Dulunya, Kak Mariam adalah perempuan cantik berkerudung yang tinggal di gang di belakang rumah. Kak Mariam hanya lima tahun lebih tua dibandingkan dengan Kak Renata yang berumur dua puluh tahun. Saat bulan Maulid Nabi tiba Kak Mariam selalu mengetuk pintu belakang rumah kami, membawakan kami kotak makanan dan kue. Saat hari Raya Qurban Kak Mariam akan membawa semangkuk besar gulai kambing ke toko. Kak Mariam punya senyum yang manis, kulit coklat dan bola mata yang bulat yang selalu membuatku iri. Tidak seperti Kak Renata yang memiliki raut wajah keras yang bisa membuat siapapun takut. Bahkan Tantan anjing peliharaan kami seekor golden retriever tidak berani membantah Kak Renata, takut ditendang. Kak Mariam memiliki wajah teduh, kau bisa melihat hatinya yang lembut hanya dari caranya bicara. Mungkin karena hati Kak Mariam yang terlalu lembut hingga hati itu tidak sanggup, tidak cukup keras untuk menahan musibah yang menimpa hidupnya.
Kak Mariam berasal dari keluarga yang berada, Ayahnya seorang eksportir yang sukses sampai kemudian krisis ekonomi menimpa negeri ini menghancurkan usaha yang dirintis Ayahnya dari dulu dalam sekejap. Kata Kak Renata orang-orang yang sangat kaya yang menggantungkan bisnisnya dengan luar negeri dan mata uang dollar akan menjadi orang-orang yang paling berdampak saat krisis ekonomi terjadi. Ketika nilai tukar mata uang dollar meningkat, hutang bisnis yang harus dibayar kepada orang asing akan bertambah puluhan kali lipat. Hutang itu akan tiba-tiba menggunung dalam semalam dan menimpa mereka yang hanya memiliki tabungan rupiah yang tak lagi berharga. Seperti bangunan yang dibuat dari pasir pantai, ketika ombak inflasi datang menghantam, bisnis keluarga Kak Mariam langsung runtuh. Keluarga Kak Mariam menjual semua aset dan menguras semua tabungannya. Tapi, itu semua tidak cukup untuk menutupi semua pembayaran hutang yang harus keluarga Kak Mariam bayar. Seperti halnya tabungannya yang tidak cukup banyak, jantung Ayah Kak Mariam juga tidak cukup kuat. Ayah Kak Mariam mengalami gagal jantung lalu meninggal dunia, sebulan kemudian Ibu Kak Mariam juga pergi menyusul.
Ketika kedua orang tua Kak Mariam meninggalkannya, Kak Mariam yang masih berusia dua puluh lima tahun harus menanggung semuanya sendiri. Aku ingat ketika Kak Mariam berdiri termangu menatap rumahnya yang harus dikosongkan dan diambil oleh rentenir. Seperti mendung yang tidak akan pernah pergi, wajah Kak Mariam yang selalu ceria berubah menjadi murung. Sehari setelahnya, Kak Mariam menghilang selama berbulan-bulan. Kata orang Kak Mariam kembali ke kampung halamannya di Solo, tapi beberapa orang melihatnya berjalan seorang diri tanpa alas kaki di pinggiran jalan di sekitar Monas.
Dua bulan yang lalu kami mendapati Kak Mariam kembali ke komplek kami dalam keadaan sudah gila. Kak Mariam lupa dengan masa lalunya, dia tidak ingat dengan tetangga, dia juga tidak mengenalinya dirinya sendiri. Kak Mariam sering duduk berjongkok di ujung gang dengan rambut berantakan dan baju kotor dan lusuh. Kak Mariam mulai bernyanyi, lalu menangis secara tiba-tiba, lalu memaki semua orang yang lewat di depannya. Anak-anak suka meneriaki Kak Mariam dengan sebutan Mariam yang gila. Kudengar Mariam yang gila sekarang tinggal di sebuah gubuk kosong di pemakaman tempat orang tuanya di makamkan.
Aku mengenang percakapan singkat yang pernah aku dan Kak Mariam lakukan . Itu terjadi tiga tahun lalu, saat itu aku duduk di pinggir jalan menangisi luka berdarah di lututku. Kak Mariam menghampiriku, dia duduk di depanku, membasuh lututku dengan air botol yang dia bawa dan mengelapnya lembut dengan sapu tangan.
"Seorang anak laki-laki mencoba menghentikanku mencetak gol, hanya karena aku perempuan dan bermata sipit," aku memberitahu.
Kak Mariam bertanya, "Apa kau adiknya Renata?"
Aku mengangguk.
"Siapa namamu?"
"Liliana."
Kak Mariam menatapku dan mengatakan, "Kau seperti bunga Lily yang cantik."
Aku berkata, "Kakakku sendiri tidak sudi memujiku seperti itu, meskipun aku menyogoknya dengan sekotak coklat."
Mendengarnya Kak Mariam tersenyum, senyum manisnya membuat luka di lututku terasa lebih baik.
Kak Renata akhirnya keluar dari toko, aku menyikut pinggangnya dan menunjuk ke arah jalan.
"Lihat disana," kataku, "Mariam yang gila."
"Jangan menyebutnya seperti itu," Kak Renata mengeram, "dia punya nama."
"Semua anak di sini menyebutnya seperti itu sekarang."
"Bukan karena banyak orang mengatakan hal buruk yang sama kau juga harus ikut-ikutan mengatakannya," kata Kak Renata, "kau tidak boleh mengolok-olok nya."
"Kenapa?"
"Karena dia sama dengan kita, terlepas dia terganggu jiwanya atau tidak! dia tetaplah manusia."
Setelah cukup lama mengaduk-aduk tong sampah kak Mariam yang gila menemukan harta karun yang dia cari. Kak Mariam yang gila melompat-lompat kegirangan memegangi sebuah mangga busuk yang masih tersisa separuh di tangannya. Kak Mariam yang gila sudah membuka mulutnya lebar-lebar tapi kemudian Kak Renata bergegas menghampirinya.
Kak Renata tiba-tiba saja ada disana seolah dia punya ilmu menghilang.