"Lo ngerusak hari gue!"
Sepanjang perjalanan, Ren hanya mengucapkan kalimat yang sama. Tidak bisa dipungkiri bahwa baik Sean maupun Yeni cukup jengkel dengan hal itu. Ren benar-benar tidak ikhlas mengantar mereka.
Tadinya Yeni ingin pulang sendiri, tetapi Sean menawarkan pulang bersama. Seolah Ren hanyalah seorang supir. Padahal jelas, hal itu membuat Ren harus memiliki lebih banyak waktu yang disia-siakan untuk mengantar sepupunya yang berlainan arah dengan rumah Sean.
Ren baru saja akan mengulang kembali kalimat yang sama, Yeni lebih dulu memukul kepalanya. Ampuh ternyata. Lelaki itu langsung diam. Suasana di dalam mobil menjadi sunyi.
Sean memang tidak berminat untuk mengangkat obrolan apapun. Dirinya larut dalam keheningan. Matanya tidak sekali pun teralihkan dari jendela. Menikmati rintikan hujan yang membuat suasana semakin dingin menusuk kulit.
Yeni yang duduk di jok depan sedari tadi memperhatikan Sean dari kaca mobil. Sean terlihat ... depresi?
Yeni ingin mengajak Sean berbicara, tapi ia sedikit segan. Dari awal pertemuan, keduanya memang masih canggung satu sama lain. Jadi, ia rasa lebih baik membiarkan Sean larut dalam lamunannya. Ia belum berhak bertanya apapun mengenai Sean.
Sementara Sean masih larut dalam lamunan, sebuah sentuhan halus di pundaknya membuat lamunan itu buyar seketika. Sean menoleh ke sebelahnya. Wanita itu ... ada di sana.
"Merindukanku, heh?"
Sean membelalakkan matanya. Apa yang dikatakan wanita itu? Ia merindukannya?
"Mana mungkin!"
"Aku sudah ada di sebelahmu, jadi jangan rindu lagi," kekeh wanita itu seraya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Pipinya memerah, tanda bahwa dirinya merasa malu.
Sean sedang menahan dirinya agar tidak berteriak mengatakan bahwa wanita itu bukanlah objek yang ia lamunkan. Ia tidak mau dikira gila oleh Ren dan Yeni. Sudah cukup dengan ketidakwarasannya saat pertama kali mereka bertemu. Tapi tidak untuk kali ini.
"Yeni itu ... kayaknya mau balikan sama kamu."
Sean mengernyitkan keningnya dengan tatapan bingung. Lantas mengalihkan pandangannya ke arah Yeni yang mungkin sedang terlelap. Lalu ia kembali menatap wanita berbaju putih di sebelahnya itu. Ia menaikkan sebelah alisnya, seolah bertanya apa maksud wanita itu.
"Kamu gak akan kasih kesempatan Yeni untuk dapatin kamu lagi, kan?"
Sean benar-benar bingung sekarang. Wanita itu mendengus lalu bersedekap di depan dada.
"Aku gak akan biarin itu terjadi. Dari awal kamu adalah milikku," tekan wanita itu.
Sean bergidik ngeri. Bukan hanya sekali wanita itu menyatakan kepemilikan terhadapnya, tapi ribuan kali bahkan mungkin di setiap menit yang Sean miliki.
"Aku bukan barang!" batin Sean kesal.
"Aku gak akan kasih Yeni kesempatan. Sekalipun dia ... sahabatku."
Ada nada sedih di ucapan terakhir wanita itu. Tatapannya menyiratkan sebuah kekecewaan yang Sean tidak tahu untuk apa itu. Kenapa wanita itu jadi terlihat sedih?
Tiba-tiba tangan Sean digenggam oleh wanita itu. Sean sedikit kaget dan ingin menyentaknya, tetapi wanita itu begitu erat mengenggamnya.
Lantas wanita itu tersenyum ke arahnya. Percayalah, senyuman itu sangat mengerikan. Lebih ke seperti sebuah seringai yang biasa dipakai oleh hantu-hantu di dalam TV.
Oh ya, Sean hampir lupa fakta itu. Fakta bahwa wanita di sebelahnya adalah hantu. Menyadari hal itu, Sean merasa tubuhnya gemetar. Padahal di luar sedang hujan, tetapi Sean merasa hawa di sekitarnya menjadi panas. Atau mungkin itu efek tubuhnya yang akan demam?
Jantung Sean ingin melompat keluar tatkala kepala wanita itu menyender di bahunya. Rasanya berat sekali seperti ditimpa batu ukuran besar di pundaknya. Sean hanya bisa pasrah. Semoga perjalanan yang ditempuh tidak jauh lagi.
"Sean ...," panggil wanita itu dengan lirihan pilu.
Lagi-lagi Sean bergidik ngeri. Wanita yang suka berubah-ubah emosi itu terkadang membuat Sean mati rasa di sekujur tubuhnya. Ia menegang di tempat.