Kecewa lantaran Abah Sartimi tak bisa memenuhi janjinya untuk menyembuhkan Bun dalam waktu kurang dari sebulan, mak lalu membawa Bun ke paranormal lain. Kali ini mak memercayakan kesembuhan Bun kepada Ki Astari yang tinggal di kampung berkilo meter jauhnya dari kampung kami. Jika ditempuh dengan berjalan kaki, butuh waktu dua jam untuk bisa sampai di rumah tukang jampi yang direkomendasikan oleh salah satu tetangga kami tersebut.
Seperti biasa mak terpaksa berjalan kaki karena tak punya cukup uang untuk menyewa ojek, dan angkutan umum tidak melewati kampung itu. Berdua bersama Bun mak menempuh perjalanan menyusuri pesawahan, perkampungan, pesawahan lagi, lalu kembali ke perkampungan, begitu seterusnya sampai tiba di kampung tempat tinggal Ki Astari. Asalkan Bun bisa sembuh, bentang jarak, kaki bengkak, terik matahari menyengat dan beragam ekspresi yang mak temui sepanjang jalan tak lagi jadi soal.
Mengurus orang berpenyakit seperti Bun memang membutuhkan kesabaran luar biasa, setidaknya bagi yang tak punya cukup biaya untuk mengirim si sakit ke rumah sakit jiwa. Terkadang tingkah mereka mengundang iba, memancing tawa, namun lebih sering membikin hampir murka. Maka tak heran bila banyak orang-orang berpenyakit jiwa yang berkeliaran di jalanan atau berakhir di pasungan. Tetapi aku bisa memastikan mak tak akan pernah sampai tega membuang Bun ke jalanan, atau memasungnya seperti hewan peliharaan, sesulit apa pun hari-hari yang akan dilewati bersama Bun kelak.
Berbeda dengan Abah Sartimi yang mendiagnosis sakitnya Bun akibat ngewirid, Ki Astari lewat penerawangannya justru mengatakan bahwa Bun terkena guna-guna. Ngewirid dan guna-guna memang paling menjadi primadona untuk dikambinghitamkan sebagai penyebab gilanya seseorang. Aku tak habis pikir, kenapa di zaman modern seperti sekarang ini masih saja banyak orang yang selalu mengaitkan suatu penyakit dengan hal-hal berbau mistis. Bahkan tak cuma penyakit saja, anak perempuan tetanggaku gara-gara di usianya yang ke 27 masih belum juga ada lelaki yang mau memperistri, alih-alih dicarikan jodoh, orangtua si perempuan malah membawanya ke dukun. Sang dukun lalu menuding kalau si perempuan tak laku itu terkena teluh Gantung Jodoh oleh seseorang yang katanya pernah dibuat sakit hati.
“Apa Ki Astari kasih tahu siapa yang mengguna-guna Bun?” Aku bertanya sungguhan karena penasaran. Menurutku dukun, paranormal, orang pintar atau apalah sebutannya, biasanya cuma memberi klue; orang dekat, masih ada ikatan saudara, orang dari masa lalu, atau semacamnya, yang justru malah memancing prasangka. Setahuku mereka tak pernah menunjuk hidung si tersangka. Atau jangan-jangan di dunia perdukunan juga berlaku asas praduga tak bersalah?
“Katanya orang yang sirik sama keluarga kita.”
“Mak percaya? Tentu ada sebabnya kenapa orang sirik. Tapi kita ini bukan keluarga kaya, tak punya pengaruh dan tak pernah bikin ulah. Kurasa tak cukup alasan orang buat sirik kepada keluarga kita.”
“Menurutmu mak harus bagaimana? Membiarkan Bun sampai betul-betul parah?” Suara mak meninggi. “Selama orang-orang itu menjanjikan bisa menyembuhkan Bun, mak tak peduli mereka mau bilang Bun sakit karena ini, karena itu, terserah! Mak cuma mau Bun sembuh. Itu saja!”
“Apa tak sebaiknya kita membawa Bun ke rumah sakit jiwa?” Aku berkata ragu-ragu, masih ngeri mak marah lagi.
“Itu sama saja dengan mencap abangmu gila!”
“Memang begitu kenyataannya.”
Mak mendelik, ada kemarahan dalam sorot matanya. “Bun tidak gila. Bun dijahili.”
Aku tak berani lagi membantah. Mak berusaha mengingkari kemungkinan kalau Bun mengalami depresi. Mak memelihara keyakinan bahwa apa yang terjadi pada Bun adalah bukan kesalahan Bun sendiri, juga bukan kesalahan mak atau kesalahan siapa pun di rumah ini, tetapi kesalahan si pengguna-guna atau orang yang mengajarkan wirid kepada Bun. Gila memang bukan penyakit biasa, melainkan aib yang mencoreng muka, sehingga harus ada sesuatu yang dijadikan kambing hitam.
Masalah guna-guna menjadi semakin pelik ketika ada pihak yang berusaha mengail di air keruh. Mak rupanya menceritakan perihal Bun yang diguna-guna kepada wak Yayah, tetangga kami. Entah motif apa yang mendasarinya sehingga wak Yayah mengatakan kepada mak bahwa kemungkinan besar yang mengguna-guna Bun adalah Novi, mantan pacar Bun. Wak Yayah jelas tahu hubungan Novi dengan Bun sebab gadis itu adalah keponakannya sendiri.
“Wak Yayah bilang Novi diwarisi khodam oleh kakeknya,” kata mak dengan wajah sekeras batu.
Khodam yang dimaksud mak adalah jin peliharaan. Modus operandinya, menurut wak Yayah, novi yang sakit hati setelah diputuskan Bun lalu memerintahkan jin peliharaannya untuk mengerjai Bun. Mendengarnya aku seperti terlempar ke zaman ketika para pendekar masih berkeliaran serupa dalam serial Saur Sepuh.
“Kekonyolan apa lagi ini? Tak mungkin dia percaya yang begituan. Lagipula apa zaman sekarang masih ada yang main teluh?”
“Bisa saja. Lagipula wak Yayah itu masih saudaranya Novi.”
“Lantas?”
“Untuk alasan apa wak Yayah berbohong?”
“Harusnya mak curiga, sebab kalau tidak ada apa-apa, tak mungkin wak Yayah mengumbar aib saudara sendiri.”