Bapak dan Bara pulang dari Jakarta. Kurasa keduanya cuma kebetulan saja pulang di hari yang sama, sebab mereka serupa dua orang dewasa yang sedang main petak umpet. Kalaupun situasi mengharuskan keduanya bertemu lalu berinteraksi, maka yang tercipta adalah pemandangan menjengahkan. Antusiasme bertemu setengah hati. Seperti kepada yang lain, Bara memang jarang banyak bicara.
Biasanya bapak yang mengawali dengan bertanya tentang pekerjaan, lalu ditanggapi Bara dengan enggan. Seperti yang terjadi sekarang, ketika Bara tiba sekitar satu jam berselang setelah bapak, terjadilah sebuah interaksi yang kumaksudkan.
“Kamu pulang juga ternyata?” Bapak bertanya semringah ketika Bara menyalaminya. “Sehat?”
“Badan sih sehat,” jawab Bara.
Bapak tertawa, menganggap jawaban Bara cuma gurauan. “Gimana di Liem Peng? Kerjaan banyak?” tanya bapak lagi menyebut boss tempat Bara kerja. Sepertinya bapak tahu semua nama bos keturunan Tionghoa yang menguasai bisnis sofa.
“Lumayan.”
Lalu hening.
“Si Odeng masih gawe di Liem Peng?” Bapak menyebut nama mantan anak buahnya yang sekarang sudah menjadi tukang seperti bapak.
“Masih.”
Aku curiga, bahwa setiap patah kata yang mencelat dari mulut Bara disertai pancaran frekuensi yang sanggup melumpuhkan kemampuan otak lawan bicaranya dalam memproduksi kata-kata. Sulit menemukan cara supaya Bara bisa antusias, seperti juga bapak yang akhirnya menyerah dengan beralih mengobrol dengan mak. Bara pun meninggalkan kami. Ia masuk ke kamar yang sekarang telah menjadi kamarku, dan aku patut waspada tentang kemungkinan Bara murka atas klaim sepihak terhadap kamarnya.
Ketika berpapasan dengan Bun di lawang pintu yang menghubungkan ruang tengah dan ruang tamu, Bara cuma mendesis sinis dengan tatapan yang bisa membikin seorang anak mami berak di celana. Bahkan ketika Bun mengangsurkan tangan untuk bersalaman Bara sama sekali tak menggubris. Tadinya kupikir sikap Bara akan melunak mengingat kondisi Bun saat ini yang begitu mengundang iba.
Namun berbeda dari biasanya sikap Bara sama sekali tidak memancing ketersinggungan Bun. Padahal dengan bertingkah seperti tadi sudah lebih dari cukup untuk meledakkan ketegangan keduanya seperti yang lalu-lalu. Bun akan menganggap Bara sebagai adik yang tak punya hormat, sementara Bara akan bersikukuh jika Bun tak layak dihormati. Keduanya adu urat leher sambil pasang kuda-kuda, mak melerai sambil menangis, dan ketika peperangan usai akulah yang kebagian berondongan nasihat dari mak –meski aku tak terlibat.
Kali ini Bun malah melengos, tak hirau oleh sikap Bara. Ia berjongkok di antara tiga adikku yang sedang menikmati oleh-oleh yang dibawa bapak –rambutan dan gorengan yang kuyakin dibeli dari penjual di perempatan jalan desa. Bun mengambil satu buah rambutan dari kantong kresek hitam di depan Yan. Bun cuma menatap si rambutan. Aku curiga ia sedang berdialog menggunakan telepati dengan rambutan di tangannya, karena tiba-tiba Bun mesem-mesem sendiri.
Sebenarnya bukan cuma Bara yang keberadaannya di rumah sering membuat ketenanganku terusik. Keberadaan bapak juga sering memunculkan perasaan yang sama. Seperti mendadak mendapat signal bahaya. Barangkali perasaan seperti itu muncul lantaran pembiasaan akibat pengulangan. Ketika mak dan bapak bertemu sepertinya ada saja hal yang mudah menjadi pemicu konflik.
Aku sudah hapal betul default prosesi yang terjadi setiap bapak pulang. Pertama, setelah bersalaman dan bertukar kabar, salah satu akan mulai membicarakan sesuatu yang bermuara pada uang. Jika mak yang duluan bicara, mak akan mulai mengabsen hutang-hutang, tunggakan-tunggakan, dan biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan. Lalu aku cukup mengamati ekspresi bapak ketika mak sedang bicara. Jika wajah bapak memucat, maka aku patut curiga bila bapak pulang tak membawa cukup uang. Beruntung sekarang aku melihat bapak tenang-tenang saja ketika mak membahas risiko dapur. Malah sesekali bapak menimpali dengan santai.
“Yan minta sepatu baru? Sepatunya yang dibeli tahun kemarin sudah jebol.”
“Belikan saja. Biar Yan sekolahnya rajin.”
Yan langsung mengepalkan tangannya sambil bilang ‘Yes’, dan Upi, adiknya, langsung melempar tatapan iri.
“Minggu lalu aku juga pinjam uang sama umi buat berobat Bun.”
“Berapa?”
“Dua ratus.”
“Kalau umi butuh uangnya segera, mak bayar saja. Tapi kalau masih bisa nanti, mak pakai saja dulu buat keperluan yang lain. Hutang sama umi bayar bulan depan,” saran bapak sambil merogoh saku dan mengeluarkan dompet. Bapak mengeluarkan semua isinya. “Cuma segini.” Bapak mengasongkan berlembar-lembar uang seratus ribuan. “Dicukup-cukupkan saja.”
Mak menerima uang dari bapak dan mulai menghitung-hitungnya. Tak ada keluhan, atau desahan kecewa, meski juga tak ada raut gembira. Itu berarti uang dari bapak bisa dicukup-cukupkan sampai bulan depan. Prosesi serah terima uang yang berjalan lancar tanpa percekcokan ini membuatku tenang. Rambutan yang dibawa bapak sebagai oleh-oleh bisa benar-benar kunikmati. Sebab jika kondisi yang terjadi kebalikannya, rambutan semanis apa pun ketika dikunyah akan sepahit biji duku.
Sayangnya sedang banyak masalah yang terjadi, sehingga ketika uang tidak jadi pemicu pertengkaran masih ada hal lain yang berpotensi jadi detonator. Salah satunya masalah Zulfa yang masih ada di tangan bibiku.
“Zulfa belum dikembalikan Sarah,” kata mak dengan raut kecewa. “Janjinya seminggu, tambah lagi seminggu, tambah lagi seminggu, dan sekarang Sarah malah membawa Zulfa ke Sumedang.”
Aku menunggu-nunggu reaksi bapak. Ada ketakutan yang tiba-tiba mencuat sebab kemungkinan besar bapak akan membela istri dari adik satu-satunya itu.
“Nanti aku ngomong sama Zainal.”
Kali ini aku cukup terkesan dengan cara bapak menghindari berselisih dengan mak. Semoga saja bapak memang sudah bosan bertengkar, sehingga mulai berlatih untuk mengantisipasi sifat keras kepala mak.
Tadinya aku mengira sudah bisa benar-benar bernapas lega, sebelum akhirnya Bara kembali muncul. Ia menarik lenganku dengan paksa, menggiringku mengikutinya masuk ke dalam kamar.
“Kamu apakan kamarku?!” Tatapan Bara seperti sedang berusaha mencungkil kedua bola mataku, dan cengkraman tangannya seolah berusaha meremukkan tulang lenganku.
“Apa salahnya? Kamu, kan, sudah jarang di rumah.”
“Tapi itu tak berarti kamu boleh seenaknya merusak kamarku.”
Jelas-jelas kata ‘merusak’ tidak tepat digunakannya. Aku malah membuat kamar ini menjadi lebih nyaman untuk ditempati. Gorden warna hitam yang menutupi kaca jendela kuganti dengan gorden warna biru, seprai lusuhnya kuganti dengan seprai gambar ikon kartun yang menurutku lucu. Kutempatkan vas yang kuisi dengan serumpun bunga Sri Rejeki. Gambar-gambar menyeramkan yang sebelumnya hampir memenuhi dinding kamar aku copot. Tulisan-tulisan protesnya aku hapus, dan yang tak bisa kuhapus kututupi dengan poster hapalan tenses, juga poster Westlife, Backstreet Boys, N’Sync dan Gil Ofarim. Ketika Bara melirik sekumpulan lelaki keren itu aku bisa mendengar ia mendesiskan kata ‘banci’.
“Lelaki sejati itu sukanya Jamrud, Scorpion, Metallica, bukannya Westlife dan Backstreet Boys. Kenapa tidak sekalian saja kamu pakai rok?” Bara melepaskan cengkraman tangannya pada lenganku dan mulai mencopot poster-poster itu lalu dengan kasar melemparnya ke lantai. “Beresin barang-barang kamu!”
Aku memungut poster-poster yang tercecer di lantai dengan perasaan seperti orang patah hati. Tiba-tiba muncul pikiran untuk menyudahi perang dingin dengan Bara yang tak kutahu persis apa sebabnya. Aku menatap Bara, dan ragu-ragu aku mengatakan apa yang selama ini cuma bisa aku pendam dalam hati.
“Bisakah kamu bersikap lebih baik padaku?”
Bara meyemburkan tawa mengejek. “Jangan manja jadi anak laki!”
“Kenapa kamu begitu membenciku?”
“Jangan banyak omong! Singkirkan saja barang-barangmu dari kamarku!”
Refleks aku melemparkan poster-poster yang kupungut hingga kembali tercecer di lantai. “Aku tak akan melakukannya sebelum kamu kasih tahu alasan kamu membenciku!” Kali ini aku memberanikan diri menantang sorot matanya.
Bara melengos, kulihat tangannya mengepal kuat sebelum akhirnya berpaling lagi padaku. “Kalau begitu berhentilah jadi anak sok baik!” Telujuknya menuding mukaku.