Daun pepohonan berdesir karna angin lembut ini. Takkan pernah sekalipun aku bayangkan bisa melihat hal itu lagi. Sebuah pemandangan indah oleh ribuan daun emas yang memesona. Dalam lautan pohon abadi taman itu, berdiri seorang gadis tengah memegang kamera di kedua tangannya. Terlihat ribuan daun emas itu mulai berterbangan terhempas oleh angin lainnya. Ya, masih bersama gadis asing itu. Waktuku kini seperti terhenti hanya untuknya. Dari tatapanya aku yakin di bukanlah orang biasa. Gadis itu sontak melihat kearah langit lalu mengambil satu helai daun yang perlahan jatuh ke arahnya. Entah kenapa rasanya bagiku ini semua bukanlah pemandangan biasa, ada sesuatu hal dalam dada yang kurasakan. Seebuah debaran, bahkan rasa gelisah tentang ketidaktahuan mengenai waktu ini. Sontak kulihat Gadis itu mulai tersenyum lembut memandangi daun emas yang telah ia dapatkan. Senyuman manisnya terlihat lebih jelas ketika dia berbalik melihat kearahku secara perlahan, seolah kita pernah bertemu sebelumnya atau mungkin saling kenal.
Bagiku senyumannya itu masih sama, tidak kurasa cukup berbeda dari senyuman yang sebelumnya. Aku menyadari bahwa bibirnya yang kecil itu bergerak lembut mengatakan sesuatu kepadaku, bak seperti alunan harmoni aku mengerti ucapanya, “Apakah kamu ingat daun ini ….”
Hanya diam tak berbicara atau menanggapi ucapanya itu dengan gerak tubuh ku sendiri inilah diriku saat ini, seolah-olah aku adalah patung yang tidak bisa bergerak sedikitpun untuk melakukan sesuatu atau sama seperti ketika aku jatuh cinta, larut pada cerita yang benar benar membuat mauk kedalam dunianya. Meskipun begitu, aku tidak bisa menyangkal perasaanku ini. Debaran hati yang mengatakan bahwa senyumannya itu tidak akan pernah bisa aku gambarkan melalui kata-kata indah belaka, bagiku tidak ada ungkapan yang bisa mewakili senyumannya itu. Perasaan aneh yang aku rasakan bersamaan dengan pemandangan di taman itu benar-benar membuatku melupakan segalanya. Bahkan kali ini wajah gadis itu tidak bisa aku ingat sama sekali. Hingga semuanya menjadi gelap gulita. Dalam kegelapan itu suara lembutnya tiba tiba saja mulai aku dengar. Sebuah suara yang begitu tegas untuk diingat kembali oleh raga dan juga jiwaku, kalimatnya itu seolah merupakan terusan dari ucapan sebelumnya, sebuah mantra yang menjadikan kisah ini bermulai, “Bukankah daun ini sangat mirip denganmu Ali.”
Meskipun wajahnya tidak pernah bisa aku ingat kembali, tapi aku tidak pernah bisa melupakan senyumannya yang terus terngiang di kepalaku. Bak sebuah potret foto di dinding ruangan. Rasanya senyuman darinya itu telah menggambarkan segalanya, khususnya mengukir dan melekat pada jiwa.
Pertanyaanya adalah kenapa kisah ini bermulai? Aku sendiri masih mencari jawabannya hingga saat ini.
***
Melihat lalu lalang kota besar beserta hirup pikuknya kehidupan metropolitan kota ini membuat semuanya terasa hanya memiliki warna hitam dan putih saja, hanya monokrom. Mereka berjalan sesuai dengan jalur sendiri tanpa ada interaksi sama sekali, terbang bebas dalam kehidupan mereka sendiri dan tenggelam dalam arus kehidupan yang tiada henti. Sungguh jika kupikirkan kembali hidup ini tiada berwarna, itu yang aku rasakan, ketika dilanda suatu situasi yang membuatmu tertekan maka semkin bingung kau menanggapinya. Juga, semakin paham juga kau mengenai dirimu sendiri.
Siapa aku? Apa yang aku lakukan?kenapa aku berada di negara ini? Juga jika tujuan awalku telah hancur karena dia telah memilih seseorang apa hal yang harus kuperbuat seterusnya? Entahlah aku masih belum bisa memutuskan.
Jika harus aku ingat semua ini terjadi ketika aku memimpikan hal itu. Sebuah mimpi yang pernah aku alami ketika aku masih berada di bangku perkuliahan. Mimpi yang tidak aku mengerti seperti kehidupan ku sendiri. Lagi pula hidup itu juga sebuah misteri.
***
Namaku muhammad Ali, kali ini aku hanya berjalan kaki di sabtu pagi menikmati aura dan emosi kota tempatku tinggal, sebuah kota dengan nama yang unik dengan dikelilingi oleh pegunungan. Kota kecil yang mungkin sebagian orang tidak mengenalinya. Aku terus berjalan, perlahan menikmati berbagai perasaan dan gambaran pemandangan di sekelilingku hingga tidak aku sadari kini aku telah memasuki sebuah taman dikota ini. Sebuah taman layaknya hutan yang berada di tengah kota, cukup indah kurasa tapi bukan itu poin utama pikiranku saat ini. Berjalan kaki kupikir hal itubdapat menghilangkan pikiran lain yang tengah menghantuiku selama ini. Satu buah pertanyaan seketika terbesit di dalam kepalaku. “Apakah ada hal yang membuatku mirip dengan sebuah daun?”
Kenapa dia menganggapku begitu. Lalu kenapa aku memimpikan hal semacam itu. Yang paling penting siapa dia.
Memikirkan semua itu tidak terasa aku telah masuk lebihb dalam meninggalkan sebuah gapura besar bertuliskan selamat datang dengan tulisannya yang begitu khas. Perhatianku langsung tertuju pada kursi panjang di taman itu. Tak menunggu lama bagiku untuk langsung duduk termenung memikirkan kata-kata yang aku dengar dalam mimpiku. Mimpi itu kurasa membuatku sangat frustasi.
“Sebenarnya gadis itu siapa ….” Bibirku bergetar mengingatnya, aku kembali termenung lalu menarik nafas dalam dan melihat pepohonan di depanku. Perlahan kedua mataku mulai aku tutup dengan badanku yang bersandar pada punggung kursi itu.
“Kenapa aku selalu memimpikanmu …” Kata kata itu sontak keluar kembali dari mulutku perlahan di umurku yang ke-19 tahun.
***
Seluruh kegiatanku dapat dibilang telah disiapkan oleh kedua orangtuaku. Bahkan kurasa rancangan masa depanku juga telah mereka siapkan dengan sangat matang dan juga hati-hati. Aku yakin hal itu telah menjadi kebiasaan dalam keluarga ini mengingat seberapa keras kedua orangtuaku membesarkan putri bungsunya ini. Jika kau bertanya hal apa yang saat ini tengah aku lakukan jawabannya sederhana, hanya menonton masa lalu seseorang. Maksudku kini aku sedang duduk di ruang tengah sembari membuka lembaran album lama ibuku. Sebuah album kenangannya dimana mereka terlihat bahagia menjalani masa muda mereka. Aku yakin hal yang sama nantinya akan aku alami juga dengan pasanganku kelak, semoga saja. Ya, walaupun hingga saat ini aku tidak pernah merasakan yang namannya jatuh cinta. Lembaran demi lembaran kenangan ibuku terus aku buka hingga tanganku berhenti pada satu foto yang membuatku tertarik.
“Tunggu pemandangan ini ….”
Tatapan mataku tulus menatap foto itu, bukan karena kenangan mereka. Akan tetapi satu foto ini telah mengingatkanku pada suatu hal. Lebih tepatnya satu mimpi yang pernah aku alami beberapa hari yang lalu dan kini terus menerus aku mimpikan di beberapa malam terakhir bulan ini. Sebuah mimpi yang terus menghampiriku, menemuiku bahkan erat memelukku.