Gethora

Adi Putra
Chapter #3

3 Benda Berdetak

Dan waktu pun berhenti…

Benar-benar berhenti. Semua mematung, seolah tangan-tangan tak kasatmata menahan gerakan setiap makhluk hidup yang ada, termasuk para roh yang bergentayangan. Daun-daun yang gugur menggantung pucat di udara. Hampa, tak ada kehidupan. Udara ataupun angin seolah mati dan menunjukkan bangkainya berupa garis-garis tipis bening, berserakan sangat rumit. Awan yang membeku seolah menjadi perangkap bagi kawanan burung yang melintas di sana.

Beberapa saat kemudian, makhluk hidup termasuk roh kembali bergeliat. Mereka menghirup udara yang telah bangkit dari mati surinya. Dedaunan yang gugur jatuh mencium tanah, bergabung bersama dedaunan busuk, disambut oleh ulat-ulat yang bersuka cita. Gumpalan awan mempersilakan matahari menyinari kehidupan. Secara keseluruhan, semua kembali normal. Hanya saja, tak ada yang mengingat kejadian itu kecuali para binatang berinsting peka.

Dahi Zaeres mengerut, mereka-reka kejadian barusan. Ingatannya tak pernah sekabur sekarang, seolah tirai tak kasatmata menutupinya. Aneh, pikirnya. Rhoa pergi meninggalkan Zaeres, bergabung bersama kawanan burung, terbang menuju utara ke wilayah Latierra.

“Ada apa dengan mereka?” gumam Zaeres.

Seekor ular Diledic melintas di sela-sela rumput. Gerakannya terburu-buru seolah ada pemangsa memburunya. Ular itu bergerak ke utara mengikuti arah kepergian kawanan burung. Tubuh Zaeres menguap dan melayang, mengejar Diledic, lalu merasukinya.

Selama berada di Ghoylder, Zaeres tak pernah menampakkan diri secara terbuka kepada penghuninya yang berkaki dua. Hewan dan benda mati, terutama akar, selalu digunakannya untuk berpindah tempat. Cara itu merupakan cara efektif dan aman untuk menghindari kontak langsung dengan para penduduk. Ular merupakan hewan favorit yang sering ditumpanginya. Selain mirip akar yang merupakan unsur pembentuk Ghoylder, ular lebih gampang dikendalikan dibanding hewan lainnya.

Diledic mengejang sebelum Zaeres menguasainya. Diledic meliuk-liuk dan menjalar di antara rerumputan dengan kecepatan tak biasa, mengikuti arah kawanan burung pergi.

Di kaki bukit pembatas, Diledic berhenti. Kepalanya mendongak, memeriksa dinding bukit. Banyak celah yang dapat dimasukinya di sana. Sebelum ia melanjuti perjalanan, seekor burung Haelmer[2] dengan sigap menyambarnya. Diledic menggeliat di cengkraman Haelmer. Namun melihat Haelmer bergabung bersama kawanannya menuju utara, ia berhenti menggeliat sambil menikmati penerbangan gratis.

Mendekati hutan Carvem, Haelmer terbang rendah di antara pepohonan. Tubuh Diledic berkali-kali membentur ranting dan dahan, bahkan nyaris sangkut di sela-selanya. Tak tahan dengan benturan, Diledic menggigit kaki Haelmer dengan bisa berkadar rendah hingga dirinya terlepas dari cengkraman.

Diledic terjatuh di atas tumpukan daun dan ranting lembab, di antara kaki hewan yang melintasi hutan dengan berlari. Hewan-hewan itu sama sekali tak mempedulikannya. Takut pun tidak. Padahal Diledic salah satu ancaman terbesar bagi hewan-hewan darat dan satu dari sekian banyak pemangsa yang ditakuti. Kepala lonjong yang dipenuhi tanduk-tanduk kecil menoleh ke belakang. Di antara para hewan, ia melihat seekor Paeross putih ditunggangi orang bermantel tudung, melaju dengan kecepatan tinggi. Diledic cepat-cepat masuk ke celah akar dan berdiam sebentar di sana.

Unsach! Siapa dia?” Diledic keluar setelah derap langkah menjauh. Ia tak sempat melihat wajah si penunggang. Hanya kibaran ujung mantel saja yang terlihat.

“Siapa pun dia, pasti mengetahui sesuatu.”

Diledic mengikuti diam-diam penunggang Paeross menuju lapangan kecil di tengah hutan. Para hewan telah berkumpul mengelilingi lapangan. Rhoa juga terlihat bersama beberapa ekor burung yang bertengger di dahan dan ranting pohon Elleke. Untuk memastikan status penunggang, Diledic merayap ke pohon—sangat hati-hati sekali, dan bergelantungan di dahannya.  

“Apa itu?” gumam penunggang diikuti seruan tertahan para hewan.

Lihat selengkapnya