Adli duduk dengan tegang di salah satu sudut restoran VIP yang tenang, menunggu tamunya dengan banyak pikiran. Lampu-lampu gemerlap di sekitar ruangan menciptakan atmosfer yang mewah, tetapi pikiran Adli tidak bisa merasakannya. Dia benar-benar merasakan kegugupan yang amat sangat membuatnya tidak tenang.
Tidak lama kemudian, pintu restoran terbuka, dan seorang pria misterius dengan rambut hitam bercampur dengan putih panjang melangkah masuk. Dia adalah Siahn, seseorang yang sangat dikenalnya. Mereka berdua saling bertukar pandang sebelum Siahn menghampiri meja Adli. Adli memperhatikan wajah Siahn yang tampak tenang dan misterius. Tidak ada ekspresi yang jelas terbaca dari raut wajahnya. Siahn duduk di hadapan Adli, dan suasana yang tegang langsung terasa.
"Terima kasih telah datang," kata Adli dengan suara yang tenang, mencoba untuk memulai pembicaraan dengan baik.
Siahn hanya mengangguk sekilas sebagai tanggapan. "Apa yang kamu ingin tahu? Dan inginkan?" tanyanya dengan nada yang dingin.
Adli mulai menjelaskan detail kasus pembunuhan yang baru saja terjadi, berharap Siahn bisa berhenti untuk melakukan rencana buruk dan brutal itu.
"Aku ingin menghentikan pembunuh tersebut sebelum lebih banyak nyawa yang hilang, tapi tidak bisa. Ini satu-satunya cara yang harus dilakukan, tidak ada cara lain." Siahn tetap dengan apa yang direncanakan.
Adli mencoba memohon. "Tolong, aku bisa membantu. Tidak harus dengan cara seperti ini," ucap Adli yang masih mencoba untuk membuat Siahn luluh.
Namun, Siahn tetap tegas dalam penolakannya. "Aku tidak pernah meminta bantuan kamu, jadi, jangan lakukan apa pun."
Adu mulut pun terjadi di antara keduanya. Mereka berdebat panjang, tetapi Siahn tetap teguh pada keputusannya. Akhirnya, Siahn bangkit dari kursinya dengan tiba-tiba dan meninggalkan Adli sendiri di meja yang dipenuhi dengan rasa kesal dan kebingungan. Adli duduk di sana, merenung tentang pertemuan singkat itu. Dia tahu bahwa ini sangat sulit untuk membujuk Siahn dengan keras kepalanya itu.