Dua puluh lima tahun berlalu, ketika kilasan ingatan itu mendadak muncul di kepalaku, aku masih merasakan kedua tanganku gemetar ketakutan dan hatiku tersentak. Jika kenangan kelam itu muncul di malam hari, aku tidak bisa menahan air mataku untuk mengalir. Akan muncul suara aneh dari mulutku seperti rintihan anak kecil berusia sepuluh tahun yang menangis pilu. Kupikir waktu akan mengobati kepedihan di masa lalu tapi sepertinya luka ini terlalu dalam, terlalu perih, hingga tak mungkin bisa hilang. Bekasnya akan selalu ada.
Aku menyesap kopi yang sangat manis untuk mencoba menenangkan hatiku. Glukosa selalu membantuku. Keramaian Taman Bungkul membuatku merasa aman. Orang-orang yang berlalu lalang, dan pedagang yang berjualan di pinggir jalan terasa seperti penjaga bagiku. Kota Surabaya hampir tidak pernah tidur, itu adalah salah satu hal yang membuatku menyukai kota ini. Aku melihat jam tanganku jarumnya menunjukkan jam sepuluh malam, beberapa menit kemudian dia yang kutunggu akhirnya datang. Aku mengangkat tanganku agar dia bisa melihat tempat dudukku. Bu Miska berjalan cepat melewati kerumunan dan menghampiriku. Bu Miska duduk di kursi di depanku dan menatapku dengan tatapan seorang Psikiater.
Bu Miska bertanya, "Bagaimana kabarmu?"
Aku menjawabnya dengan tersenyum.
Bu Miska melirik kopi di depanku dan bisa menebak berapa banyak sendok gula yang ada di dalamnya. Jiwa dokter dalam diri Bu Miska membuatnya tak bisa menahan diri untuk tidak mengomel.
"Terlalu banyak gula bisa membunuhmu, lebih cepat dari penyakit lainnya."
"Tanpa gula pun seseorang juga bisa meninggal hanya dalam satu malam," kataku.
Saat aku mengatakannya Bu Miska langsung terdiam.
"Maaf," kataku.
Aku menunduk merasa bersalah setelah semua yang Bu Miska lakukan padaku aku tidak seharusnya melawan nasehatnya.