Mereka telah berada di depan gedung bertingkat yang terlihat sangat tua. Mereka berjalan melewati pintu gerbang dan bertemu dengan sang pemilik bangunan. Sang pemilik sedikit menjelaskan mengenai permasalahan gedung. Bahkan terdapat beberapa komplain dari penyewa apartemen. Sebagian dari penyewa juga memilih untuk pindah dari tempat tersebut, tetapi masih terdapat pula yang bertahan tinggal. Setelah penjelasan yang panjang mereka segera masuk ke gedung apartemen.
Semua terasa sangat sunyi tanpa sebuah pencahayaan yang terang. Lampu-lampu menyala dan kembali mati secara bergantian. Semua orang telah berada di kediaman masing-masing dan memilih untuk mengistirahatkan diri. Bersama dengan kedua temannya, Rei menyusuri setiap lantai apartemen. Mereka juga menempelkan sebuah kertas berisi tulisan mantera, agar para roh tidak mengganggu apartemen yang terdapat penghuninya.
Beberapa menit berlalu dan mereka telah menempelkan semua mantera. Mereka mulai berpencar untuk mencari sosok hantu yang suka mengganggu. Di tengah-tengah kesunyian malam dengan sesekali terdengar suara kendaraan. Rei berada di lantai sepuluh dan seorang diri.
Mereka saling berkomunikasi dengan menggunakan headset HT berwarna hitam yang terpasang di telinga masing-masing. Beberapa menit telah berlalu, tetapi yang ditunggu belum juga muncul hingga udara sekitar seketika berubah menjadi sedikit panas.
Rei memberikan instruksi kepada kedua temanya untuk lebih berhati-hati dan meningkatkan kewaspadaan, hingga suara langkah kaki sangat menggema di tengah kesunyian ini terdengar. Rei berjalan menjauh dari tempatnya berdiri menuju sebuah anak tangga. Menaiki anak tangga satu per satu dengan pelan sambil mendengarkan langkah kaki yang terdengar seperti menjauh dari lantai sebelas dan terus naik hingga berada di lantai empat belas.
Suara langkah itu seketika tidak terdengar dan hanya udara kecil yang menyentuh kulit tangan Rei. Rei melihat sekeliling yang telah dipenuhi dengan kabut hitam sedikit keabu-abuan. Rei bersiap dengan pedang yang berada di tangan kirinya dan akan ditarik oleh tangan kanan.
Tidak berselang lama, terlihat sosok bayangan besar berwarna hitam tengah berjalan menuju lorong tempat Rei berdiri. Sosok tersebut berhenti tepat di jarak sepuluh meter dari posisi dia berdiri. Rei memperhatikan sosok itu dengan wajah serius dan memberikan informasi kepada kedua teman satu timnya, dia mulai menarik pedang dari tempatnya dan akan bersiap untuk menyerang. Akan tetapi, sosok tersebut menghilang dengan cepat. Kini telah berada tepat di depan Rei yang hanya berjarak 30 centimeter saja.
Dengan hitungan detik, sosok tersebut mengarahkan tangan kanan yang mengepal tepat berjarak satu centimeter dari perutnya. Hal itu membuat Rei terpental jauh dari tempatnya berdiri, hingga terbentur dinding baja dan terjatuh dengan memegang perut yang kesakitan. Suara kedua teman Rei terdengar begitu sangat mengkhawatirkannya. Dengan sangat sulit Rei mencoba untuk berdiri. Dia menarik pedang dengan cepat, sebuah pedang berwarna perak dan begitu menyilaukan di tengah gelapnya malam. Sosok tersebut seketika berubah diri menjadi menyerupai manusia.
“Sepertinya dia berada di level dua,” ucap Rei yang tetap berdiri dengan penuh kewaspadaan.
“Aku tidak dapat ke sana, di sini juga ada satu sosok.” Salah satu dari mereka menjawab di tengah-tengah pertarungan.
“Di sini juga,” jawab yang lainnya.
“Ha, aku kira yang akan datang lebih kuat dariku. Ternyata kamu masih di bawahku,” ucap sosok tersebut.