Toko Jaya Elektronik pernah berjaya di masa lalu. Saat aku harus menemani Nenek duduk melamun di beranda rumah, dia suka menceritakan kejayaan toko kami di masa lalu. Nenek bercerita tentang masa-masa ketika pelanggan berdatangan ke toko setiap hari, saat kesibukan mengisi hari-hari Ayahku, saat setiap malam Ayahku lelah menghitung tumpukan uang di kamarnya. Nenekku mengatakan bahwa Ayahku bahkan bisa membuat cabang toko di mana-mana jika dia mau. Kata Nenek, Ayahku bisa membeli Jakarta jika dia mau. Awalnya aku mempercayai semua perkataan Nenek tapi, kata Kak Renata, jangan terlalu percaya dengan apa yang dikatakan Nenek karena dia sudah tua, sudah berusia delapan puluh tahun lebih, pikun dan suka melamun.
Aku suka membuka album foto keluarga, dan melihat fotoku saat aku masih berumur tiga tahun. Foto-foto itu membuktikan bahwa kami pernah menjadi keluarga yang kaya raya. Kami sekeluarga pernah berfoto di dekat pohon Sakura di Jepang. Aku pernah digendong Ayahku di pinggiran patung Singa Singapura. Aku pernah dicium Ayah dan Ibuku di Tembok Besar Cina, dan sebuah foto usang yang sudah buram yang menggambarkan Ayah dan Ibuku menyandar di sebuah tembok bangunan. Aku pernah bertanya kepada Nenek tentang foto buram itu. Kata Nenek, foto itu diambil di sebuah gedung di Amerika tepatnya gedung Presiden Amerika Serikat. Ayahku punya koneksi dengan presiden Amerika! Lalu aku teringat kalau Nenek sudah sangat tua, pikun, dan suka melamun jadi aku tidak terlalu mempercayainya.
Satu hal yang membuatku menyukai melihat foto-foto lama adalah karena disana aku bisa melihat wajah ceria Ayahku. Aku bisa melihat bahu Ayahku ketika masih tegap, aku bisa melihat ambisi di matanya, aku melihat mimpi di senyumnya yang mengembang, aku bisa melihat jiwanya yang bergairah dari raut wajahnya yang cerah. Dari album foto lama aku bisa melihat seperti apa Ayahku sebelum Ibuku meninggalkan kami.
Ibuku wanita yang sangat cantik tapi tidak dengan hatinya, karena dia meninggalkan kami demi orang lain setidaknya itulah yang diceritakan kak Renata padaku. Aku bersyukur karena tidak memiliki wajah cantik seperti Ibuku, karena aku tidak menyukainya. Ayahku tergila-gila dengan ibuku. Ibuku adalah hidup dan semangat hidupnya. Hari dimana Ibu pergi meninggalkan kami, Ayahku duduk sendirian di depan pintu toko menunggunya kembali sepanjang malam. Ayah mungkin akan terus duduk disana sepanjang waktu jika saja Nenek kami tidak menyeretnya masuk. Kepergian Ibu membuat semangat Ayahku hilang. Ayahku yang dulu sudah pergi, kini dia hanya laki-laki pemilik toko Jaya Elektronik. Ayah hanya menjalani hidupnya, itu saja. Ayah tidak lagi punya mimpi, dan hidup tanpa ambisi. Ayah menjadi pemurung dan suka melamun. Satu-satunya hal yang membuat Ayah terbangun di pagi hari dan bekerja adalah karena dia mengingat kami, anak-anak nya. Terkadang ketika aku terbangun di malam hari aku suka memergoki Ayahku duduk di dekat pintu kaca toko yang sudah ditutup, dia duduk disana masih menunggu Ibuku kembali.
Seperti halnya semangat pemiliknya, toko Jaya Elektronik juga mulai memudar kejayaannya. Pembeli yang datang setiap hari mulai berkurang satu persatu, pesaing yang datang mulai bertambah satu persatu. Lambat laun kami hanyalah toko kecil di antara toko-toko besar yang menghimpit kami.
Hingga kemudian krisis ekonomi membuatnya semakin buruk, kami seperti ikan kecil di antara ikan besar yang berebut air di kolam yang mulai kering. Kata Ayahku, ikan kecil akan hidup lebih lama daripada ikan-ikan yang lebih besar karena dia tidak membutuhkan air yang banyak. Awalnya aku tidak mengerti maksud perkataan Ayahku tapi kemudian aku mulai memahaminya. Artinya kami sekeluarga harus berhemat, mengencangkan ikat pinggang kami, mencoba bertahan selama mungkin. Kami dibiasakan untuk hidup hemat. Jika kami menginginkan sesuatu kami harus menabung, mencicilnya sedikit demi sedikit. Jika ingin makan enak kita harus siap untuk tidak makan enak selama beberapa hari. Jika hanya ada sedikit beras buatlah bubur, jika hanya ada sedikit ayam buatlah sup ayam.