Januari 2002
Kami betul-betul mengirim Bun ke sebuah Panti Rehabilitasi. Setelah Laila dan Mila sepakat untuk membantu membiayai.
Menyaksikan Bun dimasukkan ke dalam ruangan sempit serupa tahanan dan terisolasi sendirian, aku jadi kepikiran bagaimana jika aku yang ada di posisinya. Sungguh ngeri membayangkan terkurung di tempat asing seorang diri, apalagi dengan stempel ‘gila’ yang mulai tercetak di kening. Rasanya raungan Bun masih berdengung di kuping dan bayangan wajah takutnya terus berkelebat di dalam benak. Bayangan-bayangan itu sukses membuat gelisah sepanjang malam pertama sepeninggal Bun.
Entah jam berapa akhirnya aku tertidur, tahu-tahu terbangunkan oleh keributan di antara suara tangis si bungsu. Kurasa masih dini hari sebab jam beker di kamarku yang biasa membangunkanku tiap setengah lima pagi belum berbunyi.
Di ruang tengah tempat adik-adikku tidur berjejer serupa ikan pindang aku mendapati si bungsu menangis. Yan dan Upi juga ikut terbangun, cuma Opi yang masih lelap. Keributan sendiri asalnya dari dapur.
“Kenapa kamu tidak mengerti juga!”
“Kamu yang selalu memaksakan kehendak. Keras kepala!”
“Tapi dia anakku! Kamu tidak merasakan bagaimana mengandung dan melahirkan, jadinya mudah saja kamu bicara begitu. Selama ini kamu tahunya cuma cari duit tok. Tak pernah mau mikirin yang lain. Mending kalau duitnya cukup.”
Hal yang paling menakutkan adalah ketika mak dan bapak sudah menggunakan kata ‘aku’ dan ‘kamu’ seperti dua orang asing yang belum terikat janji.
Aku meminta Yan yang masih untuk menjaga Salma sebentar.
“Mak dan bapak kenapa?” ia bertanya.
“Tidak apa-apa.” Aku memaksakan sebuah senyuman.
Segera kupindahkan Opi yang masih tertidur ke kamarku, setelah itu aku kembali ke ruang tengah untuk mengambil si bungsu yang belum berhenti menangis. Yan dan Upi kugiring untuk pindah juga ke kamarku. Demi menyamarkan suara pertengkaran mak dan bapak aku memutar kaset shalawat.
“Kalian tidur lagi, ya.”
Aku menyuruh Yan dan Opi berbaring. Keduanya menurut, merebahkan badan di kasur tambahan yang kuhamparkan di lantai kamar. Mata mereka memang memejam tetapi kelopaknya bergerak-gerak serupa orang yang tengah diteror mimpi buruk. Pura-pura tidur. Mengingatkanku pada kejadian semasa kecil dahulu. Hal serupa juga kulakukan ketika berada di antara pertengkaran mak dan bapak yang tak pernah mengenal waktu.
Tak kupungkiri bahwa pertengkaran orangtuaku membuatku trauma. Aku sering mendadak gemetaran setiap mendengar orang bertengkar. Aku tak ingin hal serupa terjadi kepada adik-adikku. Karena itu setiap kali mak dan bapak cekcok, hal yang pertama kulakukan adalah mengamankan adik-adikku ke kamar, lalu mencekoki mereka dengan kebohongan bahwa semua baik-baik saja. Aku juga tak pernah punya keberanian untuk melerai. Kalaupun aku sengaja menampakkan diri di tengah pertengkaran orangtuaku semata-mata agar keduanya mempertimbangkan keberadaanku. Sayangnya tak pernah berhasil.
Kutinggalkan adik-adikku di kamar. Kecuali si bungsu yang terus kupangku lantaran tangisannya tak kunjung reda.
Ragu-ragu aku membuka pintu dapur dan mendapati kedua orangtuaku sedang terlibat adu urat leher. Keduanya memang tidak saling umpat, berkata-kata kasar, atau adu fisik, tetapi cara mereka mengucapkan setiap patah kata terasa seruncing ujung paku dan raut wajah mereka sepanas bara api.
“Apa salahnya kita berbagi kebahagiaan dengan mereka. Mereka adik kamu juga. Bukan orang lain.”
“Tetapi bukan berarti harus menyerahkan anakku!”
“Kita masih punya sembilan anak. Bisa jadi Zainal dan Sarah akan menyayangi Zulfa lebih dari kita!”
Rasanya seperti tersengat listrik ribuan volt ketika mak akhirnya mengucapkan satu kalimat yang tak pernah terbayangkan olehku.
“Daripada begini terus lebih baik aku mati saja!”
Mak meraih jerigen minyak tanah yang ada di dekat tungku lalu menyiramkan ke badannya, kemudian mengambil korek api.
“Halimah, apa-apaan kamu!”
Dengan gesit bapak merebut korek api dari tangan mak. Mak berusaha merebutnya kembali.
“Istigfar, Halimah! Istighfar!” Kotak korek api terjatuh ke lantai. Tiba-tiba saja tubuh mak gemetaran seperti kesetrum, menggeram seperti kesurupan.
Aku lekas ke rumah umi sembari memangku si bungsu. Butuh beberapa kali menggedor hingga umi akhirnya membuka pintu.
“Ada apa, Zar?” Umi bertanya cemas.