Gerimis Daun-Daun

Rafael Yanuar
Chapter #13

Esok (3)

Karena tak mau membuat Aya khawatir, alih-alih melewati jalan sepi perumahan, Daniel memilih jalur perdesaan yang ramai saat menjelang sore. Di sepanjang sempadan, rumah-rumah beratap miring menghiasi sisi-sisi jalan, pepohonan rindang menaungi segenap lalu. Di beberapa titik, Daniel harus memelankan sepeda, bahkan berhenti, ketika sekawanan kambing menyeberang. Sering pula ayam-ayam menyusul di belakangnya. Aya menengadah. Pohon-pohon tua menghalangi jalan matahari. Jika dia memejamkan mata, terdengar berbagai burung saling beradu kicau. Dia merasa tersesat dalam novel-novel fantasi klasik. Apakah, entah bagaimana, aku terjebak di Shire?

Terlihat bayang-bayang padang di ujung setapak. Puluhan—bahkan ratusan—bambu meremang di sepanjang jalan. Daniel melonggarkan kayuh. Seketika, gemerincing rantai sepeda berpadu dengan embus angin yang jauh. Bagai dunia yang terisolasi, di sudut hutan, berdirilah sebuah bangunan kecil yang lebih menyerupai rumah dibandingkan toko buku. Di depannya ada papan hitam yang ditulisi kapur pusparona. Aya turun, lalu membacanya.

 

Inilah rahasiaku, sangat sederhana: Kau hanya bisa melihat jelas dengan hatimu. Hal yang penting tak terlihat oleh mata.

– Antoine de Saint-Exupery

 

Aya mengambil ponsel untuk memotretnya.

“Jadi, apa maksudnya?”

“Untuk pengunjung yang ingin menulis kutipan, pengelola rumah menyediakan papan tulis. Saat terakhir aku berkunjung, kata-katanya bukan ini, melainkan Carl Sagan."

“Pasti kamu. Memangnya apa yang kamu tulis?"

"In the vastness of space and the immensity of time, it is my joy to share a planet and an epoch with Annie," jawab Daniel. "Tapi, aku mengubah nama Annie dengan nama lain."

"Siapa?"

Daniel tertawa, "Kamu masih perlu bertanya?"

Aya tersenyum.

“Ya, masih ada bidang kosong, dan di sini ada kapur. Aya mau menulis sesuatu?”

“Memangnya boleh?”

Daniel mengangkat bahu. “Begitulah aturannya.”

Aya mengambil ponsel, lalu memilih satu di antara lusinan kutipan yang dia simpan di folder catatan.

 

Sebab sebagaimana kalian memiliki mata untuk melihat cahaya dan telinga untuk mendengar bunyi, kalian juga memiliki hati untuk merasakan waktu.

– Mich—

 

Ketika ingin membubuhkan nama penulis, Aya menyadari bidang kosong masih banyak. Dia menghapus kata “Mich”, lalu lanjut menulis.

 

Sebab sebagaimana kalian memiliki mata untuk melihat cahaya dan telinga untuk mendengar bunyi, kalian juga memiliki hati untuk merasakan waktu. Dan waktu yang tidak dirasakan dengan hati menjadi hilang sia-sia, bagaikan warna-warni pelangi bagi orang buta dan kicauan burung bagi orang tuli.

– Michael Ende

 

“Indah sekali—kutipan itu,” ujar Daniel, lalu mencari ruang kosong di papan. “Tapi tak ada sisa untukku.”

“Ah, maaf,” kata Aya.

“Jangan dipikiran, ayo masuk,” Daniel tersenyum.

Lonceng kecil bergemerincing begitu pintu dibuka. Ketika memasuki ruangan, Aya menahan napas. Meskipun dari luar tampak sederhana, bagian dalam toko cukup luas—atau begitulah kesan yang ditampilkannya. Buku-bukunya tidak sebanyak di toko besar, tapi disusun rapi dalam rak tinggi yang hampir menyentuh langit-langit. Selain rak-rak pustaka, hampir tidak ada perabot lain, kecuali meja kasir yang bersebelahan dengan meja pernak-pernik. Selebihnya hanya ruang kosong yang dilapisi karpet cokelat muda.

“Ah, selamat datang. Daniel dan—” seorang perempuan menyapa dari belakang meja.

“Hai, Kak. Dia Aya.”

“Hai, Aya.”

“Selamat sore, Kak—”

“Elvira. Namaku Elvira. Tapi semua memanggilku ‘Peri’,” Peri terdiam, seolah menimbang apakah harus melanjutkannya atau tidak. Akhirnya dia berkata, “Julukan Peri diambil dari kata Elf pada namaku. Elf—ira.”

Tapi Elf bukan peri.

“Aya ingin berkata 'tapi Elf bukan peri', ‘kan?” kata Daniel seraya memandang Aya dengan matanya yang jenaka.

Aya mengangguk samar.

Peri tertawa.

Setelah menyambut tamunya, seraya menyesap cokelat panasnya sesekali, Peri hanya duduk di balik meja. Dia mengambil buku di laci, lalu meletakkannya di pangkuan.

Aya dan Daniel melihat-lihat seisi toko. Sebagian besar buku bekas. Harganya sangat murah. Aya bagai berada di firdaus, tapi tetap saja dia tidak membawa banyak uang, dan rasanya aneh menjadikan buku bekas sebagai kado—padahal tidak. Jadi, dia menghampiri rak berisi buku baru. Buku-buku itu diterbitkan secara indie, dan Aya hampir tidak mengenalnya sama sekali. Daniel mengambil satu notebook cantik, lalu memberikannya kepada Aya. 

 “Bagaimana kalau ini?”

Saat melihat notebook biru dengan hiasan kerang pada halaman sampulnya, Aya langsung tertarik. Arella pasti suka. Namun, saat melihat harganya, dia terkejut. Harganya tiga kali lipat buku-buku bekas yang tadi Aya lihat. Aya langsung menghitung uang dalam kantongnya, lalu mendesah lega saat uangnya cukup, bahkan masih sisa untuk membeli kertas kado. Aya memilif motif paling aneh—robot Transformer, tapi latarnya pink.

“Kalau Daniel mau, aku traktir buku, ya? Sebagai ucapan terima kasih.”

Daniel tertawa kecil. “Jangan. Aku senang, kok. Aku senang menemani Aya." Rasanya seperti mengulang kenangan.

“Terima kasih.”

Setelah membayar, Daniel memasukkan belanjaan Aya ke dalam ranselnya.

“Kertas kadonya tidak apa ditekuk?”

Aya tersenyum. “Tidak apa."

Saat bersepeda melewati jalan yang rusak, Aya memberanikan diri menyandarkan kepala di punggung Daniel. Saat berangkat tadi, dia kesulitan menahan keseimbangan dengan mengandalkan kedua tangan di penopang sadel. Dia kaget saat menyadari, betapa pesatnya Daniel tumbuh. Aya pun mendongak memandang bahu lebarnya. Aku sudah mengenalnya sejak kecil, tapi baru sekarang aku menyadari dia sudah tumbuh sebesar ini.

Daniel mengayuh sedikit cepat karena langit sudah beranjak gelap. Berbeda dengan saat berangkat, karena di desa tidak ada lampu jalan, Daniel melewati jalur perumahan. Dia menunduk hormat dan berkata permisi ketika melewati pos satpam di gerbang belakang residen. Saat menjelang sore, biasanya penduduk perumahan, yang sebagian besar bekerja di kantor, sudah pulang, lalu bermain di halaman bersama anak-anak mereka. Daniel hanya sesekali menyapa. Tetapi, tetap saja ada yang dikenalnya.

Tepat pukul 17.00, Daniel dan Aya sampai di depan apartemen. Aya turun, mengucapkan terima kasih pada Daniel. Daniel segera mengambil ranselnya, mencari notebook dan kertas kado, dan menyerahkannya pada Aya.

“Aku benar-benar tertolong. Pokoknya terima kasih, sekali lagi—terima kasih untuk segalanya.”

“Dengan senang hati, Aya," Daniel tersenyum. “Kapan-kapan, mau pergi lagi?”

Aya mengangguk, lalu menunduk di depan Daniel. Dia berjalan setengah berlari menyusuri pelataran. Sebelum menaiki tangga, dia menoleh pada Daniel dan melambaikan tangannya tinggi-tinggi, lalu menunduk sekali lagi. Tetapi segera melindungi rambutnya, sebab angin berembus masai tanpa diduga.

Dia cantik sekali, Daniel mendesah. Segala tentangnya senantiasa indah.

Daniel merasakan detak jantungnya sendiri.

Setelah melihat Aya menghilang di ujung undakan, Daniel memutar sepedanya, dan bernyanyi riang. Dia bahkan tak sadar ketika menyusuri kompleks rumahnya. Pikirannya melayang-layang tak menginjak Bumi. Tahu-tahu, dia sudah sampai di depan rumahnya. Ketika dia memasuki pintu, Mama yang berdiri di dapur, memandangnya heran.

“Ceria sekali. Habis kencan dengan Aya?”

Lihat selengkapnya