Seperti yang kutakutkan keadaan memang tak lagi sama begitu aku kembali ke asrama. Setiap saat aku tak bisa berhenti memikirkan Bun, mak dan adik-adikku. Terutama mak. Aku tak tega membayangkan mak mengurus adik-adikku seorang diri. Ditambah Bun sakit. Sebenarnya antara tak tega dengan tak terbiasa, tak bisa kutentukan mana yang dominan. Memikirkannya membuat dadaku seperti dibebat hebat dan batok kepalaku seperti tak henti-hentinya dihantam palu.
Setelah beberapa hari dirajam cemas, akhirnya aku memutuskan untuk keluar saja dari asrama dan kembali ke kampung halaman. Wildan menyarankan supaya aku pikir-pikir lagi. Sayangnya aku sudah bulat pada keputusanku. Lain ceritanya jika salah satu dari kakakku ada yang bersedia mengalah, mungkin aku masih bisa bertahan. Pada kenyataannya mereka sibuk dengan urusan sendiri-sendiri.
“Kalau aku pulang, siapa yang akan mengurusi suami dan anakku?”
Begitu jawaban Laila, kakak tertuaku, ketika ia meneleponku tiga hari lalu. Sebelumnya aku menelepon suami Lalia ke tempat kerjanya, berpesan supaya Laila segera menghubungiku di asrama. Aku tak menyalahkan Laila. Anak semata wayangnya baru masuk TK dan suaminya seorang karyawan pabrik yang bermasalah dengan tidur. Maksudku, abang iparku tidur seperti orang mati, butuh usaha ekstra untuk membangunkannya. Pernah Laila pulang kampung tanpa suaminya selama tiga hari, dan selama tiga hari itu pula suaminya telat berangkat kerja karena bangun kesiangan meski alarm menjerit berkali-kali. Sebab itu Laila selalu khawatir ketika harus meninggalkan suaminya.
Mila, kakakku yang nomor dua, lebih tidak mungkin lagi. Keputusannya untuk menikah dengan lelaki asal Palembang lalu ikut ke kampung halaman suaminya jelas-jelas karena memang ingin berjarak dari keluarga. Aku masih ingat betul hari ketika Laila pertama kali pergi dari rumah. Ketika itu bulan Juli tahun 1996. Mila baru saja lulus SMA. Lulusan terbaik. Kakak perempuan nomor duaku itu memang cerdas, juga diberkahi rupa yang bisa membuat para lelaki betah menatapnya lama-lama. Aku cuma tak suka sifat kepala batunya. Barangkali karena euforia yang berlebihan bapak langsung saja menjanjikan akan menguliahkan Mila ke perguruan tinggi mana pun yang Mila inginkan. Mila jelas senang bukan kepalang. Hanya saja kecerdasannya mendadak kuragukan. Harusnya jika memang betulan cerdas, Mila bisa langsung tahu apakah omongan bapak itu realistis atau cuma bualan. Untuk biaya sehari-hari kami saja kewalahan, bagaimana bapak bisa membiayainya kuliah?
Sebenarnya rasa fesimisku timbul lantaran sudah terbiasa dengan janji-janji bapak yang tak pernah ditepati. Sewaktu aku masih kecil, setiap kali akan berangkat kerja ke Jakarta bapak selalu bertanya aku ingin dibelikan apa. Selayaknya anak kecil aku lantas meminta dibelikan mainan –mobil-mobilan, pistol mainan, robot-robotan, tetapi lebih sering aku meminta boneka. Sayangnya setiap kali bapak pulang sebulan atau dua bulan kemudian, mainan yang kuminta tak pernah ada. Alasannya lupa, tertinggal dan selusin alasan lain yang belakangan kusadari cuma mengada-ada. Ketika aku ngambek karena merasa dibohongi, bapak kemudian menghiburku dengan memberiku janji lagi dan tak pernah ditepati lagi. Maka detik ketika bapak berjanji akan menguliahkan Mila, saat itu aku tahu bahwa tinggal menunggu waktu saja sampai akhirnya Mila menelan pil kecewa.
“Aku mau ke UGM.” Mila menunjukan brosur sebuah perguruan tinggi negeri di Jogjakarta. Ketika itu hampir setiap hari ada kiriman brosur dari berbagai perguruan tinggi yang ditujukan buat Mila, baik langsung ke alamat rumah atau sekolah. Mila dengan sangat antusias membaca-baca brosur tersebut, kurasa sambil membayangkan dirinya menjadi bagian dari almamater kampus yang brosurnya sedang ia baca.
Bapak mengelus kepala Mila, tersenyum. Kurasa Mila mengartikannya sebagai sebuah persetujuan.
Malam harinya, ketika aku dan Mila pulang mengaji, dari balik pintu kami mendengar suara ribut di dalam rumah. Dengan lantang mak menuding bapak telah gegabah dengan menjanjikan sesuatu yang tak mungkin bisa ditepati. Lalu kami mendengar mereka menyebut-nyebut kata ‘kuliah’ yang dihubungkan dengan kesulitan ekonomi yang selama ini membelit kami. Saat itu, dalam remang cahaya lampu lima watt yang menerangi teras rumah, aku melihat Mila menyusut sesuatu di ujung matanya. Ia terduduk di tepi teras, menangkupkan kedua tangan ke mukanya, lalu punggungnya berguncang tanda ia baru saja menelan pil kecewa dari bapak.
Esok harinya Mila mulai menunjukkan sikap permusuhan. Ia tidak bicara sama sekali selama beberapa hari, sampai akhirnya Mila mengatakan kepada mak kalau ia tidak mau kuliah.
“Aku mau kerja,” katanya ketus. “Aku mau ke Jakarta. Mau melamar di pabrik tempat kakak temanku kerja.”
“Apa tidak sebaiknya kamu ikut Laila saja. Rizal bisa bantu kamu cari kerja di Tangerang. Katanya ada pabrik sepatu di sana yang kebanyakan karyawannya perempuan dan sering buka lowongan.”
“Aku mau ikut temanku saja,” Mila bersikukuh.
Pada akhirnya Mila benar-benar berangkat ke Jakarta dengan izin mak. Meski aku tahu mak khawatir membiarkan anak gadisnya merantau tanpa pengawasan keluarga. Tak lama kemudian kami mendengar kabar kalau Mila sudah bekerja di pabrik produsen kosmetik yang beberapa produknya sering kulihat diiklankan televisi. Setahun pertama bekerja Mila cuma pulang sekali saat lebaran, tetapi ia rutin mengirimi kami uang setiap bulan. Sampai suatu hari di akhir september tahun 1997, Mila pulang dengan seorang lelaki keturunan Tionghoa yang dikenalkan sebagai teman dekatnya. Keadaan menjadi semakin pelik ketika Mila bilang lelaki itu berniat menikahinya meski berbeda keyakinan.
Menghindari kekacauan yang bisa terjadi karena ulah Mila, mak tak menceritakan perihal permintaan Mila itu kepada kakekku. Sebagai seorang pemuka agama yang dihormati, kakek jelas akan murka, lalu tudingan tidak becus mendidik anak akan dimuntahkan kepada mak dan bapak. Sehingga mak mencoba menyelesaikan masalah itu sendirian terlebih dulu demi menghindari chaos di keluarga besar kami. Sering aku memergoki mak berdoa lebih panjang dari biasanya setiap sehabis salat dan selalu disertai isak tangis yang menusuk-nusuk ulu hati.
“Kamu sudah bulat dengan keputusanmu untuk menikah dengannya?” tanya mak suatu hari ketika Mila kembali membicarakan rencana pernikahannya dengan lelaki itu.
“Aku belum pernah seyakin ini dalam mengambil sebuah keputusan.”
Mak menarik satu helaan napas dalam sebelum akhirnya kembali bicara, “Setiap ibu tentu menginginkan anak-anaknya selamat dunia-akhirat. Jika restu mak cuma akan membuatmu celaka, maka mak memilih untuk tidak mengizinkan kamu menikah dengannya.”
“Apa maksud mak dengan restu yang akan membuatku celaka?”
“Mak yakin kamu tahu.”
“Tetapi aku mencintainya--”
“Atau kamu melakukan ini cuma karena ingin menghukum mak? Kamu kecewa pada mak, bukan?”
Mila tak menjawab, dan terus menghindari bersitatap langsung dengan mak.
“Jika memang benar kamu melakukan ini semua cuma karena ingin membuat mak marah, kamu jangan mengorbankan kebahagiaan kamu, juga kebahagiaan lelaki itu.”
Sekitar sebulan setelah pembicaraan terakhir dengan mak, Mila memutuskan hubungannya dengan lelaki itu –tepatnya lelaki itu yang akhirnya memutuskan Mila lantaran keluarga si lelaki juga tak memberi restu. Mila patah hati, namun tak berlangsung lama, sebab tak sampai tiga bulan kemudian Mila sudah mendapat tambatan hati baru, seorang lelaki asal Palembang yang bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta. Mereka kemudian menikah beberapa minggu sebelum kerusuhan besar tahun 1998, ketika ribuan orang menyemut di sebuah gedung mirip tempurung kura-kura. Suasana Jakarta yang genting membuat Mila dan suaminya memutuskan berhenti bekerja. Apalagi Mila dianggap dalam bahaya sebab matanya agak runcing dan kulitnya cenderung kuning --identitas fisik yang tak menguntungkan saat itu.
Bapak sempat menyarankan supaya suami Mila mencari kerja di Bandung saja. Mila ternyata lebih menginginkan sang suami memboyong dirinya ke Palembang. Ingin suasana baru, katanya. “Siapa tahu dengan tinggal jauh di seberang pulau, kupingku bisa adem.” Meski Mila mengatakannya dengan nada bergurau, aku tahu itulah yang sebenar-benarnya ia inginkan. Sebab terkadang aku juga begitu, berharap waktu bergerak lebih cepat sehingga tiba saatnya aku lulus SMA dan pergi merantau. Dengan begitu aku tak akan merasa bersalah karena meninggalkan mak, sebab setelah lulus sekolah semua anak lelaki memang harus merantau dan bekerja.
Aku memang belum menghubungi Mila perihal kondisi Bun, tetapi apa gunanya jika Mila sudah pasti akan memiliki segudang alasan untuk tidak mengalah.
Sementara Bara tak masuk dalam pertimbangan. Aku justru curiga sakitnya Bun malah akan membuat ia semakin menjadi-jadi. Mungkin saja sekarang Bara sudah kebelet ingin mengatakan kepada mak dan bapak: “Lihat, satu anak sudah jadi korban. Apa kalian belum merasa puas?” Dan aku tak sedikitpun meragukan keberanian Bara mengatakan itu. Sepertinya ia memang punya kecenderungan menyiksa orang lain dengan rasa bersalah.
***
“Kamu sudah mantap mau keluar dari asrama?” tanya Wildan sementara aku sedang membereskan barang-barangku. “Sudah kamu urus semuanya?”
“Sekolah minta supaya orangtuaku datang.”
“Terus?”
Aku menunjuk tas ransel yang mulai penuh dengan pakaian dan buku-buku.
“Kabur?” Wildan menebak-nebak dan aku mengangguk. “Kalau tidak ada surat pindah bagaimana nanti kamu daftar ke sekolah yang baru? Apa kamu sudah tahu akan pindah ke sekolah mana?”
Kukatakan kalau aku sudah memikirkannya, dan sepertinya ia sudah bisa menebak ke sekolah mana aku akan mendaftar.
“Kamu datang baik-baik, pergi juga harusnya baik-baik.”