Namun, untuk mendapatkan makan siang di kediaman Bhiaka tidak lah mudah. Mereka harus membersihkan seluruh rumah yang berada tepat di belakang kedai mi. Dua jam berlalu dan mereka telah menyelesaikan tugas bersih-bersih. Dengan wajah senang mereka duduk di kedai mi dan menyantap dua mangkok mi bumbu ayam. Setelah perut terisi penuh, mereka kembali ke perpustakaan untuk membaca buku-buku lagi.
Mereka menghabiskan sisa waktu siang hingga malam telah menjemput. Astan memasang senyum di wajah saat menyelesaikan semua buku di depannya. Sedangkan Endra membereskan semua buku-buku yang dibacanya. Mereka menyusuri jalanan malam yang sunyi. Sepanjang perjalanan, Endra terus mengoceh mengenai gurunya dan merasa kesal.
“Kenapa aku juga harus ikut membaca di perpustakaan, kamu yang akan dilatihnya bukan aku. Aku doakan, kamu akan baik-baik saja dilatih olehnya.” Endra berucap dengan menepuk punggung Astan beberapa kali.
“Apa Guru Bhiaka semenyeramkan itu?” tanya Astan.
“Dia banyak bicara, tapi jika sedang serius. Dunia akan hancur,” jawab Endra sangat melebih-lebihkannya. Astan yang mendengar Endra berkata seperti itu, hanya memamerkan tawa kecil.
“Kenapa ketawa? Aku serius,” ucap Endra kembali dengan wajah cemberutnya.
“Aku tahu, kamu sangat menyayanginya. Dari cara kamu berinteraksi dan bercerita tentang Guru Bhiaka. Sepertinya dia seperti sosok Ayah bagimu,” ucap Astan dengan menatap langit malam tanpa bintang.
Mereka telah sampai di halte bus dan berpisah dengan menaiki kendaraan berbeda. Astan hanya duduk diam di paling pojok, tempat di mana dapat melihat seluruh isi bus. Setelah melewati beberapa pemberhentian, Astan keluar saat bus berhenti di distrik B-4. Astan berjalan dalam diam tanpa memasang ekspresi apa pun, hingga dia merasa ada yang mengikutinya.
Namun, Astan tetap berjalan dalam tenang dan berpura-pura tidak menyadari bahwa dirinya tengah diikuti. Astan berhenti saat menangkap sosok laki-laki berpakaian jubah merah hati berjalan menuju dirinya. Sedangkan dari arah belakang, seorang perempuan berambut panjang pirang berlari ke arah Astan dan berdiri di samping kirinya.
“Padahal kita akan mengajakmu untuk bergabung di organisasi kita, tapi kamu sudah bergabung dengan G-Hunt. Ha, aku tidak akan mendapatkan bonus kalau seperti ini. Semua ini gara-gara si Taine, dia terlalu santai.” Perempuan itu berceloteh dengan memasang wajah cemberut. Sang perempuan memutar badan dan melihat raut wajah Astan yang hanya diam.
“Apa kamu takut kepada kami?” tanya sang perempuan, tetapi Astan sama sekali tidak menimpali atau menjawabnya. Laki-laki dengan jubah merah hati itu berhenti sekitar dua meter dari posisi Astan berdiri, dia juga meminta sang perempuan untuk berdiri di dekatnya.
“Sepertinya kamu tidak takut sama sekali, tenang saja. Kami tidak akan melakukan apa pun. Aku di sini hanya untuk mengecek orang yang harus direkrut. Sangat disayangkan, kamu sudah bergabung dengan mereka. Entah kenapa, aku sangat senang saat kamu tidak jadi direkrut.” Laki-laki tersebut berkata dengan senyum senang di wajah.
“Kak. Taine, tidak seharusnya Kakak senang. Kita tidak bisa mendapatkan bonus,” ucap sang perempuan dengan wajah cemberut.
“Uang bisa dicari,” timpal sang laki-laki yang bernama Taine.
“Bonusnya sangat tinggi, bahkan kita bisa bayar apartemen untuk enam bulan.” Sang perempuan kembali berkata tanpa mau mengalah.
“Ya sudah, kita bujuk dia untuk masuk ke organisasi kita.” Taine akhirnya menyerah dengan keputusan yang telah dia pikirkan sejak awal.