Di ufuk timur, seberkas cahaya menyingsing, bagai percikan tinta merah membakar langit gulita, perlahan menelan kegelapan malam. Deburan ombak yang tinggi menghempas karang dan pasir pantai dengan gemuruh.
Di tepian, sepasang kaki putih pucat tersapu buih-buih laut. Sumiah berdiri tegar, menanti kepulangan putranya dari lautan lepas. Angin dingin menerbangkan ujung selendangnya, membelai rambutnya yang sebagian tertutup kain. Cemas dan bimbang memenuhi hatinya.
Lama ia menunggu. Hingga akhirnya, sayup-sayup terlihat sampan-sampan nelayan pulang, meluncur perlahan seperti burung camar yang lelah terbang.
Amor, gagah dengan kulit gelap terbakar matahari, tampak bersemangat ketika sampannya menepi. Senyum lebarnya merekah, ia melambaikan tangan pada ibunya.
"Ambu!" Teriaknya, suaranya membelah gemuruh ombak.
"Abang!"
Sumiah membalas lambaian putranya, wajahnya memancarkan kelegaan dan syukur. Satu jam lamanya ia berdiri di sana, hatinya dipenuhi kecemasan. Kehadiran Amor yang selamat membalas semua penantian itu.
"Teh Sumi! Kebiasaan pisan nunggu di situ. Kenapa nggak di darat saja, Teh?" Kang Usep, paman Amor, berkomentar dengan logat Sunda yang khas. Wajahnya berkerut, tak suka melihat kebiasaan kakaknya itu.
Sumiah biasanya hanya merendam kakinya sampai betis. Tapi kali ini, karena khawatir, hampir saja ia terjatuh ke laut.
"Tidak apa-apa, Kang. Kalau tidak begitu, Ambu tidak tenang," jawab Amor, menepuk lembut bahu pamannya, lalu turun dari sampan yang hampir menyentuh pantai.
Dalam perjalanan melaut, Amor pergi bersama Kang Usep dan Lukman. Hasil tangkapan mereka tak banyak, hanya cukup untuk mengganti solar dan biaya makan beberapa hari ke depan.
Kang Usep dan Lukman menarik sampan ke tepian, sementara Amor bergegas menemui ibunya.
"Ambu, kenapa tidak tunggu di rumah saja? Abang harus ke pelelangan dulu. Amran juga harus sekolah, nanti kesiangan kalau tidak diurus," omel Amor, mencium tangan keriput ibunya yang tampak pucat.
Ia bukan tak senang disambut hangat, tapi kondisi Ambu yang sudah tua dan udara dingin menusuk di pagi buta membuatnya khawatir. Angin kencang dan air laut yang merendam kaki ibunya tentu saja membahayakan.
Sumiah tersenyum lembut, menepuk lengan putranya. "Ambu khawatir sama Abang. Tidak boleh Ambu memastikan Abang pulang dengan selamat?"
Jawaban yang selalu sama. Amor hanya menghela nafas.
Sumiah selalu menunggu Amor setiap subuh, meskipun harus menahan dingin dan menggigil. Kejadian lima belas tahun lalu, saat Suryana, suaminya, hilang di laut, masih membekas dalam ingatannya.
Amor menanggung beban berat setelah kepergian ayahnya. Ia harus menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa tamat SMA, ia meninggalkan masa muda dan kesenangannya untuk menghidupi ibu dan adiknya, Amran.
Sumiah sebenarnya masih bisa bekerja, namun kesedihan dan penyakit seringkali membuatnya kelelahan. Amor-lah yang berkorban, melaut bersama pamannya untuk menghidupi keluarga.
"Teh, kemarin kan masih empat puluh ribu sekilo. Kok sekarang cuma tiga puluh ribu? Turunnya jauh banget!" Amor menimbang ikan tangkapannya di hadapan Sri, tengkulak di pasar ikan. Wajahnya tampak lesu. Harga ikan sedang anjlok.
"Emang segitu, Ujang Amor. Pasar lagi sepi, banyak nelayan lain juga jualan. Teteh juga nggak mau rugi ambil banyak-banyak. Kalau bukan kamu, ogah Teteh ambil," kata Sri sambil mencatat hasil tangkapan Amor. Ia menulis angka dengan cepat, tangannya cekatan menghitung jumlah ikan. Bau amis dan aroma laut begitu kental di udara pasar.
"Teh, kan Teteh juga suplai resto? Masa rugi? Tambahin dikit lah, Teh," rayu Amor. Ia berharap bisa mendapatkan sedikit tambahan uang.