Beberapa jam telah berlalu dengan cepat. Sekarang jam menunjukkan pukul 21.00 sore hari. Semua pelayan sibuk membersihkan kamar dan mempersiapkan acara makan malam, sedangkan para pemilik rumah tengah berada di ruang keluarga, berbincang dengan riang. Setelah puas, Ayah Synta yang bernama Siahn meminta waktu untuk berbicara berdua dengan tetua. Setelah kepergian tetua dan Siahn, para anggota keluarga meninggalkan ruang keluarga. Begitu pula dengan Synta yang telah berada di kamar.
Wajah gugup dan gelisah tidak dapat disembunyikan. Membuat Astan yang menonton aksi jalan mondar-mandir Synta, terheran-heran. Meski Astan mengetahui perasaan gugup dan gelisah yang Synta tunjukkan. Beberapa menit mereka hanya duduk diam di dalam kamar Synta hingga ketukan pintu terdengar. Synta segera membukanya dan terlihat asisten pribadi Siahn.
“Tuan meminta nona dan laki-laki itu untuk menghadap,” ucap sang asisten dengan wajah seriusnya.
“Baiklah.” Synta mengiyakan dengan cepat.
Sesudah kepergian asisten tersebut, Synta memberitahu Astan tentang permintaan ayahnya. Tidak lupa, Synta juga meminta Astan untuk diam dan biarkan dirinya yang berbicara. Setelah mempersiapkan diri, mereka bergegas menuju ruangan pribadi Siahn. Mereka duduk dengan menundukkan kepala dan kedua tangan di atas paha.
“Apa kabarmu, Synta?” tanya Siahn basa-basi terlebih dahulu.
“Aku baik, bagaimana dengan Ayah?” tanya balik Synta.
“Aku baik. Apa dia penjaga pribadi barumu? Biasanya kamu selalu datang dengan Endra,” tanya Siahn.
“Ah, itu. Endra sedang mendapatkan pekerjaan lain, jadi, dia mengirim anak ini untuk menggantikannya.” Synta menjawab dengan senyum di wajah.
“Biasanya, kamu akan datang sehari setelah aku datang. Apa ada sesuatu yang mendesak? Sampai kamu datang ke sini. Bukankah aku sudah bilang untuk tetap hidup bersembunyi. Jika kamu tidak ingin tinggal di pulau ini. Maka, tetap di dalam organisasi itu. Jangan terlalu sering menginjakkan kaki di sini,” ucap Siahn. Hal tersebut membuat Synta terdiam seribu kata, hingga detik kemudian dia membuka suara. Membalas perkataan Siahn yang tentu sangat menyakiti hatinya.
“Menurut Ayah, kenapa aku memberontak? Semuanya karena perlakuan kalian. Kalian hanya peduli dengan pandangan orang lain, dan kekuasaan.” Synta berhenti sejenak dengan mengangkat kepala, memberikan tatapan penuh kemarahan kepada Siahn.
“Meski kami lebih memiliki darah Suku Paua, tapi kami dan suku Paua tidaklah seperti itu. Ayah bahkan tidak pernah mengetahui kebenarannya, tapi seakan mengetahui segalanya. Ribuan tahun yang lalu, bukan karena kami. Bahkan kami memiliki salinan hasil investigasi yang dilakukan seseorang di masa lalu.” Synta kembali melanjutkan ucapannya dengan tetap menatap Siahn.
“Aku memang tahu kebenarannya, tapi apa yang bisa kita lakukan? Seseorang dengan darah suku Paua yang hanya dipandang sebelah mata. Kamu akan tahu dan mengerti jika menjadi tetua di pulau ini. Aku punya rencana besar untuk pulau ini,” ucap Siahn dengan mengambil cangkir berisi teh dan menyeruputnya sedikit.