Malam yang panjang akhirnya berlalu.
Saat pagi tiba dan matahari bersinar cerah, sepanjang pantai telah dipenuhi oleh orang-orang Inggris. Mereka bercampur aduk. Banyak diantaranya merupakan penduduk desa setempat, sekitar pantai. Berita tentang hancurnya U-boat semalam telah menyebar cepat. Orang-orang datang ke situ karena ingin melihat.
“Tenang, harap tenang!” seorang polisi lokal kerepotan menghadapi penduduk desa, “ini urusan pihak berwenang. Tolong jangan mengganggu penyelidikan.”
Sejumlah polisi lain kemudian berdatangan. Sepeda yang mereka naiki ditaruh begitu saja ke pasir pantai, lalu berlari karena tergesa-gesa. Polisi-polisi itu bergegas menghalangi penduduk desa yang meringsek maju.
Para anggota Royal Navy, AL Inggris, berusaha tidak mempedulikan kehebohan itu. Mereka sedang sibuk bekerja di bibir pantai. Perahu-perahu kecil terlihat berseliweran, datang dan pergi. Mereka mengangkut apa saja dari sisa U-boat yang terbawa arus ke area pantai. Ada pecahan perkakas, perlengkapan lazim sehari-hari, hingga jenazah. Semua dikumpulkan di pantai.
Sebuah mobil Cadillac berwarna hijau kemudian tiba. Mobil itu berhenti tak jauh dari bibir pantai. Dua pria lalu keluar dari mobil. Keduanya berjubah hitam dan memakai topi fedora hitam pula. Bagi orang zaman sekarang, dandanan tersebut mirip anggota gengster di film-film. Namun pada zaman itu, dandanan tersebut biasa saja. Fesyen yang umum bagi pria dewasa.
Kedua pria tersebut adalah anggota MI5, badan kontra intelijen Inggris. Opsir Senior Snyder dan Opsir Junior Carter. Kebetulan keduanya sedang berada di Skotlandia Utara dan mendengar tentang insiden U-boat. Maka bergegaslah mereka kemari.
Setelah berbincang sejenak dengan para anggota Royal Navy, Snyder dan Carter mulai melihat-lihat. Sambil berjalan, Snyder menatap tajam pada barang-barang sisa U-boat yang ditemukan. Di markas MI5 London, pria yang memiliki bekas luka di pipi itu dikenal sebagai petugas yang serius dan angker. Tidak pernah sekali pun tersenyum.
“Sepertinya tidak ada barang yang mencurigakan, Pak,” Carter berkata di sampingnya. Pria itu dikenal lebih humoris dan suka bergaul ketimbang Snyder, “kelihatannya U-boat yang hancur itu tidak mengandung muatan spionase. Jadi tugas kita sudah selesai, bukan? Mari pulang ke London.”
“Jangan bodoh, Carter. Kita belum memeriksa jenazah-jenazah disana,” tunjuk Snyder ke depan, “coba lihat, siapa tahu kita menemukan sesuatu.”
Kedua opsir itu segera mendekati barisan jenazah awak U-boat. Jenazah-jenazah itu ditutupi selimut. Snyder dan Carter lalu membuka selimut satu-persatu untuk melihat.
Para penduduk desa yang berkerumun di kejauhan menggerundel. Mereka ingin ikut melihat tetapi dihalangi polisi. Para penduduk itu penasaran, seperti apa wajah-wajah awak kapal selam Jerman yang meresahkan Inggris itu. Masih segar di ingatan penduduk, betapa tersohornya Kapten Gunther Prien, tidak hanya di Jerman tapi juga di Inggris, setelah kapal selamnya berhasil mengacak-acak Scapa Flow sendirian.
“Ini adalah jenazah sang kapten, Tuan-Tuan,” perwira Royal Navy yang menemani Snyder dan Carter, berkata. Ia membuka selimut yang menutupi jenazah Kapten Grosse, ”kami menemukannya terbaring di pantai dalam keadaan tewas. Sepertinya semalam terbawa arus kemari.”