Undangan sudah disebar untuk beberapa teman dekat dan kerabat. Dua minggu lagi akan menjadi hari bahagia untuk sepasang kekasih yang telah menjalin hubungan selama lebih dari empat tahun. Bukan tentang pernikahan, jenjang yang akan mereka tapaki dua minggu lagi baru sekadar bertunangan. Namun, meskipun hanya bertunangan, itu merupakan kemajuan yang bagus dalam sebuah hubungan, bukan?
Tata letak setiap barang di ruangan pertemuan yang disewa dari sebuah hotel tak luput dari perhatian sang empunya acara. Laki-laki itu tampak memperhatikan segala detail dari penempatan barang dengan instruksi dari sang kekasih tentunya. Hanya melalui panggilan video call, sang puan bilang tidak bisa hadir untuk melihat bagaimana kemajuan dari ruangan yang akan digunakan untuk hari pentingnya itu. Sibuk, begitu alasannya.
Tak mempermasalahkan kehadiran sang puan, laki-laki itu memaklumi kesibukan kekasihnya. Semua orang punya kesibukan, tentu saja. Apalagi tadi pagi kekasihnya itu mengabari jika ia harus menemui seorang teman yang sudah lama tidak ia temui. Tentu saja tidak ada larangan untuk kepergian sang puan. Bertemu dengan teman bukan hal yang buruk, justru mereka bisa mengundang teman itu untuk hadir dalam pertunangan mereka nantinya.
“Bang! Gue tinggal, ya! Ada jadwal latihan bareng anak-anak,” ujar laki-laki itu pada seseorang yang sedang sibuk mendekorasi ruangan.
“Oke! Entar gue kabarin kalau udah kelar nih dekor!” sahut seseorang itu.
“Duluan, Bang!” balas laki-laki itu kemudian.
Laki-laki itu menjalankan motornya melintasi jalanan yang ramai. Menyalip satu persatu kendaraan dengan kegesitannya membawa Lawu, motor gedenya. Tidak sampai tiga puluh menit, Kaldera tiba di lokasi yang dituju. Sebuah gedung dengan beberapa tingkat lantai menjadi pijakan pertama Kaldera setelah memarkirkan motonya. Itu adalah gedung tempat ia dan bandnya berlatih. Sebuah studio musik yang disewa dari uang penjualan tiket mereka.
Memasuki studio musiknya, Kaldera hanya menemukan Restu yang sedang memainkan gitar. Padahal pesan di grup tadi mengatakan jika mereka sudah berkumpul semua, tetapi hanya ada Restu di sini. Kaldera merasa dibohongi.
“Yang lain ke mana?” tanya Kaldera sambil membuka kulkas yang dibeli beberapa bulan lalu. Mata Kaldera mengedar, mencari minuman apa yang cocok untuk membasahi tenggorokannya. “Terlalu banyak minuman beralkohol, besok dikurangi deh. Gak enak kalau ada yang mampir, masa suruh minum bir,” kata Kaldera setelah mengambil satu botol air mineral dari kulkas.
“Siapa sih yang mampir, Bos? Cewek lo? Gak bakal juga dia masuk sini,” balas Restu.
“Ya enggak cewek gue juga, Res. Kalau tiba-tiba ada yang datang, kan?” Kaldera menjawab.
“Ck! Kaga ada yang datang selain anak-anak. Toh birnya juga gak sebanyak itu. Kalau lo takut kita pada mabuk, tenang! Kadar alkohol kita pada tinggi!”
“Terserah lo, deh! Gue udah kasih tau, ya.” Kaldera memilih menghentikan obrolannya dengan Restu, teman satu kelasnya semasa kuliah dulu.
Bosan menunggu teman-temannya yang lain—yang kata Restu sedang mencari makan siang—Kaldera merebahkan tubuhnya di sofa. Meski ia tahu kakinya akan menggantung karena tubuhnya lebih panjang daripada sofa itu, Kaldera tetap menikmatinya. Tadi malam ia tidak sempat tidur lama, ini saatnya ia tidur sejenak sembari menunggu teman-temannya.
Sepuluh menit berlalu, Kaldera masih dalam posisi yang sama. Ia benar-benar tertidur dan mungkin akan bermimpi jika seseorang tidak menggoyangkan tubuhnya.
“Apaan? Udah pada ngumpul?” tanya Kaldera setelah membuka matanya. Ada Dewa di hadapannya sambil membawa sekantong barang belanjaan.
“Ada cewek lo di luar. Gue ajakin masuk gak mau. Samperin sono!” kata Dewa yang kini mengambil alih sofa yang diduduki Kaldera setelah bangun.
Kaldera langsung mengecek ponselnya. Benar saja, ada beberapa panggilan dan pesan dari kekasihnya yang belum ia buka. Tanpa membalas, Kaldera langsung keluar dari studio.
“Tadi aku ketiduran, sorry,” ucap Kaldera ketika tiba di hadapan Adira, kekasihnya.