Gila

Jang Syauqi
Chapter #5

Empat

Ustaz Mansyur mendaftarkanku ke sekolah swasta tempat ia mengajar. Sebuah sekolah berbasis agama yang kemungkinan tak pernah jadi pilihan pertama para lulusan SMP. Maka tak heran jika setiap tahun ajaran baru sekolah ini kerap khawatir tak mendapat cukup murid yang mendaftar. Setidaknya itu yang diceritakan ustaz Mansyur padaku.

Aku ditempatkan di sebuah kelas yang lokasinya paling ujung dengan lantai berdebu dan atap bolong-bolong, membuatku curiga kalau sekolah ini seperti tak pernah mendapat bantuan dana untuk sekadar renovasi. Sesaat aku berdiri termangu di lawang pintu sebelum akhirnya mengincar bangku kosong di pojok belakang dan langsung mengalienasi diri.

Memasuki lingkungan baru selalu tidak menyenangkan, serasa menjadi orang asing yang langsung diteror tatapan curiga. Aku juga tidak terbiasa memulai sebuah perkenalan. Tak percaya diri. Selalu merasa bahwa ada yang salah dengan gesturku. Wildan mengistilahkannya sebagai ‘kecurigaan berlebihan yang mengintimidasi diri sendiri’.

Demi mengalihkan dari rasa gugup aku mengeluarkan sebuah buku cerita dan membacanya, sebelum akhirnya beberapa anak perempuan mengerumuniku.

“Pindahan dari sekolah mana?” tanya salah seorang dari mereka setelah kami berkenalan. Aku menyebutkan satu nama sekolah berasrama, namun sayangnya mereka tidak familier sehingga bertanya lagi, “Di mana itu?”

Kujawab, “Bandung.” Seolah-olah Cililin bukan bagian dari Bandung. Namun tak urung mereka serempak meng-oh, mengangguk-angguk. Sebab ketika orang-orang kampung menyebut ‘Bandung’ maka itu berarti merujuk pada semua daerah yang masuk kotamadya, bukan kabupaten.

“Kenapa pindah ke sini?” Pertanyaan yang paling penting itu langsung mengundang tatapan penasaran. Barangkali mereka sadar bahwa sekolah ini bukan sekolah favorit, bahwa selalu ada unsur terpaksa ketika harus menjebloskan diri ke sini sehingga mereka patut curiga.

“Ingin saja,” jawabku, defensif.

Bisa kulihat mereka saling melempar tatapan ‘pasti ada apa-apa’ dan mereka siap menyelidiki. Hasrat keingintahuan para anak perempuan memang selalu berlebihan. Barangkali lantaran sikap defensif yang aku tunjukkan sehingga mereka memilih kembali ke bangku masing-masing, bersamaan dengan itu seorang lelaki muda dengan wajah cerah dan berjanggut tipis masuk ke dalam kelas.

Sungguh aku tak bisa berkonsentrasi pada pelajaran. Kondisi Bun, ingatan pada Wildan dan sekolah lama, serta kenyataan bahwa aku terdampar di sebuah sekolah antah berantah ini membuatku merasa seolah-olah ada mesin bor tumpul yang sedang berusaha melubangi tengkorak kepalaku. Karena itu ketika bel jam istirahat berdering aku langsung menuju kantor, menemui petugas piket untuk meminta surat izin pulang.

Perempuan muda, barangkali pertengahan dua puluhan, yang mengenakan jilbab serta gamis warna ungu muda menjawab salamku dan melengkapinya dengan senyuman meneduhkan. Aku seperti baru saja menemukan oase di padang sahara –sebuah ungkapan klise, tetapi aku tak punya ungkapan lain untuk menggambarkan betapa senyuman yang menyambutku betul-betul menjadi hal menyenangkan pertama yang kudapati hari ini. Sebenarnya pagi tadi aku sempat berpapasan dengannya ketika mendaftar, namun aku belum tahu siapa dan posisinya sebagai apa di sekolah ini.

“Ada yang bisa ibu bantu?” ia bertanya ramah.

“Saya mau minta surat izin pulang,” aku menjawab ragu-ragu. Membolos, meski cuma setengah hari, jelas bukan kesan yang harus ditunjukkan oleh anak baru sepertiku. Tetapi sungguh aku ingin pulang kemudian tidur, anggap saja sebagai jeda sesaat dari semua yang sedang menghimpit dada.

Lalu ia bertanya kenapa, yang dilontarkan dengan wajar. Maksudku, tanpa berusaha mengintimidasiku dengan intonasi curiga yang dikombinasikan dengan tatapan menyelidik. Sebab para petugas piket biasanya sudah sering menghadapi anak-anak nakal yang suka mengakal, jelas ia harus waspada. “Saya merasa agak pusing, dan ...” aku menyentuh dadaku, meringis, “Seperti ada yang menekan-nekan di sini. Mungkin saya terlalu gugup berada di lingkungan baru.” Aku memilih jujur sebagai balasan atas keramahannya.

“Rileks saja. Anak-anak di sini jinak-jinak, kok,” ia mencoba berguyon. Tangannya menjangkau sebuah kotak plastik bersusun di hadapannya –semacam miniatur cabinet atau entah apa namanya, menarik ujungnya hingga menggelosor serupa laci dan mengambil sebuah form dari dalamnya. “Sudah dapat teman?” Ia bertanya ketika sudah bersiap-siap menuliskan sesuatu.

“Ada beberapa yang mengajak berkenalan tadi.”

“Segera cari teman baru,” sarannya, “Itu bisa membantumu beradaptasi dengan cepat.” Senyum perempuan itu melebar sebelum akhirnya menanyakan nama lengkapku.

“Nizarudin Firdaus.”

“Kelas?”

“Satu C.”

Pada kolom terakhir, kolom alasan, ia menuliskan kata ‘sakit’, kemudian membubuhkan tanda tangan di atas sebuah nama yang tertulis: Reni Ryani S.Pd.. “Semoga cepat kerasan di sekolah ini!” Ia mengasongkan kertas itu padaku lengkap dengan senyum penutup yang tak berkurang takaran kelembutannya. Segera setelah mengucapkan terima kasih aku langsung bergegas kembali ke kelas dan menitipkan surat izin kepada seksi absensi.

 ***

Tak lama berdiri di depan gerbang sekolah angkot kuning dengan garis warna oranye langsung aku berhentikan. Aku berniat mampir dulu ke rumah bibi Sarah untuk menjemput Zulfa yang harusnya sudah diantarkan sendiri olehnya. Sepertinya bibiku itu tidak memahami makna dari konsep berjanji.

Rumah bibi Sarah sepi, dan memang selalu begitu karena penghuninya cuma dua orang. Apalagi pamanku lebih sering di kota, hanya pulang sebulan sekali seperti tukang jok lain. Tukang jok memang menjadi profesi mayoritas penduduk desa dan konon bapakku sebagai generasi pertamanya. Sementara pekerjaan favorit nomor dua adalah menjadi tukang bangunan. Kedua profesi itu dianggap jauh lebih menghasilkan dan minim risiko ketimbang menjadi petani. Meski kampung halamanku memenuhi stereotip pedesaan pada umumnya, namun hampir tak ada yang berprofesi sebagai petani tulen. Sebab lahan yang tersedia adalah lahan tadah hujan, sementara saluran irigasi telah beralih pungsi jadi comberan.

Sebenarnya sempat ramai warga desa yang terjun ke sektor perikanan, membudidayakan ikan air tawar sistem jaring apung. Hanya saja banyak yang gulung tikar, terlebih setelah kualitas air danau sudah masuk dalam kondisi cukup mengkhawatirkan dan musim tak lagi bisa diprediksi (tak lagi mengikuti rumusan: oktober-maret musim hujan, april-september musim kemarau), serta cuaca yang sering mengalami anomali. Hanya mereka yang mau terus belajar dan berani ambil risiko yang masih tetap bertahan. Alam dengan sendirinya menyeleksi.

Lihat selengkapnya