Seperti video yang diputar berulang, Bun melakukan hal yang sama sepanjang malam. Ia masuk ke kamar, mengeluarkan baju dari dalam lemari, memakainya sebentar lalu melepasnya kembali. Seakan-akan baju yang ia pakai membuat badannya mendadak terbakar. Setelah itu keluar kamar dan mondar-mandir. Begitu seterusnya. Ada kalanya Bun diam di satu posisi, menatap ke satu arah lalu menceracaukan sesuatu seperti ada wujud tak kasatmata yang mengajaknya bicara. Beberapa kali Bun sempat membangunkan mak, meminta dibacakan doa untuk mengusir suara-suara yang berdengung di telinganya. Bising sekali, rengeknya seperti anak kecil. Padahal nyatanya malam telah melahap semua suara. Mak lalu menurut, mengusap-usap kepala Bun sambil membacakan doa yang ternyata manjur membuat abangku tenang untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kembali gelisah.
Baru setelah bedug subuh Bun bersila di kamar dan belum keluar sampai sekarang.
Sesuai janjiku, pagi-pagi sekali aku pergi ke rumah bibi Sarah di kampung Cijambe Wetan dekat dengan kantor kepala desa. Tempat tinggalku sendiri berada di kampung Cijambe Kulon, sebuah perkampungan di tengah-tengah danau Leuwi Lengka. Dulu, untuk bisa mengakses fasilitas umum, penduduk Cijambe Kulon harus menyeberang ke kampung Cijambe Wetan menggunakan getek. Namun sejak tiga tahun lalu kejayaan getek berakhir setelah penduduk Cijambe Kulon membangun jembatan bambu yang melintang sekitar lima puluh meter di atas danau.
Keterisolasian penduduk Cijambe Kulon sebenarnya dimulai awal tahun delapan puluhan, ketika bendungan untuk keperluan PLTA Saguling dibangun. Aliran sungai kecil berbatu yang menjadi sekat antara kampungku dengan kampung lainnya berubah menjadi genangan air yang lalu kami sebut danau. Berbekal uang ganti rugi, penduduk yang tadinya tinggal di sepanjang aliran sungai akhirnya harus pindah ke area yang lebih tinggi, serta harus merelakan sawah-sawah mereka tergenangi. Tahun-tahun berikutnya tiang-tiang listrik mulai dipancangkan. Beruntung kampungku kebagian jatah listrik sehingga bisa seterang kampung lainnya. Meskipun kakekku –sekarang sudah almarhum—seringkali mengeluh. Katanya, listrik telah membikin anak-anak lebih senang menonton televisi ketimbang pergi mengaji.
Rupanya kedatanganku ke rumahnya telah membuat bibiku terkejut. Biasanya ia akan menyambutku dengan suka cita, mempersilakanku masuk seperti aku ini tamu yang telah lama dinanti-nantinya, kemudian mulai bertanya dan menawari ini-itu demi membuatku merasa diterima dengan baik di rumahnya. Sekarang ia malah seperti habis melihat hantu.
Setelah sedikit berbasa-basi yang ditanggapi kikuk olehnya, kuutarakan maksud kedatanganku. “Aku mau jemput Zulfa,” kataku.
“Bukannya ibumu masih repot?”
“Mak memang selalu repot.”
Bibiku berpaling menatap adikku yang sedang bermain sendiri di lantai, di hadapannya berserakan rupa-rupa mainan yang kelihatan masih baru. “Kenapa Rani tak dibiarkan di sini saja? Bibi akan mengurus Rani seperti bibi mengurus anak sendiri.”
“Rani?”
“Iya Rani.” Bibiku mendadak gugup, dan senyum yang coba ia sunggingkan terlihat amat mengerikan. “Bagaimana kalau Zulfa diganti namanya jadi Rani, dan Salma jadi Rina? Rani-Rina bibi rasa lebih cocok untuk nama sepasang anak kembar ketimbang Zulfa-Salma.”
Malas menanggapi ide ngawurnya tentang mengganti nama si kembar akhirnya kukatakan kalau aku tak bisa berlama-lama. Baru saja aku bangkit berdiri, bibi Sarah langsung mendahuluiku memangku Zulfa. Pelukannya pada tubuh mungil adikku begitu erat. Wajah bibiku pias macam kehabisan darah, dan responnya mengisyaratkan seolah-olah aku akan mencuri sesuatu miliknya yang paling berharga. Sempat terbersit rasa iba, namun aku tak boleh begitu saja mengabaikan perasaan mak.
“Bibi mohon, biar Rani di sini seminggu lagi...”
“Zulfa, Bi!”
“Eh, iya, maksud bibi… Zulfa. Minggu depan Zulfa bibi antarkan sendiri.”
“Tapi, Bi. Aku tidak enak hati bila nanti kena omel mak.”
“Cuma seminggu lagi. Ibumu tidak akan marah.” Tiba-tiba adikku meronta dalam pangkuannya. Seketika tangisnya pecah. Bibi Sarah mengecup kepala adikku. “Mama bikinkan susu, ya?”
Terdengar begitu emosional ketika ia menyebut dirinya ‘mama’. Seperti kerinduan yang telah lama ditahan akhirnya dapat penawar juga. Bertahun-tahun bibiku menunggu untuk bisa mengucapkan satu kata itu. Tidak seperti mak yang seakan-akan sedang berusaha mencemooh program Keluarga Berencana, selama dua puluh tahun lebih pernikahannya dengan adik ayahku rahim bibiku justru selalu gagal dibuahi. Mak pernah bercerita, ketika Bara lahir bibi Sarah sempat meminta kepada mak untuk membolehkan mengurus kakakku itu. Mak tidak meluluskan permintaan bibiku. Namun, penolakan mak tak membuatnya patah arang. Pada kelahiran-kelahiran berikutnya, mungkin termasuk juga saat aku lahir, bibi Sarah tetap melakukan hal serupa meski selalu berakhir sia-sia.
Bibi Sarah menatapku, memohon agar aku memberi kesempatan lebih lama kepadanya untuk merasakan sensasi menjadi seorang ibu.