Malam telah menyelimuti langit Paris. Tapi, sebuah gedung megah bertuliskan Galeries Lafayette, bermandikan cahaya. Setiap dindingnya tampak seperti ditempeli butiran-butiran berlian yang berkilau, memendarkan warna yang menerangi setiap sudut gedung. Butiran berlian itu membentuk sebuah mahkota dan bertengger indah di bagian atas. Pertokoan yang letaknya di Boulevard Haussmann ini berdiri tegak, bagaikan ratu di meriahnya malam.
Bunga berdecak kagum di depan pintu masuk. Gadis itu berdiri menengadah, hingga rambut sebahunya sesekali tertiup angin. Mata Bunga berbinar-binar saat menatap gemerlapnya pertokoan ini. Bibirnya menyunggingkan senyum, membuat lesung pipinya semakin jelas.
“Lihat apa, sih? Udah, yuk, masuk,” Odetta menarik lengan Bunga.
Bunga mengikuti gadis jangkung itu dengan langkah terseret-seret. Mata Bunga kembali berkeliaran ketika mereka memasuki pertokoan.
“Waaahhh … lo ajak gue ke pertokoan mewah begini, hanya untuk beli baju, Det? Memangnya nggak ada butik baju yang biasa-biasa aja, gitu?” tanya Bunga, masih sambil menebarkan pandangan ke gerai-gerai yang juga gemerlapan.
“Lo lupa, ya, kalau lo nggak punya baju?” sahut Odetta dengan langkah panjang-panjang dan pasti. Dia sudah tahu toko yang akan dikunjungi. “Dan, lo lupa bahwa gue paling tahu toko-toko keren dalam soal baju?”
“Ingat, lah. Tapi, nggak harus ke pertokoan semewah ini, kan? Louis Vuitton, Gucci, Hermes. Waduuuhhh, nggak ada merek dari Cibaduyut, ya? Sayang kartu kreditnya, Det. Mendingan gue beli peralatan masak, deh. Di apartemen, kan, belum ada deep fryer, oven, rolling pin, dan ….”
“Aah, ngaco, lo. Itu nanti aja, deh. Masa lo nggak punya baju, tapi belinya alat-alat masak? Yang bener aja,” bibir Odetta maju beberapa senti. “Sekali-sekali pakai merek kelas dunia, nggak apa-apa, kan, Nga? Apalagi, sedang ada end of season sale. Musim panas, kan, hampir habis,” sahut Odetta. “Memangnya lo mau terus-terusan pakai baju gue?”
Bunga langsung memandangi diri sendiri sambil nyengir. Sackdress selutut warna khaki, wedges cokelat muda, dan baret hitam yang saat ini dipakainya adalah hasil warisan dari lemari Odetta.
“Iya, deehh. Terserah lo ajalah. Gue nurut aja, deh, sama mahasiswa VÊTEMENTS,” sahut Bunga sambil menatap Odetta dari atas ke bawah. Skinny jeans dan baby T-shirt, serta syal yang membalut tubuh Odetta benar-benar membuat Odetta tampil sempurna.
“Nah, makanya. Eh, ke situ, yuk! Ada sale besar-besaran, tuh!” Senyum Odetta melebar. Dia langsung menarik lengan Bunga dan mempercepat langkahnya ke arah gerai yang memajang banner merah bertulisan “50% discount”.
Bunga yang tertinggal di belakang Odetta tampak seperti anak kecil yang sedang mengekor ibunya.
“Hiyaaa … ini keren banget untuk lo, Nga,” Odetta langsung membentangkan baby T-shirt warna shocking pink.
Bunga terbelalak. “Gileee, ngejreng banget!”
“Tapi, cocok, kok, sama kulit lo. Ini ambil satu, ya,” Odetta langsung memisahkan kaus cantik itu dari pakaian-pakaian lain.
“Eh, harganya?” Bunga menarik label harga di kaus itu. “Ya, ampuunnn! Ini sama dengan harga oven terbaru yang paling canggih!” pekik Bunga.
“Nggak segitunya, kaleeee,” Odetta mencibir. “Nah! Ini juga cocok untuk lo. Gue cari ukuran yang paling kecil, ya. Biar pas sama badan lo,” Odetta menunjukkan baby doll biru langit yang lucu.
Bunga mengedikkan bahu, tanda pasrah.
“Nih, bayar pakai kartu gue aja, deh,” Bunga mengangsurkan kartu kredit berwarna emas kepada Odetta.
“Nggak usah. Pakai punya gue aja,” sahut Odetta.
“Huh! Gimana, sih?” Bunga manyun.
“Kartu lo buat beli peralatan masak aja. Nanti gue, kan, bisa nyicipin hasil masakan lo juga,” Odetta bergegas menuju kasir.
Tiga jam kemudian dua gadis itu sudah menenteng kantong-kantong belanjaan!
“Lo, tuh, dari dulu masih aja, ya, senang beli baju banyak-banyak kayak gini. Kalau gue, sih, mendingan beli bahan-bahan untuk bikin kue, deh. Jadi, kalau lapar, tinggal makan. Kalau beli baju, kan, nggak bisa dimakan,” Bunga nyengir.
“Ya, udah, lo makan aja baju-baju ini. Bawel, ah!” sahut Odetta sambil tergelak.
“Ih, elo!” Bunga memonyongkan bibirnya dan menjulingkan matanya.
Tawa Odetta semakin keras.
“Gue lapar, nih. Makan dulu, yuk!” kata Odetta.
“Yuk,” Bunga mengangguk.
Tiba-tiba ponsel Bunga berdering. Bunga langsung merogoh tasnya dan memandang layar ponsel. Dari Darel.
“Halo?” sapa Bunga.
“Hei! Lo di mana?” Darel menyahut dengan nada riang.
“Di Galeri Lafayette, bareng Odetta. Lo di mana, Rel?” tanya Bunga. Hatinya melonjak-lonjak mendengar suara Darel.
“Gue baru mau ke apartemen lo. Tapi, gue susul di Lafayette aja, ya? Sekalian cari makan malam.”
“Oh, kebetulan. Gue dan Odetta juga mau makan malam, nih. Gue tunggu, ya.”
Wajah Bunga semakin berseri-seri ketika menutup ponsel.
“Dari Darel, ya?” tanya Odetta yang mulai kerepotan dengan barang-barang yang ditentengnya.
“Iya. Dia mau ke sini, makan bareng sama kita,” sahut Bunga.
“Pantas lo kelihatan senang banget,” Odetta menaikkan alisnya, lalu mengedipkan sebelah matanya.
“Masa, sih? Biasa aja, ah!” balas Bunga, malu-malu.
“Hihihi … tuh, kan. Kelihatan malu-malu,” Odetta terkikik.
“Yeee … apaan, sih?
“Nggak apa-apa, Nga. Darel memang tampan. Gue juga mau sama dia,” Odetta menggoda lagi.
“Swit swiiiiwww! Ya, udah, ambil aja.”
“Iihhh … gitu aja, kok, marah? Hahaha … nggak, kok, Nga. Gue masih nyimpan email curhat-curhat lo tentang Darel. Gue juga nggak bakalan lupa lo memuja-muja dia setinggi langit di BBM. Dan, di otak gue masih tercetak jelas bahwa lo sangat ingin ngikutin jejak dia yang jago masak.”
Bunga terbelalak. Kata-kata Odetta benar. Selain ingin punya toko bakery, Bunga juga ingin dekat dengan Darel. Pemuda itu selalu mengisi mimpi-mimpinya. Pemuda itu juga yang membuat Bunga merasa cita-citanya sudah ada di depan mata. Sekolah di Le Culinaire, punya toko roti, dan hidup sebagai pendamping Darel.