Arabel menoleh ke belakang. Ditatapnya lekat-lekat pantai tersebut.
Pantai itu melengkung seperti teluk. Garis pantainya sangat panjang. Nun jauh di ujung kiri ada tebing yang terlihat kecil sebagai batasnya, sementara di ujung kanan batasnya tak begitu jelas terlihat saking jauhnya.
Pasir pantai berwarna putih. Air laut di bibir pantai tampak jernih dan berwarna hijau, benar-benar seperti zamrud yang tembus pandang. Namun berangsur-angsur ke tengah laut, warna hijau itu berangsur pula tergantikan oleh warna biru safir. Semua itu di bawah naungan langit berwarna sian yang berangsur-angsur menjadi biru tua. Langit yang bersih tanpa awan.
Arabel termenung. Wajahnya melukiskan kegetiran.
Banyak sudah yang terjadi di laut maupun pantai ini. Tapi ia harus pergi sekarang. Melanjutkan perjalanan ke London. Menjadi mata-mata disana. Ia telah diberi tugas oleh ayahnya dan juga orang-orang di Berlin. Gadis itu telah pula mendapat pelatihan dan menyandang pangkat letnan dua. Spectre (Hantu), itulah nama sandi mata-mata yang diberikan padanya.
Arabel adalah pemain sandiwara berbakat sehingga pandai menyamar menjadi orang lain. Selain itu, ia pernah tinggal lama di Inggris sehingga sangat mirip orang Inggris asli dan tahu betul seluk-beluk negara itu. Itulah alasan-alasan yang sering dikemukakan ayahnya saat Arabel bertanya, mengapa ia yang dipilih menjadi mata-mata.