begitu mungil, seperti bocah sekolah dasar. Telinganya bergerak ketika menangkap suara samar di balik pintu—ramai sekali—riuh yang tidak asing, tapi juga jauh. Dia berjinjit meraih selot dan, dengan sedikit usaha, berhasil memutarnya. Aroma nasi goreng mengisi udara begitu pintu tersibak. Aya mencoba meresapinya, memisahkan aroma bawang, telur, dan kecap, serta—ketumbar?—ketumbar. Seseorang di dapur langsung berjalan menghampirinya dengan apron masih melekat di tubuh.
Ibu?
“Pagi, Aya,” sapanya, dengan senyum sehangat pagi. Ketika jari-jarinya menyentuh pipi, Aya menerimanya dengan lembut hati. Dia memejamkan mata. Tangan berbau pulen nasi dan bumbu dapur. Betapa aku merindukannya.
Ibu mengajaknya menggosok gigi di kamar mandi, lalu menuntunnya duduk di meja makan. Aya tidak banyak bicara karena tidak tahu harus menyampaikan apa. Dia mengutip sarapan tanpa menyantapnya, hanya mengaduk-aduknya hingga membuat potongan timun dan tomat di sudut piring tercampur dengan nasi. Rasanya ada yang kurang, tapi apa? Aya menghidu uap nasi goreng seraya berpikir. Akhirnya dia ingat, tapi sebelum sempat protes, Ibu menuangkan seporsi dadar sebagai pelengkap di piringnya.
Sempurna.
Aya menyuap sesendok nasi dan secacah telur. Rasa hangatnya langsung memenuhi mulutnya. Enak sekali. Dia menelannya, tapi kerongkongannya kering di suapan ketiga. Aya meraih gelas berisi jus jeruk—jeruk dan air saja, tanpa gula—lalu meminumnya hingga tandas. Dan menyesal. Biasanya dia meminum air putih sebelum sarapannya habis. Jus jeruk hanya untuk saat-saat terakhir. Di ujung meja, sosok lelaki yang dikenalnya sebagai Ayah menutupi wajahnya dengan koran, sementara di sampingnya, abangnya duduk menyesap teh, lalu menjulurkan lidahnya karena kepanasan. Saat meniup bibirnya sendiri, Adit memandang Aya yang menatapnya bingung.
“Kamu kenapa?”
Aya menunduk dan memakan nasi goreng yang rasanya begitu asin. Jelas bukan karena kelebihan garam.
“T-tidak apa, Kak.”
“Aneh, tahu, melihat Aya jadi pendiam. Abang takut.”
Ha ha—Aya ingin tertawa tapi yang dilakukannya malah menangis. Dia menyedot hidungnya yang penuh air mata.
“Kenapa? Ada yang kurang? Nasinya tidak enak?”
“E-enak, Bu.”
Abangnya mengelus kepala Aya dan mencubit lembut pipinya.
“Mimpi buruk?”
Aya menggeleng.
“Bukan, Bang, mimpi indah.”
“Kok aneh,” abangnya mendekatkan bangku hingga bersisian dengan adiknya dan membiarkan Aya bersandar di peluknya. Namun, ketika ditanya mimpinya seperti apa, Aya hanya menggeleng dan berkata rahasia. Aku bermimpi indah, Bang, sangat indah sampai rasanya menyakitkan. Dalam mimpiku, Abang masih hidup, Ibu masih hidup, Ayah masih hidup, dan kita duduk semeja saat sarapan.
***
Aya dibangunkan aroma tak sedap. Ada yang gosong! Apa lagi sekarang? Dia berjalan keluar kamar dengan langkah tertatih karena masih mengantuk dan melihat abangnya sudah merusak dapur dengan hampir membakarnya—lagi—seperti hari-hari sebelumnya. Aya mendesah berat sementara Adit tertawa, lalu menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Meski begitu, abangnya pantang menyerah dan memasak menu lain dengan bermodalkan resep yang diberikan Dita. Brokoli, bawang putih, sejumput garam, sejumput kaldu jamur, telur, dan tepung jagung—mudah, rasanya aku sanggup.
Aya terperangah memandang Adit yang menyiapkan sarapan dengan wajan baru. Dia menawarkan bantuan, sebab kemampuan memasaknya jelas lebih baik dibandingkan abangnya, tapi Adit menolaknya dengan senyum semingrah. Ah, senyum itu—senyum jahil itu. Aya yang tidak mampu membendung haru membalas senyumnya. Hampir saja dia berkata, ternyata Abang masih hidup dan aku hanya bermimpi—mimpi buruk. Dia mengambil buku bersampul biru yang diletakkan begitu saja di meja, lalu membukanya sekilas. Dia membaca beberapa bagian yang direkatkan post it. Di halaman depannya, ada nama Dita—kekasih Abang. Sebenarnya dia sudah dapat menebaknya ketika melihat nama penulis yang bernuansa Jepang—Cynthia Kadohata—di sampulnya, tapi bingung karena judulnya “Kira-Kira”. Aya baru memahami maknanya ketika membaca halaman sembilannya.
Oh.
“Kirakira adalah bahasa Jepang untuk—”
“Gemerlap,” Aya memotong kata-kata Adit.
“Aya boleh pinjam?”
“Abang sudah selesai membacanya, kok.”
Aya tersenyum.
Dia melihat jam yang dipaku di sudut dapur—masih pukul setengah enam pagi. Jarak sekolah hanya sepuluh menit berjalan kaki dan lebih cepat jika abangnya mengantar dengan motor—tapi Aya selalu menolaknya karena malu. Dia biasanya bangun siang, di jam-jam yang rawan, lalu menimbulkan kehebohan di rumah. Adit sebaliknya, dia selalu bangun sebelum subuh, menghidu teh, dan memandang jendela dengan tatapan hening, lalu kalau kumat, mulai memasa—bereksperimen di dapur.
Aya memutuskan mandi karena masakan Adit tak mungkin selesai dalam waktu singkat. Disimpannya buku Dita di tempat yang aman karena takut terkena noda masakan. Setelah mengambil kemeja di lemari kamar, Aya segera lenyap di balik pintu. Di kamar mandi, Adit sudah menyiapkan ketel berisi air panas—sebab cuaca belakangan semakin sejuk. Aya menuangkan sebagian di ember bekas cat, lantas mencampurnya dengan air dingin. Saat suhunya menghangat, dia mematikan keran, lalu mulai membasuh tubuh. Abangnya masih berjibaku di dapur ketika Aya keluar dengan seragam SMA-nya.
“Belum selesai, Bang? Mau Aya bantu?”
“Sebentar lagi, kok, kali ini pasti enak!” Adit tersenyum bangga. Sesaat kemudian, dia mengantarkan dua piring tumis brokoli yang kuahnya kental sekali, serta sewadah nasi yang berbau pulen. Padahal nasi goreng Abang enak sekali, kenapa masakannya yang lain berantakan, ya? Aya mengutipnya sesendok dan bersiap. Ketika mengunyah dan menghayati rasanya, dia menyadari matanya memanas. Bibirnya terkatup dan bergetar, berusaha membendung tangis, tapi upayanya sia-sia belaka.
“Kenapa?” Adit langsung cemas dan berhenti mencuci peralatan dapur. “Jangan menangis. Kamu kesal karena rasanya mengecewakan? Abang minta maaf, kamu tidak perlu menghabiskannya. Betulan. Kamu bisa sarapan di kantin.”
“Rasanya memang tidak enak, tapi bukan karena itu aku menangis.”
“Terus kenapa?”
Alih-alih menjawab, Aya malah menangis lebih kencang.
***
Sekali lagi, Aya terjaga di kamar yang lain. Setelah melepas plug, dia mengusap telinganya yang sakit tertekan earphone. Aya tak langsung menuruni kasur, melainkan termangu memandang langit-langit dengan selimut masih melingkupi tubuhnya. Dia merasakan pipinya lembap karena air mata. Peta empat warna yang semalam disusunnya sudah lenyap—tentu saja.
Setelah menyimpan ponsel Abang dalam laci, Aya membuka pintu dan berjalan menyusuri ruang tamu. Dia melihat Dita berdiri di balkon seraya menyiram bunga-bunga. Di ujung ufuk, matahari masih setitik nila yang malas-malasan menelan bayang. Dia mencari jam. Masih pukul setengah enam pagi—bahkan belum, karena jam di ruang tamu dicurangi lima belas menit.
Aya memandang sekeliling dengan hati-hati, masih belum yakin. Perasaan sepi memberati kepalanya. Siapa tahu aku belum benar-benar terjaga.
“Pagi, Aya."
“Pagi, Kak," Aya mengedarkan pandangan. “Hanya ada Kakak?” katanya, seraya mengempaskan tubuhnya di sofabed dengan mata sedikit menerawang. Dia tidak kecewa, hanya merasa letih seolah habis melakukan olahraga berat.
"Benar," Dita menghampirinya dan menyerahkan secangkir teh pada Aya, “Hanya ada kita.”
Saat Aya berdiri di balkon, lembayung sudah memandikan seluruh kota. Dia tidak menangis ketika pagi memadamkan mimpi-mimpinya. Setidaknya aku tidak sendiri.
"Terima kasih, Kak."
Dita memandang Aya dengan tatapan bingung, seolah hendak berkata, Untuk apa?
"Terima kasih karena sudah ada."
***