Gerimis Daun-Daun

Rafael Yanuar
Chapter #8

Hari Ini (2)

Sesampainya di apartemen, sebelum memasuki gedung, Aya memperhatikan teman-teman yang sehabis sekolah menemaninya pulang. Begitu Arella, Raka, dan Sarah tak terlihat lagi, barulah dia menaiki undakan.

Aya memutar kenop dan menaruh ranselnya di kamar, tapi langkahnya tertahan ketika cahaya siang, yang teduh, menerangi ruang tamu. Aya duduk di sofabed. Suara ketuk bambu di balkon membuatnya mengantuk. Sebelum malas mengalahkannya, Aya teringat janjinya pada Arella—bersama yang lain menghabiskan sore di danau. Dia bangkit, lalu, setelah berganti pakaian, berjalan menuruni tangga.

Aya berdiri di samping gedung apartemen. Dia bersedekap. Angin yang berembus laun membuatnya menggigil. Karena dinginnya menembus kulit, dia memakai jaket warna-warni yang sejak tadi dia ikat di pinggangnya. Tangannya tenggelam di ujung kain, dan bagian bawah jaket menyentuh paha. Dia ingat, Dita sering menyebut pakaian-pakaian Adit lucu—dan jaket ini salah satunya. Dita selalu menyembunyikan tawanya di balik tangan setiap kali Adit mengenakannya. Dan Adit, mungkin karena senang melihat Dita tertawa, enggan menggantinya dengan yang baru.

Aya mendengar kersik daun di sampingnya. Sisa hujan pagi tadi menjelma genangan pada setiap ceruk dan lubang. Dia menggumamkan lagu-lagu Adit, berharap tahu judulnya, tapi harus menyelami folder-folder musik di ponselnya jika ingin mengetahuinya. Meski begitu, karena sering mendengarnya, dia sudah mengingat nadanya dengan baik. Dia ingin meniup harmonika, tapi rasa malu mengalahkannya. Aya menghentikan senandungnya setelah beberapa menit berlalu. Seraya menyibak rambutnya ke belakang telinga, dia memandang jalan. Tidak terlalu ramai. Hanya sesekali mobil dan motor melintas pelan. Delman-delman yang sebagian besar tidak berpenumpang melaju malas. 

Meski begitu, dulu rasanya lebih sepi. Bersama Abang, aku kerap menghabiskan sore dengan berjalan di trotoar. Tidak terlalu jauh dari perempatan, ada Gereja Santo Ignatius yang, konon, sudah ada sejak zaman Belanda, dan di seberangnya ada toko buku Wira. Gerejanya masih berdiri dan semakin berkembang, meski pasturnya sudah tiga kali ganti—atau empat?—tapi toko buku itu sudah tidak ada, digantikan toko pakaian. Ketika kanak-kanak, alih-alih suara motor dan mobil yang beradu pacu, aku lebih sering mendengar tapak kaki kuda yang tertatih menarik beban di delman. Syukurlah, pepohonan, sekalipun rantingnya yang rendah akibat dahannya yang terlampau sarat dedaunan, masih merindangkan jalan, meski sudah tak sebanyak dulu jumlahnya. 

“Kalau mau, silakan duduk dulu, Neng,” pedagang bubur langganannya menyodorkan kursi hijau pudar. Aya menerima tawarannya dengan mengucapkan terima kasih. Beberapa pelanggan yang bersantap di sampingnya, mengangkat mangkuk yang dilapisi piring plastik. Aya menganggukkan kepalanya sedikit sebagai jawaban, lalu menyelonjorkan kakinya. Andai tadi belum makan, tentu sudah dipesannya semangkuk bubur. Bagaimanapun, dia menyukai saat-saat penantian—sebab menunggu membuatnya mampu menikmati kosongnya waktu tanpa rasa bersalah. Dia tak harus melakukan apa-apa. Dia membuka tas, lalu mengambil buku. 

Dia berusaha menyelami cerita dengan mengabaikan suasana di sekitarnya. Tetap saja, sukar membaca di ruang terbuka, apalagi dengan mata-mata yang—Aya pikir—menatapnya. Tapi tetap ditelusurinya kata demi kata. Setelah terbiasa—dan berhasil menenangkan pikirannya, dia mulai larut dan memasuki dunia dalam buku. Ketika Aya membaca paragraf ketiga pada halaman lima belas, Arella berhenti di sampingnya. Seperti biasa, dia selalu tepat waktu. Rambutnya yang panjang diikat dengan karet gelang, menyisakan sepasang untai di pelipis kiri dan kanan. Dia tersenyum saat sahabatnya tidak menyadarinya. Seperti biasa, Aya larut dengan buku yang dibacanya. Arella mengatakan ‘hai’ singkat—tidak menyeru karena takut mengagetkan. Begitu Aya, dengan sedikit enggan, menaikkan kepala, Arella menyeringai seraya mengangkat dua jarinya.

Setelah melihat ikat rambut sahabatnya, Aya baru ingat, dia lupa membawa jepit. Dia bangkit berdiri, tapi Arella melarangnya, lalu mengambil sesuatu di saku celana. Dia memberikan seuntai pita pada Aya.

“T-tidak ada karet saja?”

“Sini,” tanpa menjawab pertanyaannya, Arella berdiri di belakang Aya dan memaksanya kembali duduk. Dengan sabar dan telaten, dia menyisir dengan jari rambut sahabatnya sampai menjadi satu genggaman, kemudian merapikannya. Setelah terkumpul, dengan hati-hati Arella mengikatnya. Dia menyeimbangkan sisi kiri dan kanan hingga membentuk kupu-kupu. 

“Bu Dita belum pulang?” kata Arella, setelah berhasil menghias rambut Aya dan membuatnya terlihat sangat cantik. 

Aya mengangkat bahu seraya meraba-raba pita di kepalanya, “Belum. Mungkin sore.”

“Sibuk, ya?”

Aya mengangguk. “Kakak sering menemani anak-anak di bagian full day school.”

“Ibu Dita benar-benar pandai bercerita, mirip—” Arella menghentikan kata-katanya.

“Abangku,” Aya tersenyum. “Tapi cerita Kak Dita lebih naif.”

“Maksudnya?”

“Selalu penuh kebaikan,” Aya tertawa.

Arella tidak menjawab, tapi dia menunggu Aya menerangkannya.

“Kamu tahu dongeng anak domba dan serigala?” 

Arella mengangguk dan berkata, “Pada suatu ketika, ibu domba meninggalkan anak-anaknya di rumah dengan sebuah pesan, 'Jagalah rumah selama Ibu pergi dan jangan membukakan pintu pada siapa pun.' Seekor serigala yang licik mendengarnya. Dia membayangkan, alangkah enak jika dapat menyantap anak-anak domba dan menjadikannya lauk makan siang! Untuk melunaskan rencananya, dia berpura-pura menjadi ibu domba dengan menggunakan pakaian perempuan dan menipiskan suaranya. Meski begitu, karena suaranya masih terdengar garang, anak-anak domba tidak menggubrisnya. 'Ibu batuk, anak-anak,' dia beralasan," Arella terdiam, berusaha mengingat ceritanya. "Singkat cerita, serigala berhasil mengelabui para anak domba dan memasuki rumah. Dia pun menyantap anak-anak itu. Tapi, seekor domba kecil berhasil kabur, lalu mengadukannya pada sang ibu. Sesampainya di rumah, mereka melihat si serigala tidur dengan perut kenyang. Ibu domba membuka perutnya dengan pisau dapur, mengeluarkan anak-anaknya yang masih hidup, lalu menukarnya dengan segelondong besar batu. Saat serigala terjaga, dia kehausan, lantas berjalan menuju sungai terdekat. Tak mampu menjaga keseimbangan, dia jatuh dan tenggelam.”

“Nah, Kak Dita membuat si serigala tidak jadi memakan anak-anak domba karena tersentuh kebaikan mereka.”

“B-bagaimana bisa?”

“Karena si serigala terlihat tidak enak badan, anak-anak domba menyuruhnya masuk, lalu menyuguhkannya makanan hangat. Ternyata sudah berhari-hari Pak Serigala tidak menyantap apa pun. Dia hampir mati kelaparan. Setelah kenyang, Pak Serigala pun tertidur. Begitu terjaga, dia melihat anak-anak domba masih memejamkan mata di kamarnya. Dia berjinjit menuju pintu dan membiarkan mereka lelap dalam kedamaian,” Aya meluruskan kaki, kemudian memasukkan bukunya dalam tas sebab Sarah dan Raka sudah terlihat di ujung kelokan. "Begitulah, Kak Dita bahkan lebih murah hati dibanding Disney."

Karena Aya menitipkan sepedanya di rumah Kakek, dia berharap Sarah mau memboncengnya—atau bergantian membonceng.

“Hai,” kata Sarah. “Pitamu bagus.”

“Arella yang mendadaniku.” 

Arella mengangkat dua jarinya. “Cantik, ‘kan?” 

“Seperti Aya, tapi dengan pita.”

Aya langsung duduk di sadel penumpang dengan pipi membulat kesal. Sarah tertawa. 

“Kamu berat, Aya!”

Aya pura-pura menangis. “Makanku sedikit!”

“Arella, karena kamu mungil, kamu saja yang dibonceng. Aya memakai sepedamu. Bagaimana?”

Arella hanya termangu di sadelnya sebelum menjawab.

“Boleh,” katanya tanpa mampu menyembunyikan rasa senangnya. Sudah lama dia tidak dibonceng. Kalau tidak salah, sejak masih sangat kecil. Dia teringat punggung ibunya yang hangat ketika dia menyandarkan kepalanya di sana, lantas menikmati angin sore yang lembut ketika sepeda ibunya berjalan di sisi pematang. Bahkan ketika dia beranjak dewasa, meski dia tak benar-benar yakin pernah mengalaminya, kenangan itu sesekali menyapanya. Mungkin hanya muslihat mimpi, tapi dia tak peduli. Ketika beranjak dewasa, kau mungkin tak lagi yakin, masa kecil memang benar-benar pernah ada.

Aya turun, lalu menghampiri Arella.

“Raka, kamu saja yang membonceng Arella, ya?”

Arella menghentikan langkahnya dalam perjalanan setengah meter menuju Sarah karena terlalu terkejut. Dia tak terbiasa menerima perubahan rencana, apalagi dua sekaligus, tapi tidak menampakkan wajah keberatan. Raka-lah, yang salah tingkah, tapi tidak mampu mengatakan apa-apa karena Arella sudah berdiri di sampingnya seraya mengangkat bahu. Aroma parfum yang menguar di sekeliling Arella langsung menyumbat kepala Raka dan membuat perutnya dipenuhi kupu-kupu.

“Bagaimana?” tanya Arella.

“A-ayo naik.”

Aya tertawa dalam hati.

Sarah tertawa keras-keras.

Tiga sepeda berjalan beriringan menyeberangi perempatan. Setelah melewati Gereja—dan bekas toko buku yang sekarang sudah menjadi toko pakaian—jalanan yang semula ramai perlahan menjadi sepi. Di dekat pasar, ada perumahan tua yang usianya sudah dua puluhan tahun. Setelah menunjukkan kartu pelajar di pos satpam, mereka bersepeda melewati portal yang digerakkan secara manual. Di bagian depan, berdirilah kantor pemasaran. Di seberangnya, ada barisan ruko yang salah satunya sekolah swasta dengan tulisan International School. Aya membaca nama-nama bunga yang menjadi nama jalan—diawali dengan Anggrek di bagian depan, lalu diakhiri Hortensia di belakang. Saat melewati bagian Anggrek, berdiri rumah-rumah mewah tapi tak terlihat dihuni. Beberapa mobil diparkir begitu saja di bahu jalan.

Arella melihat sekeliling. Di beberapa titik, beberapa perempuan berseragam baby sitter menjaga anak-anak yang bersepeda riang di jalan. Beberapa anak bermain di taman yang dilindungi tiga pohon ketapang. Dahan-dahannya yang lebat meneduhkan seluruh taman. Kadang Arella bersitatap dengan salah satu anak dan menawarkan senyum. Dedaunan yang berkersik kencang membuatnya sadar suhu sudah semakin turun. Dia merapatkan jaket merahnya dan berbisik.

“K-kok suasananya muram?”

Tak ada jawaban, tapi ketika Arella menyandarkan kepalanya di punggung Raka—dan parfum buah yang dipakainya menguar lembut—Raka berkata dengan suara nyaris tidak terdengar, “Perumahan ini terkenal anker karena dibangun di bekas pekuburan Belanda. Penghuni lamanya marah besar.”

“S-serius?”

Raka mengangguk samar. “Sering ada penampakan anak-anak, ditemani nanny yang menatap muram siapa pun yang lewat. Kalau kamu berbakat, siang-siang pun seharusnya mampu melihat.”

“Ka! Jangan gitu!”

Lalu terdengar tawa.

“Bohong, ya?”

Tawa lebih keras.

“Jahat kamu.”

“Sebagai siluman yang punya segel kekuatan di mata kirinya, kamu penakut sekali.”

“Jahat.”

“Kenapa?” Aya penasaran dan melambatkan kayuhannya.

Lihat selengkapnya