“Nyerah gue!” Adira menutup laptopnya dengan keras. Menutup laptopnya sama dengan menyudahi perevisian dari skripsinya. Padahal sudah tiga hari revisi bab 2 proposalnya di kembalikan, tetapi ia belum juga mendapatkan pencerahan bagaimana menyelesaikan bab tersebut.
“Go food, yuk!” ajak Adira di depan pintu kamar Sandra, teman satu kosannya. Tak berbeda jauh dari keadaan Adira, Sandra juga tampak frustasi dengan aneka revisi yang diterimanya. Bedanya, Sandra sudah sampai di bab 3, sedangkan Adira masih stuck di bab 2.
“Pusing banget. Gue bingung mau pakai skala untuk instrumen punya siapa. Enggak ada yang cocok sama punya gue masa,” ucap Sandra masih terus berkutat pada laptopnya.
Adira mendudukkan diri di hadapan sahabatnya itu. Mencoba mengintip apa sekiranya yang sedang dicari oleh Sandra. Dan tebakkannya tak meleset. Sandra sedang membuka satu-persatu jurnal penelitian untuk menemukan instrumen tes yang cocok untuk penelitiannya. Tak mau mengganggu fokus Sandra, Adira memilih merebahkan diri di kasur empuk milik Sandra sambil membuka aplikasi ojek online untuk memesan makanan.
“Mau makan apa? Seblak enak nih malam-malam gini.” Adira bertanya sekaligus menunjukkan ketertarikannya terhadap seblak.
Sandra tanpa menoleh langsung menjawab, “Boleh deh. Gue yang campurannya jamur ya. Gue tanpa ceker.”
“Pesan aja kali. Ceker lo entar gue yang makan. Sayang banget beli paket komplit, tapi minus ceker. Rugi bandar, Bos!” kata Adira. Sebagai anak yang memiliki jiwa ekonomis yang tinggi, haram bagi Adira untuk mensia-siakan makanan dalam bentuk apapun, kecuali makanan sisa semalam. Adira tidak mau mengambil resiko akan diare di kemudian harinya.
“Terserah lo deh,” jawab Sandra.
Sambil menunggu pesanan datang, Adira membuka Youtube untuk menikmati musik video terbaru dari idolanya yang comeback tadi siang. Seharusnya Adira bersaing dengan Ona, teman kelasnya, untuk menjadi orang pertama yang menonton MV. Bersaing dengan jutaan orang di dunia. Namun, semuanya hanya wacana ketika Kanaya, kakaknya, menyuruhnya untuk segera menggarap revisian skripshit agar mereka bisa merayakan ulang tahun pacar Kanaya dengan tenang besok malam.
Padahal tanpa mengerjakan revisian pun, Adira bisa tetap menghadiri perayaan ulang tahun dengan tenang.
Namun, daripada memperpanjang perdebatan dengan saudara tercintanya itu, Adira memilih mengalah. Toh tidak ada salahnya mengerjakan revisian. Lagian Adira juga tidak mau menjadi penghalang bagi Kanaya yang ingin segera wisuda. Janji mereka dulu, ingin wisuda bersama, begitu.
“Cowok lo jadi pengisi acara ulang tahun fakultas minggu depan?”
Suara Sandra membuat Adira tiba-tiba terduduk. Pacar? Maksudnya Kaldera? Kok Adira tidak dikabari jika Kaldera akan tampil di kampus? Padahal semalam mereka telponan sampai jam dua pagi. Telponannya dimulai dari pukul 10 malam kok. Jadi hanya lima jam saja.
“Lo tau dari mana?” tanya Adira penasaran.
“Gunanya ada grup itu dibuka Adira sayang. Itu tuh rame dibahas dari siang tadi. Lo masa gak tau sih? Lagian emang Kaldera enggak cerita?” balas Sandra.
“Kok lo manggil cowok gue tanpa embel-embel Kakak sih? He is older than us!”
Sandra menutup laptopnya usai ikut menyerah seperti Adira tadi. “Nama cowok lo udah mewakili panggilan Kakak tau. Kaldera. KA LDERA. Ngerti? Bukan salah gue dong. Lagian nama panggilan cowok lo memang Alder, ‘kan. Kaldera, selesai.” Sandra mengusap kepala Adira lalu mendorongnya dengan satu jari telunjuknya.
Adira tidak terima. Ditariknya jari Sandra yang tadi mendorong kepalanya lalu menggigitnya. “Rasain! Enak aja tonyor-tonyor kepala gue.”
“Lah, giliran yang megang tuh kepala Kaldera aja lo kayak anak kucing, sok manis!”
“Love language gue emang physical touch! Wajar gue suka sentuhan!” balas Adira tidak mau kalah. Dalam segala perdebatan selain dengan orang tuanya, Kanaya, dan Kaldera, Adira tidak boleh kalah dalam pembicaraan.
Sandra mengerlingkan matanya usil. Didekatinya Adira yang masih menatapnya tajam. “Suka sentuhan, Neng? Udah disentuh di bagian mana aja sama Abang Kaldera?”
“Allahu akbar!!!! Pikiran lo minta di sekolahin nih! Bodo ah! Gue kesel sama lo!” Adira berujar sambil berlari menuju kamarnya.
“Adira! Pipi lo merah banget! Udah sejauh aja physical touch lo sama Kaldera?!” Sandra mengikuti Adira hingga ke kamarnya. Sandra bahkan menggoyangkan badan Adira yang kini tengkurap sambil memainkan ponselnya. “Udah tahap yang ehem, kah?” Sandra makin gencar menggoda sahabatnya ini,