Suatu hari, di malam yang dingin. Di bawah hujan, seorang perempuan berambut panjang terurai, mengenakan kaos biru dan celana hitam panjang, berlari terburu-buru dengan menggendong anak laki-laki di punggungnya. Melewati jalanan kecil dengan tanah yang mulai melunak, pohon-pohon menari ketika angin mengeluarkan musiknya.
Sesekali sang perempuan menengok ke belakang, memastikan bahwa sosok laki-laki dewasa yang mengejarnya tidak terlihat. Bahkan, terkadang dia menginjak ranting kering, tetapi tetap berlari meski kakinya berdarah. Dia terlihat begitu berantakan dengan napas tersengkal-sengkal dan rasa lelah membuat langkahnya tidak benar. Hal itu membuat anak laki-laki tersebut sedikit bergerak.
“Tenanglah, semua akan baik-baik saja.” Dia berkata dengan menepuk punggung belakang sang anak laki-laki.
Samar-samar, suara laki-laki berusia sekitar 40 tahun terdengar memanggilnya. Akan tetapi, sang perempuan tetap berlari sekuat tenaga hingga melihat jalanan aspal di depan sana. Dia menghentikan langkah saat menginjak jalanan aspal. Dia mengembuskan napas perlahan untuk menenangkan diri. Setelah tenang, dirinya berjalan tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. Dia berjalan hingga dapat menangkap sebuah rumah besar nan tua.
Sang perempuan berjalan mendekati rumah tua yang terlihat seram dengan sedikit penerangan. Besi tua melengkung terpasang dengan papan kayu yang bertuliskan 'Panti Asuhan Mawar'. Perlahan diturunkannya anak laki-laki itu dari gendongan dan mulai mengubah posisi berdiri, membuat kedua lutut sebagai tumpuan. Tangan kanannya terulur untuk menyentuh kepala anak laki-laki. Senyum terlukis di wajahnya saat menatap anak laki-laki yang mengucek mata.
“Lihat Ibu, Astan harus masuk ke rumah besar itu. Nanti, Ibu akan menyusul. Astan mengerti?” Dia memegang wajah Astan—nama anak laki-laki itu. Astan hanya menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti.
Perempuan yang merupakan Ibu Astan berdiri dari duduk bersimpuh. Menatap dengan lembut sepasang mata Astan. Dengan erat dia menggenggam tangan Astan yang kecil nan lembut. Berjalan mendekati gerbang besi, dia perlahan membuka gerbang besi yang tidak terkunci hingga derit nyaring terdengar di tengah hujan. Beriringan dengan suara laki-laki yang terus memanggil namanya.
Dengan napas tersengkalnya, dia menyuruh Astan untuk masuk. Dia menutup rapat gerbang besi dengan terus meminta Astan untuk menjauh. Dia yang melihat Astan mulai menangis, membuatnya duduk bersimpuh di depan gerbang. Memasukkan tangan melewati celah di gerbang. Untuk kedua dan terakhir kali, dia mengusap kepala Astan lembut.
“Astan harus berhenti menangis. Ibu janji, Ibu akan kembali,” katanya pelan dengan senyum kecil di wajah.
“Ibu janji?” Astan bertanya dengan menghapus air mata menggunakan kedua tangan.
“Ya, Ibu janji.” Setelah mengucapkan itu, dia berdiri dan menjauh dari gerbang besi. Akan tetapi, dia menyadari bahwa sosok laki-laki itu telah berdiri di belakang dirinya.