Gila

Jang Syauqi
Chapter #2

Satu

Oktober 2001 

Langit cerah sehabis diguyur hujan dan aku baru saja mendengar kabar kalau abangku gila.

Sebenarnya Wildan, sobatku yang membawa kabar itu, tidak secara gamblang menyebut gila. Ia cuma bilang sempat memergoki abangku bicara dan tertawa sendiri. Di jalanan dan berpakaian aneh, katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai keanehan yang ia maksud. Wildan juga cerita bahwa orang sekampung sedang ramai menggunjingkan sakitnya Bun, abangku. Kebanyakan dari mereka menuding Bun belajar ilmu kebatinan. Ngewirid. Istilah yang kukira telah punah mengingat zaman baru saja memasuki milenium baru.

Untuk beberapa saat aku masih mengharapkan ada detik ketika tiba-tiba Wildan tertawa terpingkal-pingkal sambil menunjuk-nunjuk hidungku, lalu mengatakan kalau ia cuma bercanda. Meski candaan macam begitu jelas kelewatan --tetapi akan kumaafkan selama ia yang melakukan.

Kenyataannya Wildan justru beranjak duduk di sebelahku, menepuk-nepuk bahuku seperti yang biasa ia lakukan setiap kali aku mengumbar keluhan.

“Kenapa hal buruk selalu menimpa keluargaku?” setelah terdiam cukup lama akhirnya kata-kata itu yang mencelat dari mulutku.

“Kamu tak boleh ngomong begitu.”

“Tetapi kenyataannya memang begitu, kan?”

Tak ada komentar apa-apa lagi darinya, hanya helaan napas dalam dan suara berdecit dari rangka tempat tidur ketika ia bangkit. “Aku mau mandi dulu.” Wildan melepas kaos singletnya dan melemparnya ke keranjang cucian di pojok kamar. Disampirkan handuk ke lehernya. Ia berjinjit ketika menjangkau alat mandi yang diletakkan di atas lemari. “Sebaiknya kamu pulang dan pastikan sendiri apa yang terjadi. Barangkali kondisi Bun tak seburuk yang digunjingkan orang-orang,” pungkasnya sebelum ditelan daun pintu.

Sepeninggal Wildan mendadak kegelisahan membelitku begitu kuat. Bun gila? Duh, Gusti, membayangkannya saja aku ngeri. Sulit bagiku memercayai semua yang baru kudengar. Namun, semakin berusaha menolak percaya perasaanku justru semakin gusar. Ingatan pada rentetan kejadian sebelum aku menginjakkan kaki di tempat ini membuatku kesulitan meski sekadar untuk berprasangka baik.

Ketika itu, sepulang kerja dari Jakarta, Bun tiba-tiba menjadi amat pendiam dan menarik diri dari pergaulan. Selama berhari-hari ia mengunci diri dalam kamar, hanya keluar bila kebelet ingin buang air atau lapar. Seisi rumah sempat dibuat gempar, tepatnya dua hari sebelum keberangkatanku ke asrama. Bun berteriak-teriak. Ia memberantaki seisi kamar. Mini compo miliknya remuk dibanting ke tembok, cermin pecah dan tangannya berdarah. Ia seolah sedang berusaha melepaskan beban yang telanjur mengubun-ubun di kepalanya, tetapi beban apa aku tak persis tahu, karena sebagai seorang abang ia terlalu asing buatku. Ketika aku, mak dan Bara menghambur ke kamarnya –setelah Bara berinisiatif mendobrak pintu, kami mendapatinya meringkuk memeluk lutut di sudut kamar. Bun bungkam ketika mak memberondongnya dengan pertanyaan. Bahkan desisan sinis Bara yang biasanya sanggup memancing pertengkaran tak membuatnya bereaksi apa-apa. Ia membatu, hanya dengus napasnya kulihat memburu.

Keesokan harinya Bun kembali melakukan hal serupa. Ia meletupkan amarah sembari menerjang tumpukan kayu bakar yang sedang dijemur di halaman belakang. Aku dan mak cuma saling menatap dengan raut sama-sama gentar. Ketika ia mengeloyor pergi mengabaikan aku dan mak, langkahnya pincang dan kepalanya seperti berasap. Beberapa saat sebelum kejadian itu aku sempat memergokinya duduk melamun, punggungnya bergerak-gerak dan mulutnya tak berhenti menggigiti ujung kuku.

Setelah hari itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi kepada Bun, sebab besoknya aku sudah berangkat ke asrama dan belum pernah pulang satu kali pun. Bukan apa-apa, aku cuma takut pada perasaan-perasaan yang mungkin akan menahanku untuk kembali ke asrama jika aku pulang. Apalagi keputusan untuk menjauh dari rumah bukan murni keinginan hatiku. Aku cuma jengah, rumah tak lagi menawarkan kenyamanan bagiku: Terlalu dingin, kaku, malah terkadang angker seperti rumah hantu.

Sampai akhirnya Wildan, teman sekamar sekaligus teman satu kampungku, membawa kabar tadi. Bun sakit, katanya. Ah, aku tak akan pernah tega menyebut abang sendiri gila. Mendengar kata ‘gila’ otakku seperti dipaksa membayangkan sosok kumal di jalanan dengan rambut gimbal tak terurus yang sudah kehilangan warna aslinya. Terkadang berpakaian tak lengkap hingga kelaminnya terekspos ke mana-mana. Sosok ganjil yang kerap menceracau sendiri, tertawa-tawa sendiri, atau mengumpat-ngumpat kasar kepada setiap yang ia temui. Tak mungkin Bun begitu. Orang-orang mungkin salah mengira. Bukankah apa yang tertangkap mata belum tentu sesuai dengan kenyataannya?

Tak tahan dipermainkan rasa penasaran, aku memutuskan untuk pulang saja. Kepada lelaki umur empat puluhan yang perutnya buncit seperti habis menelan helm kukatakan kalau abangku sakit. Namun lelaki yang paling berwenang memberi izin itu membutuhkan alasan lebih spesifik.

“Sakit tipes parah,” aku berbohong. Caraku mengatakannya seolah-olah ada kemungkinan jika tak pulang sesegera mungkin maka aku akan kehilangan kesempatan bertemu abangku untuk terakhir kali. Beruntung lelaki itu percaya dan mengizinkanku pulang dua hari.

 

***

Setelah menempuh dua jam perjalanan bus yang kutumpangi akhirnya tiba di kampung halaman. Para pemilik toko wajit dan kerupuk gurilem –penganan yang sering dijadikan oleh-oleh para pelancong-- sudah menutup gerai dagangan mereka. Pusat keramaian di alun-alun kecamatan juga mulai senyap. Hanya angkot-angkot terparkir di bibir jalan, juga sekumpulan tukang ojek yang sering pasang tarif kelewatan jika hari sudah malam.

Laju bus kian ngebut begitu memasuki jalanan serupa ular raksasa yang membelit bebukitan. Beberapa kali tubuh lesuku seperti akan terlempar ketika bus berbelok tajam, kemudian melewati turunan dan tanjakan curam. Ada kalanya bus terasa seperti melompat-lompat serupa pecahan genteng yang dilesatkan ke permukaan air sewaktu main aclog bangkong. Maka tak perlu jauh-jauh pergi ke Dunia Fantasi kalau sekadar ingin merasakan sensasi naik roller coaster. Cukup naik bus Madonna berwarna biru tua yang disopiri lelaki kesurupan. Dan, satu lagi, meski namanya mencatut nama seorang penyanyi internasional kondisi bus jauh dari kesan seksi apalagi berkelas.

Aku buru-buru beranjak dari tempat dudukku begitu bus sudah melewati tugu pembatas antar desa di sisi jalan yang membelah sebuah danau menjadi dua. Keramba-keramba jaring apung bertebaran di atas danau, lampu-lampu pada saungnya sudah mulai dinyalakan hingga tampak serupa taburan kunang-kunang di kejauhan. Dengan tubuh lunglai lantaran mabuk kendaraan, aku menerobos barisan penumpang laki-laki dewasa yang berdiri dengan tangan terangkat ke udara. Sungguh waktu yang cocok untuk mengobservasi macam-macam aroma ketiak, mulai dari level ringan sampai yang berpotensi mengirimku ke neraka.

“Kiri, Mang!”

Lengkingan suaraku langsung disambut kondektur dengan mengetuk-ngetukkan koin recehan ke besi pegangan, sebagai tanda bagi sopir untuk segera menginjak pedal rem. Bus berhenti mendadak. Para penumpang oleng kehilangan keseimbangan. Aku melompat keluar dan langsung menghirup sebanyak-banyaknya oksigen. Dua jam di dalam bus membuatku seperti disekap ribuan tahun di gudang terasi.

Hari sudah sempurna gelap ketika aku tiba di beranda rumah. Remang cahaya lampu bohlam lima watt yang pangkalnya telah menghitam tak mampu menyamarkan rupa buruk rumah kami. Mak bilang rumah ini dibangun pada awal Mei tahun 1982, tiga hari sebelum gunung Galunggung di Tasikmalaya meletus. Mak bisa mengingatnya lantaran saat itu hujan abu sempat menghentikan proses pembangunan rumah yang baru pondasi. “Lima senti!” kata mak agak berlebihan ketika menggambarkan tebalnya abu yang menempel di daun-daun. Lantaran belum pernah mengalami renovasi, tak mengherankan jika wujudnya sudah menyerupai nenek tua yang hampir mati: Dinding berjamur, cat mengelupas di sana-sini, kusen-kusen melapuk, serta atap bolong-bolong karena sering jadi arena kucing berkelahi. Rumah yang sering merepotkan bila datang musim penghujan sebab air merembes di sana-sini. Tetapi bukan itu semua yang merisaukanku saat ini. Di balik pintu di hadapanku bisa jadi pemandangan yang lebih mengenaskan telah menanti.

Aku memutar gagang pintu dengan napas sedikit tertahan. Lega rasanya ketika yang kulihat pertama kali adalah senyum mak, meski getir, lengkungnya seakan tak sempurna.

Mak mendahuluiku bertanya kabar. Aku tak punya pilihan selain mengatakan kalau aku baik-baik saja. Rupanya jawabanku tak cukup meyakinkan. Sepasang mata mak meneliti kalau-kalau ada yang berubah dari tubuh anak lelakinya ini.

“Kurusan.” Mak menyimpulkan hasil pengamatannya.

Lihat selengkapnya