Selat Pentland, 23 Februari 1940.
Cuaca cerah. Angin laut menghempas ombak-ombak kebiruan. Kapal selam Kapten Grosse sedang berlayar pelan di kedalaman 70 meter. U-boat tersebut tidak berani muncul ke permukaan laut. Sebuah kapal perang Inggris tengah menyisir area itu sambil membunyikan ASDIC-nya.
Jika U-boat tersebut berani muncul ke permukaan laut, maka meriam-meriam kapal Inggris siap membombardirnya habis-habisan. Meriam U-boat tak bisa menandinginya.
Jika U-boat tersebut tetap berlayar di bawah permukaan laut, maka ASDIC mampu menemukan posisinya. Kapal Inggris tinggal menghujani U-boat itu tanpa ampun dengan bom kedalaman, bom yang dijatuhkan dari atas.
Jika U-boat langsung tancap gas di bawah permukaan laut untuk kabur, itu hanya akan mempermudah ASDIC menemukan posisinya. Kecepatan lari kapal Inggris jauh lebih cepat dalam menghampirinya.
Menembakkan torpedo U-boat ke kapal Inggris itu? Tidak bisa dilakukan di kedalaman seperti ini. Naik untuk mengurangi kedalaman berisiko membuat U-boat terdeteksi ASDIC.
Di dalam U-boat, Letnan Arabel mengucek kedua matanya. Seumur hidup, belum pernah dirinya terjepit masalah serumit ini. Rasanya ingin menangis. Ia sudah tak bisa pergi dari kapal selam yang terjebak ini.
Ah, tapi tunggu dulu. Jika U-boat hanya diam di bawah permukaan laut, menunggu kapal Inggris pergi, bagaimana?
“Hentikan motor listrik. Turunkan kedalaman pelan-pelan. Kita akan diam dan menyaru dengan dasar selat. Selat ini cukup dangkal,” Kapten Grosse dengan tenang memberi perintah pada awaknya. Rupanya opsi barusan yang akhirnya diambil sang kapten.
Para awak U-boat saling berpandangan. Mereka berharap ASDIC musuh akan terkecoh dengan penyamaran itu. Setelah tidak berhasil menemukan U-boat, kapal Inggris tentu pergi.
Rupanya harapan tersebut terkabul. Setelah bolak-balik menyisir area tersebut dengan ASDIC, kapal Inggris tetap tidak menemukan apa pun. Untuk sejenak kapal tersebut hanya bergerak sangat pelan di permukaan laut. Seperti tidak percaya dan putus asa.