Cakara yang masih memasang wajah bingung, dia memberikan tatapan penuh tanya. Yeni yang tengah berdiri tepat di samping Endra memberikan petunjuk dengan menggunakan kepala. Menunjuk Lusya dan Ai yang tengah duduk dengan memberikan tatapan kepada Cakara.
“Ah, ada tamu. Tunggu, sepertinya aku pernah melihat kalian. Tapi di mana ya?” ucap Cakara bertanya kepada diri sendiri. Beberapa saat Cakara berpikir dengan sangat keras, hingga dia mengingat sesuatu.
“Ah, aku pernah melihat kalian. Beberapa waktu yang lalu, di depan apartemen. Lebih tepatnya perempuan ini,” ucap Cakara menunjuk Ai dengan tangan kanan. Setelahnya, terdengar sebuah musik yang amat sangat merdu. Yang entah datangnya dari mana, tetapi Lusya memandang Ai dengan cepat.
“Apa yang kamu lakukan? Hentikan nyanyianmu!” perintah Lusya. Akan tetapi, hal tersebut sama sekali tidak berguna. Ai hanya tertawa kecil saat mendengar perintah yang Lusya katakan.
“Senior, kamu terlalu naif. Bekerja menjadi agen ganda, tapi tidak ingin membunuh. Aku benar-benar sangat muak, kedua orang tua dan Kakak angkatnya meninggal, itu sudah takdir mereka. Aku dan Reje melakukan semua ini. Tidak, lebih tepatnya. Aku hanya membunuh Bena karena dia mengganggu. Sedangkan Rei. Itu adalah misi yang berbeda, Lusya tidak ambil dalam hal ini.” Ai menceritakan yang sebenarnya terjadi.
“Dan mengenai Ayah dan Ibumu, bukan kami yang melakukannya. Tugas kami hanya membawa kalian ke kediaman Pak Bhirya. Laki-laki tua itu,” ucap Ai melanjutkan ceritanya.
“Lalu, apa maksud dari ‘dia ada di sini’? Bukankah itu artinya, kamu yang membunuh Ayah dan Ibuku?” tanya Astan kembali dengan memasang wajah serius.
“Aku hanya saksi. Saat itu, harusnya memang aku yang mendapatkan pekerjaan tersebut. Tapi aku menolak dengan keras. Setelahnya, tim kami mendapatkan pekerjaan lain untuk membawa kembali Ayah dan Ibumu. Tentu, begitu pula denganmu. Tapi pak tua itu terus menghalangi pekerjaan kami dan dia memerintahkan yang lain untuk membunuh kalian. Kami meminta maaf, untuk kegagalan pekerjaan kami dalam membawa dan menyelamatkan kalian.” Lusya bercerita begitu panjang dan mengakhirinya dengan membungkukkan kepala.
“Sekarang, aku tidak tahu mana yang benar dan salah. Kalian bisa pergi sekarang,” ucap Astan dengan wajah lemah, kaget, bingung, dan marah.
Astan berjalan meninggalkan mereka semua dan berjalan menuju kamar tidurnya. Endra yang mengerti keadaan saat ini, hanya meminta Lusya dan Ai untuk pulang. Setelah kepergian mereka, Endra menghampiri Astan yang tengah terduduk di bangku belajar. Dirinya memberikan beberapa kata patah dan saran sebelum benar-benar meninggalkan Astan seorang diri.
Setelah kepergian Endra, Astan mencoba untuk mencerna semua perkataannya. Tidak perlu memaksa untuk mengembalikan ingatannya yang menghilang. Semua ingatan masa itu akan pulih jika telah tiba waktunya, Astan hanya perlu terus berusaha tanpa memaksa dengan keras. Astan berjalan menuju ranjang dan membaringkan badan dalam tenang. Mencoba tertidur di tengah-tengah permasalahan dirinya.
Namun, saat Astan terlelap dalam tidurnya. Hal aneh terjadi, Astan yang hendak bangun untuk pergi ke kamar mandi. Dirinya tidak dapat menyentuh gagang pintu kamar. Saat Astan membuka mata dengan lebar dan sempurna. Dirinya berteriak yang dibarengi dengan mundur beberapa langkah. Hal tersebut membuat Cakara yang masih terjaga muncul di depannya.