Tidak lama Astan telah menghabiskan makanannya dan berpamitan pergi untuk melakukan wawancara kerja. Dia sudah berada di Kota Jayapa selama tiga bulan, tetapi belum juga mendapatkan pekerjaan. Astan merasa sedih, di umur delapan belas tahun hanya menjadi pengangguran. Meski dia baru saja lulus dari akademi empat bulan yang lalu.
Dia berjalan menuju lift, mengambil lorong sisi kanan dari posisi pintu apartemen. Kelap-kelip lampu tidak membuat Astan takut karena itu sudah makanan sehari-hari. Dia berhenti di depan lift, menunggu hingga suara bunyi ‘ting’ terdengar dan dirinya bergegas masuk. Terdengar suara perempuan pemandu, bersamaan dengan lift yang bergerak.
Astan hanya terdiam menunggu sampai di lantai satu, tetapi dia baru menyadari sesuatu. Lift terus naik hingga berhenti tepat di lantai 24, dia mencoba untuk menenangkan diri dan mengatur napas. Kepalanya tertunduk dengan memainkan kaki di alas besi, mengetuk lantai hingga beberapa orang masuk. Jumlah orang yang berada di lift menjadi lima orang. Semua terdiam, berdiri di tempat masing-masing. Astan masih menundukkan kepala, tetapi dia tidak menutup matanya. Dia memperhatikan kaki seseorang yang membiru hingga lift berhenti di lantai satu.
Astan berjalan menjauh dari bangunan tinggi, besar nan tua itu. Sebuah bangunan yang tidak terawat, warna dinding memudar, dan putihnya tidak lagi secerah 20 tahun silam. Setelah melewati pekarangan apartemen yang luas, terdapat beberapa kendaraan mobil pribadi, taksi, motor, dan sepeda. Astan mengambil jalan kanan menuju tempat pemberhentian bus.
Sepanjang perjalanan, banyak kendaraan berlalu-lalang tidak ada henti. Suaranya begitu menusuk alat pendengaran, tetapi dia hanya menghiraukan semua suara-suara itu. Menikmati suasana pagi dengan langkah kecil, tanpa terasa halte pemberhentian bus telah di depan mata.
Orang-orang telah memenuhi tempat duduk, beberapa lagi terpaksa berdiri untuk menunggu kedatangan bus. Astan berdiri dengan sesekali melihat sekeliling dan kepada sosok yang tadi berada di lift. Sosok itu berdiri di sisi jalan dengan sekujur tubuh yang membiru. Pakaian sekolahnya begitu basah, rambut berantakan, kedua kaki yang terluka, dan darah keluar dari kepala. Tatapan sosok perempuan itu begitu dingin dan sama sekali tidak memiliki emosi.
Dengan mencoba untuk tidak merasa takut, Astan memperhatikannya dengan begitu serius. Akan tetapi, dia baru sadar akan sesuatu. Jumlah orang yang berada di lift bukanlah lima, tetapi hanya ada empat orang. Ditambah sosok perempuan berseragam sekolah itu. Dia terdiam sejenak ketika mengingatnya, Astan berpikir bahwa sosok itu manusia. Dia juga pernah melihat anak-anak remaja di apartemen yang melakukan cosplay menjadi karakter Hium.
Ketika suara bus berhenti terdengar, mereka semua berjalan masuk dengan memasukkan lima Weal ke sebuah kotak. Astan duduk tepat di dekat jendela dengan tenang, menaruh tas ransel di atas pangkuan. Setelah semua penumpang masuk, bus mulai meninggalkan halte. Akan tetapi, Astan masih sempat memperhatikan sosok perempuan itu hingga tidak lagi terlihat.
Dirinya menatap lurus ke depan, suara klakson memenuhi jalanan. Mereka semua seakan tidak sabar dan terburu-buru untuk bekerja. Bus berhenti beberapa kali untuk mengambil penumpang hingga semakin sesak dan panas. Pendingin ruangan tidak lagi terasa, membuat oksigen di dalam menipis. Tanpa disengaja Astan menangkap sosok aneh, gadis kecil yang berlumuran darah dengan membawa sebuah boneka di tangan. Gadis itu duduk di kursi berseberangan dengannya.