Ruang rapat pemerintahan yang elegan dan megah itu dipenuhi dengan ketegangan di seluruh ruangan. Para menteri, Alra, Ajgara, dan bahkan Magi, duduk di sekitar meja bundar yang terbuat dari kayu mahoni berkilauan. Mereka saling berhadapan, mata mereka dipenuhi dengan penuh serius dan pandangan tajam yang saling bersilangan. Udara di dalam ruangan menjadi semakin tegang dengan setiap argumen yang diucapkan.
Di pojok ruang rapat, Adli yang merupakan ketua dari organisasi G-Hunt dan merupakan seorang politikus. Dia mengikuti jejak sang ayah yang merupakan mantan Pemimpin Negara Nyasa yang dipanggil Pagas. Akan tetapi, sang ayah turun dari jabatannya dihasilkan dari sebuah kudeta besar ketika dia masih berusia tujuh tahun.
Tentunya, dia dapat memanfaatkan kedudukannya sebagai politikus yang digadang akan memenangkan pemilihan satu tahun mendatang. Adli telah melihat konflik ini berkembang seiring berjalannya waktu, tetapi merasa bahwa dia hanya bisa menyaksikan perkembangan ini tanpa dapat berbuat banyak.
Setelah berjam-jam berdebat panjang, Pagas, pemimpin pemerintahan yang karismatik, akhirnya mengambil sikap. Dengan suara tegasnya, dia menyampaikan keputusannya. "Kami tidak akan melepaskan Pulau Peolani," ujarnya dengan tegas, "Kami akan memberlakukan sanksi bagi mereka yang mencoba membuat sebuah revolusi."
Keputusan ini tentu sangat amat mengecewakan bagi Adli yang sedang mendengarkan. Dia merasa bahwa perdamaian dan negosiasi adalah jalan yang lebih baik, tetapi keputusan itu sudah ditetapkan. Ruang rapat pun dibubarkan dengan ketegangan yang masih terasa di udara.
Setelahnya, Adli memutuskan untuk menghadap Pagas secara pribadi. Dia berjalan mendekati meja Pagas dan mencoba membicarakan pemikirannya. Namun, Pagas menolaknya dengan tegas. "Keputusan ini telah dibuat, Adli," katanya dengan suara rendah. "Ini adalah keputusan yang pemerintahan dan tidak ada yang bisa mengubahnya."