Ginko Starting From A Dream

Miftah
Chapter #2

Pertama Bertemu Denganmu

Aku berlari kencang sekuat yang aku bisa. Kenapa ini bisa terjadi. Aku lupa sekarang waktu perkuliahanku lebih pagi satu jam dari biasanya. Terlebih lagi dosen yang mengajar di kelasku kali ini adalah ibu Dekan. Nafasku sudah mulai terengah-engah berlari sekuat tenaga hanya untuk masuk ke kelasnya beliau. Jika kau bertanya kenapa aku berjuang begitu keras seperti ini, tentunya aku tidak ingin terlambat. Namun kurasa itu adalah hal yang mustahil.

Pintu kelas yang terbuka di depan sana adalah satu-satunya fokus utama pandanganku saat ini. Tenaga yang aku keluarkan sudah terkuras habis, bahkan kurasakan keringat mulai hadir di tubuh ini.

“BRAK!!!” Tanganku kuat memegangi pintu itu menimbulkan suara yang cukup keras di dengar, seketika aku melihat keseluruhan teman-temanku dikelas.

“Ibu masuk nggak?” Harapanku ada yang langsung menjawab seketika, mengingat jamnya sudah lama lewat, terlebih aku tidak melihat beliau sama sekali.

“Jawabanya belum masuk Li, kenapa telat. Nggak biasanya!”

“Ada yang ketinggalan, nggak biasa juga Bu Rina seperti ini,” balasku cepat lalu kembali mengatur nafasku.

Jujur saja perasaanku saat itu sangat mendebarkan. Sudah beberapa kali aku mengalami hal serupa, untungnya beliau masih belum datang. Tepat tiga menit sebelum jam matakuliah pertama ini di mulai. Bayangkan saja tugas semua mahasiswa yang seharusnya diberikan hari ini aku lupa membawanya. Terlebih lagi tugas itu harus diberikan kepada dosen paling tegas di prodi kami, beliau adalah dekan fakultas kami. Perasaan kesal seketika muncul saat temanku Fajar mulai mengusikku disaat aku baru saja memasuki kelas. Tanpa berlama-lama dia langsung duduk disampingku tepat setelah aku baru saja melemaskan tubuhku di kursiku. Dari raut mukanya sudah menunjukan bahwa dia akan menanyakan hal-hal yang sebelumnya telah jelas jawabannya. Sebetulnya aku sudah terbiasa dengan sikapnya itu, tapi jika dipikirkan kembali melihat tingkahnya berulang kali setiap harinya, aku selalu ingin memukulnya setidaknya sekali dalam seumur hidup.

Tangannya merangkul bahuku dengan lihai lalu dia menempuknya kuat, “Li jangan bilang hal yang lu lupain itu tugas yang harus dikupulin hari ini ya?” Fajar mulai tertawa mengejekku.

“Kalau bener ngakak sih, Asli!” tambahnya dengan raut muka tak bersalah. Jujur saja mukanya itu sangat menyebalkan.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya, “Ya, begitulah Jar. Mau gimana lagi kepaksa kan gua harus balik lagi!”

Semua orang yang ada di kelasku benar-benar larut pada kesibukan mereka masing-masing. Ada beberapa yang fokus pada obrolan mereka, menggosip kakak tingkat yang tampan atau cantik dan sebagainya, ya dipikir-pikir saat aku di bangku SMA dulu juga sama. Teman-teman di kelasku dulu menggosip hal yang serupa. Selain itu ada juga anak-anak yang membahas mengenai IPK semester sebelumnya, dan juga ada yang paling membuatku takjub adalah temanku yang bisa tidur di saat seperti ini. Ngomong-ngomong orang yang tertidur itu selalu mengingatkanku pada diriku sendiri di kejadian beberapa hari yang lalu. Dalam riuhnya kelas ini satu orang terus menerus mengusikku sejak dari tadi, kesal memang terus ditanyai olehnya tentang ini dan itu, tapi apa dayaku yang bisa bersabar dengan sikapnya ini. Meskipun sifatnya seperti itu, fajar adalah teman yang cukup baik dari pandanganku, untuk saat ini tentunya. Ya untuk saat ini.

Aku menghela nafas pelan. Meratapi apa yang telah aku dapat dalam hidupku.

“Apa sudah puas Jar, meledek gua sampai diintrogasi kek gitu!” Aku tertawa kesal.

Fajar hanya tersenyum lalu melanjutkan kembali obrolannya. Kali ini dia tidak bertanya hal-hal aneh padaku mungkin ini efek dari kekesalanku tadi. Sebaliknya dia kini mulai membahas mengenai mahasiswi yang seharusnya masuk beberapa bulan lalu. Mahasiswa itu seharusnya sudah belajar bersama kami dan telah masuk ke kelas ini bersamaan dengan mahasiswa beasiswa KIP gelombang terakhir lainnya. Namun hanya dia saja yang belum masuk hingga saat ini. Beberapa dosen, terutama ketua prodi kami mengatakan bahwa mahasiswi itu tengah melakukan beberapa hal yang memang tidak bisa dia tinggalkan, begitulah katanya tapi alasan seperti itu rasanya kurang kuat. Kalau tidak salah namanya adalah Anisa Rahmawati. Aku mengetahuinya namanya itu dari daftar hadir mahasiwa dan dosen yang selalu aku ambil setiap jam perkuliahan berganti.

“Oi, ngedengerin nggak?” sindirnya.

“Ngedengerin, ngebahas Anisa kan, mahasiwi yang masih belum masuk hingga saat ini, apa kau pikir gua nggak ngedengerin?”

Fajar tertawa dan melanjutkan apa yang belum dia ceritakan. Dalam obrolan itu aku hanya pasif mendengarkan ceritanya. Dia membicarakan Anisa seorang mahasiswi yang menjadi buah bibir saat ini. Anisa menjadi pembicaraan seperti ini tidak lain karena dari penerimaan mahasiwa hingga saat ini dia masih belum masuk ke dalam perkuliahan. Ada yang berpendapat bahwa dia adalah mahasiswi teladan yang tengah berpasantren atau seorang mahasiwa segudang prestasi dan kini tengah mengikuti lomba mewakili pesantrennya. Informasi tentangnya masih sangat terbatas.

“Ali, bu Rina manggil kamu!” Seseorang menyentuh pundakku lalu tersenyum, sekilas aku langsung berbalik melihat sosoknya.

“Oh Salsa, bu Rina manggil gua Sa?”

Lihat selengkapnya