Gethora

Adi Putra
Chapter #2

2 Drohegan

Suara jeritan seekor burung Drohegan menyadarkan Zaeres dari lamunan. Ia menghela nafas panjang, menutup ingatan yang memilukan rapat-rapat. Ia menggeser dirinya sambil memperhatikan burung itu bersikejar dengan burung lain untuk menangkap seekor belalang.

Burung Drohegan memiliki bulu yang sangat mempesona dengan tubuh sebesar elang. Warna merah dan jingga mendominasi bulu-bulunya selain biru, hijau dan hitam. Terdapat sepotong bulu panjang dengan batang yang lentur di kedua ujung sayap dan tujuh di antara bulu ekornya. Mahkota api yang menggantung di atas kepala, menandakan dirinya berasal dari klan api dan satu-satunya yang tersisa.

Ia ditemukan Zaeres masih dalam bentuk telur, tersangkut di antara akar-akar yang membuhul.

Setelah proses yang menyakitkan, roh Zaeres berhasil keluar dari jasadnya. Jasad itu tak lagi seonggok daging yang tak berguna, melainkan sebatang kayu berakar saling memilin. Ia takkan pernah melihat keganasan sihir Aghnort jika tidak cepat-cepat keluar dari jasadnya. Batang kayu itu luar biasa besar, mungkin mencapai besarnya gunung yang menjulang. Ia tak lagi melihat langit, karena semuanya gelap. Ia menduga semua batang kayu dari jasad-jasad korban, bertaut membentuk daratan di atas sana. Ia pun pergi ke atas untuk mencari tahu, sekaligus mencari roh-roh korban yang berhasil selamat. Di atas sana, ia hanya menemukan hamparan akar yang menakutkan dan sebutir telur. Ada kehidupan di dalam telur itu. Sekian lama ia merawat, telur itu tak kunjung menetas. Kemudian ia menggunakan kekuatan sihirnya untuk membuat telur itu menetas.

Berkat sihir Zaeres, Rhoa dapat hidup lebih lama dan memiliki kemampuan perubahan wujud dalam skala tiga. Artinya, perubahan wujud hanya bisa dilakukan tiga kali dalam setahun, tidak termasuk perubahan dasar dalam bentuk api. Pesona burung Drohegan akan terlihat ketika kecepatan terbangnya meningkat. Bulu panjang mengeluarkan percikan-percikan api sesuai warna bulunya. Hal inilah yang membuat Zaeres memberikannya nama, Rhoa.

Zaeres tersenyum melihat Rhoa melayang, kejar-kejaran dengan burung lain, memburu seekor belalang besar.

“YUHUI…!KAU MANGSAKU!” Terdengar suara Rhoa berteriak, melakukan manuver, mendahului burung-burung lain. Percikan api yang terlepas membentuk jalur dan menguap sebelum jatuh di hamparan bunga.

Belalang melompat-lompat ketakutan, menyelinap di balik sela-sela rumput liar setinggi pinggang.

“Dapat kau!”

Belalang mengeluarkan seruan tertahan ketika cakar-cakar tajam mencengkramnya.

“AKU PEMENANGNYA, YEAY!”

Rhoa berteriak kegirangan. Sakingnya girangnya, ia tak menyadari jika dirinya sudah seujung kuku dari Zaeres. Percikan api seketika padam seolah sedang melewati kabut dingin ketika menabrak Zaeres hingga tembus.

Belalang cepat-cepat kabur sebaik terlepas dari cengkeraman. Lompatannya lebih jauh dan lebih tinggi dari sebelumnya.

“Ma…maafkan aku, Tuan.” Rhoa kepak-kepakan sayap di udara, cemas.

Zaeres membeku, pejamkan mata. “Rhoa,” katanya lirih dengan suara berdentang dan bergema, “Aku lelah.”

Lihat selengkapnya