Dinaya mengoleskan selai blueberry di rotinya. Senyuman manis tidak lepas dari bibir ranum berwarna peach itu. Ia tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Hanya karena satu kalimat, dan Dinaya merasa hidupnya kembali bergairah. Dan semua itu karena satu lelaki. Sean Yudha Auriga.
Dinaya jadi membayangkan bagaimana jika mereka berdua menikah. Pasti akan sangat membahagiakan. Memiliki anak yang lucu-lucu, pastinya. Dinaya jadi memikirkan bagaimana ramainya suasana rumah mereka nanti.
Dimulai dengan pagi hari yang cerah, Dinaya akan bangun lebih awal hanya untuk memasak sarapan untuk suaminya. Lalu Sean muncul secara tiba memeluk pinggang rampingnya dan berbisik halus, "kenapa tidak membangunkanku, hem?"
Pipi Dinaya akan memerah dan berusaha menjauhkan tangan Sean yang melingkar di pinggangnya. Namun, Sean tidak mau melepaskannya dan merengek manja. Morning kiss.
Namun, saat akan melakukan ritual itu, suara anak mereka akan menganggu kegiatan itu. Sean akan menggerutu dan hal itu pasti sangatlah lucu. Dinaya tidak bisa membayangkan bagaimana jika Sean beradu argumen dengan sang anak hanya karena menginginkan pelukan darinya.
Setelah sarapan, Dinaya akan menyiapkan baju Sean sementara suaminya itu sedang mandi. Tak lupa ia juga harus mengurus anak mereka yang akan berangkat sekolah. Setelah urusan suami dan anaknya telah beres, barulah Dinaya mengurus dirinya sendiri. Itulah kebahagiaan masa depan. Hal yang diimpikannya. Sejak dulu.
Dinaya tersenyum kecut. Benarkah semua itu akan terjadi? Namun, ia tidak ingin memikirkan hal yang buruk. Lebih baik berfikir positif dan mulai merencanakan cara lain untuk menarik hati Sean untuknya.
Dinaya Andira Vela. Budak cinta alias bucin Sean dari SMA. Gadis yang tidak akan segan-segan mem-bully siapapun yang mendekati pangerannya. Ia akan membasmi mereka hingga tidak ada yang berani mendekati Sean. Sean adalah miliknya. Mutlak. Miliknya.
Tapi lagi-lagi Dinaya harus menghela napas berat. Sean tidak akan pernah menjadi miliknya. Mutlak. Tidak akan pernah. Setelah apa yang ia perjuangkan sampai saat ini, sepertinya sia-sia. Sean ... telah menunjukkan kebenciannya terlalu dalam.
Dinaya menghapus air mata yang ia keluarkan. Lalu kemudian suara tawa sumbang terdengar. Dia sedang apa? Dia tertawa dan menangis secara bersamaan. Dia gila. Ya, gila karena seorang Sean Yudha Auriga. Lelaki itu telah merenggut masa mudanya. Masa muda yang seharusnya dihabiskan untuk jatuh cinta dengan kisah indah. Sean telah menghancurkannya.
"Gue benci lo. Lebih baik lo mati!"
Kalimat itu. Terdengar indah, bukan? Dinaya kembali tertawa lagi. Benarkah kalimat itu membuatnya bahagia dan semakin bergairah untuk menikmati hidup?
Untuk pertama kalinya, seorang Sean meminta sesuatu padanya. Dan permintaan itu harusnya benar-benar ia kabulkan, benar? Ia harus mati, seperti yang Sean inginkan. Dia ingin melihat Sean bahagia. Ah, tapi dia tidak bisa melihatnya karena ia akan mati.
"Seperti yang kamu mau, Sean. I'll kill myself for you."
###
Seperti biasanya, Sean akan mendekati wanita yang menjadi targetnya dengan senyuman andalannya. Senyuman mematikan yang bisa membuat para wanita lupa akan dirinya sendiri. Membuat para wanita tergila-gila padanya.
Sean menyandarkan tubuhnya di kursi. Seorang wanita dengan pakaian minim yang duduk di pojok cafe terus memandang ke arahnya. Sean lagi-lagi menampilkan senyumannya. Seolah mengajak wanita itu untuk mendekat padanya.
Dan benar saja! Wanita itu benar-benar beranjak dari kursinya. Sean sebenarnya tidak peduli, tapi siapa tahu wanita itu berbaik hati untuk membayar makanannya, kan? Berbekal wajah okenya, ia bahkan bisa mendapat sebuah mansion, mungkin. Bolehkah Sean merasa sombong sekarang?
Namun, tiba-tiba pandangannya terhalang oleh sesosok berbaju putih yang membuat Sean mau tak mau mendongak. Ia sedikit kaget melihat sosok itu.
Wanita itu ....
Sean baru saja akan berteriak, tetapi mulutnya lebih dahulu dibekap dengan jari-jari lentik milik wanita berpakaian serba putih itu. Mata tajamnya seolah menusuk mata Sean. Tanpa dibekap pun, mungkin Sean tidak sanggup berbicara.
Melihat ketidakberdayaan Sean, wanita itu melepas bekapannya dan duduk dengan tenang di kursi depan Sean. Wanita yang tadinya menjadi incaran Sean akhirnya tiba di depan Sean. Wanita itu duduk tepat di tempat wanita berbaju putih tadi. Ya, duduk di sana menghilangkan sosok berbaju putih yang kini berpindah ke sebelah Sean.
Sean melirik ke sebelahnya, wanita itu tersenyum mengerikan. Ia meneguk saliva dengan susah payah, seolah saliva itu membentuk kerikil yang menyangkut di tenggerokan. Hawa dingin yang menusuk pori-pori kulit Sean memberikan efek panas dingin.
"Hei!"
Sean tersentak kaget dan mendapati wanita berbaju minim tadi yang kini tersenyum padanya. Wanita itu mengulurkan tangannya. Hendak berkenalan, maksudnya.
"Aku Veronica, kamu bisa pangg--"
"Maaf, aku ada urusan mendadak," potong Sean lalu buru-buru beranjak dari kursi. Wanita tadi merasa tersinggung dengan sikap Sean.
Bukannya Sean melarikan diri dari wanita tadi, ia hanya menghindari amukan dari wanita berbaju putih yang kini melayang di udara.