Gerimis Daun-Daun

Rafael Yanuar
Chapter #12

Esok (2)

Sepulang sekolah, seraya memandang langit yang terhalang dahan-dahan tanjung, Aya duduk di depan kelas. Sebagian besar temannya sudah pulang, tapi karena Dita tidak ada di apartemen, Aya memutuskan menghabiskan waktu di sekolah, setidaknya hingga pukul tiga sore. Daniel, yang belum pulang karena dia seksi sibuk, menghampiri Aya diam-diam. Dia menempelkan botol dingin di pipi Aya. Gadis itu tersentak, tapi menerima juga pemberian Daniel. Sebelum air yang segar menyejukkan kerongkongannya, dia bahkan tidak menyadari rasa hausnya sendiri.

“Mau pulang?”

Aya mengangguk.

Daniel melepas kacamatanya sejenak, mengelapnya dengan ujung seragam. Karena lensanya tidak terlalu jelas, dia sering melepas kacamatanya dan mengira ada embun di permukaan kaca, tapi sepertinya matanyalah yang bermasalah. Untuk melihat dan menyalin kata-kata di papan tulis, dia harus memajukan kepala. Mungkin sudah saatnya membeli kacamata baru.

Aya mendehem pelan, lalu menjuntaikan kakinya, “Aku ingin membelikan Arella kado, tapi bingung kado apa.”

“Sebentar lagi dia ulang tahun, ya.”

Aya mengangguk. “28 Desember.”

"Kita pikirkan sambil jalan saja."

"Yuk," Aya mendorong badannya bangkit.

"Tapi tumben kamu sendirian."

"Iya. Arella dan Raka pulang duluan. Sarah ke salon mamanya—sekalian membantu."

Setelah mengambil sepeda di pelataran, Daniel menuntunnya. Dia menjemput Aya yang menunggunya di gerbang sekolah.

“Di hutan bambu ada penerbitan indie yang juga menjual buku dan pernak-pernik perbukuan. Mau ke sana? Pasti ada yang cocok untuk Arella.”

“Itu—di mana?”

“Hutan bambu," jawab Daniel. "Penduduk setempat menamainya hutan bambu, tapi sebenarnya hanya padang kecil dengan rerimbun bambu di sisi kiri dan kanannya. Di tengahnya ada bangunan yang sudah tua. Katanya, di tahun 90-an, ketika masih berupa perpustakaan, anak-anak sering bermain di sana. Tapi setelah berganti pengelola—dan kota ini berkembang pesat, banyak yang mulai melupakannya, mungkin karena jaraknya jauh. Saat ini, selain perpustakaan, mereka juga menyediakan jasa penerbitan indie dan toko buku yang penghasilan utamanya didapatkan dengan jaringan Internet."

Aya menatap Daniel. “Kamu—sangat mengenal kota ini, ya.”

“Mungkin, karena aku pendatang," senyum Daniel.

"Juga karena cinta. Cinta menunjukkan sejauh mana kita mengenal seseorang—atau sesuatu. Tanpa cinta, kita bahkan tak ingin mencari tahu,” Aya memiringkan lehernya, lalu tersenyum dengan mata terpejam. "Lagipula sudah lebih dari separuh hidup kamu tinggal di sini."

“Kalau mau, aku bisa mengantar Aya ke sana.”

Aya mengangguk pelan. "Tapi aku tidak punya sepeda." Atau, lebih tepatnya sepedaku ditinggal di rumah Kakek. “Tapi aku bisa meminjam sepeda Kak Dit—”

Daniel menepuk sadel belakang sepedanya. “Aku bonceng saja.”

Lihat selengkapnya