Ghost Hunt: Panic In The Country

Hysa Inairt
Chapter #5

Vol. 0: I Lost || Chapter 4: Cakara

Chapter 4: Cakara


Cahaya tersebut berwarna putih berbentuk seperti bola, perlahan mendekati Astan dan seketika sekelilingnya menjadi terang. Lalu, perlahan cahaya putih tersebut bergerak menjauh lalu berhenti. Ketika Astan melangkah mendekatinya, dia kembali bergerak maju.

Dengan langkah pelan, Astan yang masih kebingungan, kembali berjalan mengikuti cahaya tersebut. Dia juga tidak menghiraukan rasa gugup serta takut yang mulai mendatanginya. Akan tetapi, saat tiba-tiba dia memiliki ide untuk berhenti. Kemudian, dia tidak berjalan mengikuti cahaya tersebut. Dia juga ikut tidak bergerak, tetap diam hingga Astan kembali mendekat, mengikutinya dan terus berjalan.

Entah sudah berapa menit, Astan masih mengikutinya hingga dari kejauhan samar-samar terlihat seperti sebuah pintu. Karena tidak begitu jelas, dia bahkan sampai menyipitkan kedua mata untuk memastikannya sambil berjalan. Semakin dia berjalan mendekat, pintu yang tadinya terlihat tidak begitu jelas. Sekarang, tampak begitu jelas, sebuah pintu berwarna cokelat menuju hitam yang terbuat dari kayu tua berdiri kokoh di depannya.

Pada detik berikutnya, cahaya itu menghilang begitu saja. Setelahnya suara-suara aneh mulai terdengar, menangis, meminta tolong, berteriak, dan tertawa. Udara dingin bertiup sedikit kencang, bersamaan dengan suara-suara aneh yang masih terdengar bahkan semakin banyak. Astan yang masih diam, dia berusaha melangkah, tetapi terasa berat.

Keringat dingin mulai bermunculan seiring Astan yang masih berusaha untuk melangkah lagi. Suara-suara aneh semakin bertambah banyak, bahkan dia melihat beberapa sekelebat sosok yang tengah menatap ke arahnya. Banyak dari mereka yang berwajah sedih dan menonton untuk menolongnya. Bahkan terdapat juga beberapa yang memasang wajah seram dengan mata melotot.

Dengan terus berusaha keras untuk mencapai kenop pintu, Astan mengeluarkan tenaga dan mengatupkan kedua bibir. Semakin melangkah, kakinya akan lebih berat, tetapi dia masih bertahan dan berusaha menggapainya. Sejenak, dia terdiam dengan mengatur napas. Kemudian, dia melangkah lagi hingga membuat jarak terkikis yang hanya tersisa 30 centimeter.

Astan mengerahkan tenaga terakhir hingga tangan kanannya dapat menyentuh kenop pintu. Lalu, dia memutarnya ke arah kiri sekali dan membuat suara derit terdengar. Saat itu pula, raut wajah Astan tampak begitu kebingungan dan rasa takut serta gugup mulai merayapinya lebih keras.

Dirinya kembali melangkahkan kaki kiri hingga telah berdekatan dengan kaki kanan. Ketika pintu terbuka lebar, sebuah cahaya dapat ditangkapnya lagi. Astan melangkah dengan tenaga terakhir, saat benar-benar melewati pintu.

Suara-suara aneh tidak lagi terdengar dan pintu menutup dengan sendirinya. Astan terkejut saat melihat anak tangga yang begitu panjang dan menjalar ke bawah. Bahkan hanya terdapat satu lampu sebagai sumber cahaya, dia melihat ke arah bawah dan hanya gelap gulita. Dengan pelan dan berpegangan pada dinding dingin, dia melangkah melewati anak tangga satu per satu penuh kehati-hatian, lalu berhenti saat melihat ada dua pintu di depannya; pintu merah dan biru.

Otaknya berpikir keras untuk menentukan pintu mana yang harus dibuka. Dan beberapa detik berlalu, Astan berjalan mendekati pintu berwarna biru dan membukanya cepat. Akan tetapi, dia kembali melihat tangga menuju arah bawah. Lagi-lagi, cahayanya sangat minim sekali.

Dengan sedikit kesal, dia tetap berjalan menuruni anak tangga hingga berakhir di sebuah ruangan dengan pintu besar. Seluruh ruangan tersebut gelap gulita, hanya pada pintu besar yang memiliki pencahayaan, itu pun tidak begitu terang. Dia kemudian berjalan mendekati pintu, membuatnya melihat jelas ukiran-ukiran unik di pintu: sebuah lengkungan yang saling terhubung satu sama lain.

Bentuk bunga teratai terukir indah di tengah-tengah garis yang memisahkan pintu besar tersebut. Astan mengarahkan pandangan menuju pintu dan sekeliling, dia berjalan mencari sesuatu untuk membukanya. Lalu, dia berhenti di depan sebuah layar kecil, berada tepat di samping kiri sisi pintu. Layar tersebut memiliki tombol-tombol angka, layaknya sebuah apartemen yang harus memasukan sandi.

Astan berpikir sejenak untuk menemukan beberapa digit angka, kemudian dia mencoba beberapa kata sandi, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil. Bahkan, dia sudah memasukan semua kata sandi yang biasa digunakan. Tidak menyerah begitu saja, dia kembali mencoba dengan menggunakan kata sandi secara ajak. Entah keberapa kalinya Astan mencoba, tetapi semua angka yang dimasukkan selalu salah. Lalu, dia teringat akan tanggal lahir seseorang, Astan menekan beberapa digit angka di atas layar dan senyum senang terlukis di wajahnya.

Dalam hitungan detik pintu besar itu terbuka, Astan berjalan menuju pintu. Berdiri tepat di depan dengan wajah antusias, berharap dapat pergi dari alam mimpi. Dengan pelan dia melangkah masuk hingga pintu tertutup perlahan. Dia hanya dapat melihat beberapa pepohonan dan bunga-bunga bermekaran dengan begitu kabur.

Kabut putih juga menutupi seluruh wilayah sekitar, seakan melarang siapa pun untuk melihat. Langit biru itu tertutup oleh awan yang berwarna abu-abu, udara dingin sangat terasa hingga membuat Astan memeluk tubuh sendiri dengan kedua tangan. Hanya gemericik air yang tertangkap oleh pendengarannya.

Lihat selengkapnya